Di malam yang sama, Antony dan Aron duduk di dalam kamar Martin. Membesuk teman sejawatnya yang sudah diperbolehkan pulang ke mansion para mafia Merlin. Martin sudah terlihat lebih sehat. Wajahnya pun sudah tidak pucat lagi.
"Hei, bagaimana rasanya peluru itu mengenai bahumu?" tanya Antony terkekeh.
"Tidak terasa sama sekali. Aku hanya ingat saat sudah berada di dalam klinik Dokter Anne." Martin ikut terkekeh.
"Bagaimana kau bisa ingat? Kau sendiri pingsan saat baru saja menginjakkan kaki di mansion," ejek Aron.
"Huh! Ya, kau tidak perlu memperjelasnya Ron." Martin mencebik kepada Aron. Dia meneruskan ucapannya seraya menghela napas, "Nona Redita dan Jonathan menolongku. Dokter Anne yang bercerita."
"Ya, dan kau akhirnya selamat." Aron merentangkan tangannya bermaksud memeluk Martin tapi dengan cepat pria itu menghindar.
"Sial! Kau akan membunuhku jika menyentuh lukaku yang masih basah ini!" pekik Martin seraya melotot di hadapan intel Merlin itu.
Antony yang melihat percakapan keduanya tergelak geli sekali. Jarang-jarang mereka bisa bersenda gurau bersama malam ini. Bahkan ia hampir melupakan permintaan Rachel yang meminta dirinya kabur bersama, pergi dari sang suami malam ini.
Kedua matanya sontak melirik arloji di tangannya, yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit. Segera meraih ponselnya, tidak ada notifikasi dari siapa pun di layarnya. Padahal sebenarnya mempunyai sedikit harap ingin kembali bertemu dengan Rachel.
"An, kelihatannya kau sibuk sekali. Kau sedang menunggu apa?" tanya Aron melirik layar ponsel Antony.
Antony melirik ke arah Aron tidak suka. Di segera memasukkan ponselnya kembali ke balik jaketnya. "Ingin tahu saja, kau!" serunya menyindir.
"Rachel, ya? ya? ya?" Aron mengangkat dan menurunkan alisnya meledek sang mantan bodyguard. Martin yang melihat tingkah Aron hanya menggeleng terlihat tidak peduli. Dia lalu bangkit dari duduknya mengambil segelas air dari dispenser dan segera meminumnya. Tidak lama kemudian, ia sibuk menelepon keluarganya yang memang tinggal terpisah.
Antony tidak memedulikan pertanyaan Aron. Tidak ada kewajiban darinya untuk menjawab intel mafia kepo itu. Dia malah melirik Martin sebentar, kemudian mengarahkan pandangannya lagi kepada Aron.
"Hei Ron, bagaimana mengenai The Fog Shadow yang kemarin itu?" Antony mengalihkan pembicaraan. Wajahnya terlihat serius.
"Ehm ya ... yang menyerang Nona dan Martin bukanlah anggota mafia itu, dia rakyat sipil biasa atau mungkin hanya ... preman?" sahut Aron sedikit ragu.
"Mengapa ucapanmu terdengar ragu seperti itu? Yang benar saja, dua kali Nona diserang dan yang menyerangnya hanya 'preman' saja," sanggah Antony memukul sofa yang mereka duduki.
"Karena aku tidak punya ide siapa yang melakukannya. Tuan Merlin mempunyai banyak musuh dalam selimut selama ini. Lalu kalau menurutmu siapa?"
Belum sempat Antony menjawab, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Nama Tuan Besar Merlin tertera di sana. Antony menarik dagunya terkejut karena Merlin meneleponnya. Padahal sejak kemarin Merlin tidak memedulikannya sama sekali.
"Halo, Tuan," sapanya dengan suara datar.
"Kau sedang apa?" Suara berat Merlin terdengar.
"Di mansion bersama Martin dan Aron."
"Kawal Redita pergi ke pesta ulang tahun Nancy—ibu dari Silvia!" perintah Merlin.
"Kawal?" tanya Merlin dalam hati. Bagaimanapun dia bukan lagi pengawal wanita cantik itu. Antony melirik ke arah Martin yang masih sibuk bercakap di ponselnya. "Hah! Mungkin saja karena Martin masih sakit," katanya lagi dalam hatinya.
"Antony?" Suara Merlin terdengar kembali karena Antony tidak langsung menjawab perintahnya.
"Siap, Tuan!" sahut Antony kemudian.
Merlin memutus teleponnya. Segera, bangkit berdiri. "Mau ke mana?" tanya Aron menatap heran.
"Kawal Nona ke pesta," jawab Antony singkat.
Martin sontak melirik Antony karena mendengar kata kawal keluar dari mulut teman sejawatnya itu. Antony yang menyadari lirikan tajam Martin menepuk sebelah bahunya.
"Tenang saja. Aku akan menggantikan tugasmu dengan baik, kawan. Apa kau mempunyai pesan untuk Nona?" tanya Antony dengan seulas senyuman menenangkan.
"Nope. Hati-hati, An. Mereka bisa muncul di mana saja," Martin memperingatkan. Antony balas mengangguk kemudian berjalan ke kamarnya untuk bersiap-siap sebentar.
Selang beberapa lama kemudian dia sudah berjalan menuju mansion Merlin yang berada tidak jauh dari mansion anggota mafia. Melihat Redita tengah duduk melamun menunggu Antony di depan teras mansion dengan raut wajah sedikit kesal. Bagaimana tidak? Radit tidak membalas pesan dan meneleponnya sama sekali.
"Nona," panggil Antony. Redita tidak sadar bahwa Antony sudah berada di depannya.
Wanita itu tersentak kaget mendengar suara Antony. Dia berkelebat melihat sosok tinggi nan gagah itu di depannya.
"Kau sudah datang rupanya." Redita segera bangkit dari duduknya memandang Antony yang sudah berpakaian tuksedo hitam sangat tampan.
Antony menelan ludah melihat penampilan Redita yang sangat cantik sekaligus seksi di matanya. Napasnya sedikit tertahan walau hanya beberapa detik. Dia menaruh lengannya di pinggang, Redita tanpa ragu menautkan lengannya di sana.
Beberapa lama kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil. Sepanjang jalan Redita hanya diam tidak menoleh dan tidak mengajak Antony berbicara sama sekali. Merasakan suasana aneh seperti itu membuat Antony tidak nyaman. Antony pun memulai percakapannya.
"Mengenai kejadian tadi siang di restoran, saya harap Nona melupakannya," kata Antony membuka pembicaraan.
"Apa dia wanita yang mencampakkanmu?" tanya Redita tiba-tiba. Pandangan wanita itu masih menatap lurus ke depan.
Mata Antony sontak membulat terkejut. Tidak menyangka kalau Redita mengetahui tentang hubungannya dan Rachel yang telah kandas.
"Ba-bagaimana No-nona tahu?" tanyanya terbata.
"Ya, Martin yang memberitahuku. Aku juga melihat masih ada rasa cinta di antara kalian saat kalian berciuman." Redita tiba-tiba menghela napas panjang.
"Huh! Apa itu hal penting lagi sekarang? Dia sudah memiki suami." Tiba-tiba saja Antony menyampaikan keluh kesahnya.
"Jadi dia sudah menikah?" Redita sontak menoleh menatap garis rahang wajah Antony dari samping.
"Sayangnya iya."
"Maaf," ucap Redita menyesal telah menanyakan tentang wanita itu.
"Tidak ada yang harus dimaafkan," sahut Antony disertai anggukan pelan.
Setelah pembicaraan itu, Redita terdiam tidak banyak berkata-kata. Antony menekan pedal gasnya lebih dalam melaju cepat ke arah Van Houten street, alamat pesta itu dilaksanakan.
Sekitar lima belas menit kemudian, akhirnya mobil sedan Merlin masuk ke dalam pelataran parkir mansion Nancy Steffyana. Antony dan Redita turun dari mobil. Dari jauh, terlihat Silvia berjalan dengan heels biru, dan gaun berwarna senada menghampiri mereka.
"Redita!" Silvia menyunggingkan senyuman manis seraya merentangkan tangan, segera memeluk sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu.
"Silvia!" Redita membalas pelukan itu. Sebuah pelukan hangat yang ia rindukan.
"Aku merindukanmu, Dit," ucap Silvia. Air matanya tiba-tiba jatuh tak terbendung.
"Hei, hei, percayalah aku juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, aku takut mengalami penolakan jika menghubungimu. Aku tahu kalau kau tidak suka diganggu jika perasaanmu sedang tidak enak," sahut Redita dan langsung dibalas anggukan Silvia.
Silvia melonggarkan pelukannya. Mengerlingkan mata ke arah Antony. Dia melengkungkan bibirnya tersenyum lebar memandang mantan bodyguard Redita itu.
"Astaga, Antony! Sudah lama aku tidak melihatmu dan kau malah terlihat tambah tampan," pekiknya. Silvia sontak memeluk tubuh Antony yang hanya bisa menyunggingkan segaris senyuman tipis, tidak bisa menolak.