Aku tidak tau apa yang harus kulakukan sekarang. Aku yang (bahkan) juga lupa membawa uang saku itu terpaksa harus meminjam uang Davin terlebih dulu untuk membayar perbaikan motorku.
"Soal utang lo sama abang makenik di depan rumah gue itu udah gue lunasin," ucap Davin mencairkan suasana yang semula hening tak bersuara.
"Makasih," ujarku tanpa berani menatapnya. Rasa malu itu masih berlanjut, sob!
"Daripada ngucapin makasih ke gue, gimana lo anter gue balik ke sekolah pakai motor lo ini? Gue capek loh tadi dorong nih motor dari sekolah sampai sini,"
Aku berdecih sebal mendengarnya. Dasar kutu kupret. Kalau bantu nggak pernah tulus dari hati. Selalu saja ada perhitungannya.
"Duduk dulu, deh. Gue capek." kataku mengisyaratkannya untuk kembali duduk di sebelahku.
"Siap, Bu!" Davin melakukan hormat padaku. Benar-benar childish. Aku sangat muak dengannya. Namun juga agak kasihan karena selain menyusahkannya untuk mendorong motorku, aku juga meminjam beberapa lembar uang darinya.
Suasana kembali hening. Sepertinya, akan bagus kalau aku mulai interogasiku dari sekarang.
"Lo tau darimana kalau gue ngutang sama abang makenik kemarin?" tanyaku membuka waktu interogasi.
"Ya taulah. Apa, sih, yang gue nggak tau?"
Aku berdecih melihatnya lagi-lagi bersikap over pede.
"Kalau nomer gue? Dari mana?"
Awalnya, aku emang nggak pengen menanyakan hal itu. Aku juga sudah berusaha untuk nggak peduli. Tapi nyatanya, aku masih sangat penasaran. Meskipun aku juga sudah tau darimana dia mendapatkan nomor hapeku.
"Dari Sam," sahutnya tanpa ragu.
Ternyata, Kak Sam tidak berbohong soal itu.
"Kenapa minta nomer gue?"
"Emangnya ada yang salah? Gue, kan, cuma minta nomer lo."
"Ya..maksud gue kenapa nggak minta langsung ke gue? Kenapa harus lewat perantara Kak Sam?"
Davin menautkan kedua alisnya.
"Lo kenal Sam?"
"Nggak usah ganti topik pembicaraan," ucapku murka.
"Karena gue pikir, lo nggak akan mau ngasih nomer lo ke gue. Lo, kan, tiap hari sentimen mulu sama gue."
"Gue balikin pertanyaan lo tadi. Gimana bisa lo kenal sama Kak Sam? Dia, kan, ngehits banget di sekolah,"
"Gimana bisa gue nggak kenal sama Sam? Orang gue serumah sama dia,"
Aku terbelalak mendengar pernyataan itu. Serumah? Bagaimana bisa? Ah, kepalaku benar-benar pusing sekarang!
"Serumah?" tanyaku memastikan dengan nada tak yakin.
"Adik kakak malah,"
Demi Tuhan aku tidak menyangka akan mendapatkan informasi sebanyak itu hari ini.
"Santai aja kali muka lo," ucap Davin begitu sadar wajahku terlalu syok mendengar pernyataannya barusan. "Bukan saudara kandung, sih. Saudara angkat."
Aku menghela nafas lega. "Pantesan."
"Kenapa? Nggak mirip ya?"
Aku menggeleng sambil tertawa.
"Jelas lah. Gue ganteng kayak Zayn Malik gini. Sedangkan Sam gantengnya standar kayak Aliando."
"Pede gila mirip Zayn Malik suami gue. Lagipula Aliando itu ganteng kali," tuturku membenarkan. "Yang gak ganteng itu cuma elo." lanjutku lalu kembali tertawa.
Davin berdecih mendengar penuturanku. Sementara aku bersikap bodo amat dengan itu semua.
***
Usai memperbaiki motorku, aku mengantar Davin kembali ke sekolah. Meskipun rasanya mager banget nganterin tuh kutu kupret balik ke sekolah, mengingat dia udah mau minjemin duitnya buat biaya memperbaiki motorku, aku memutuskan untuk mengantarkannya saja.
"Makasih ya," ucapku begitu Davin turun dari motorku. By the way, aku (yang tadinya sok kuat) membonceng Davin sampai ke sekolah ini. Hebatnya, kami selamat.
"Harusnya gue kali yang makasih," Davin geleng-geleng kepala sambil terkekeh. "Makasih ya. Udah nganter gue balik." sambungnya sambil mengukir senyum tipis.
"Ntar gue pasti gantiin kok uang lo," ucapku sebelum Davin beranjak dari sana.
"Nggak usah. Gue udah anggep lo nganter gue balik ke sini sebagai bayaran utang lo ke gue. Jadi lo tenang aja," Davin menepuk bahuku. Lalu ia pergi dari hadapanku.
Aku menatap kepergian punggung cowok itu. Sementara aku merasakan debaran kecil di dadaku. Kalau dipikir-pikir..Davin baik juga orangnya.
♡♡♡