Di dalam kamar tidur Merlin dan Elena, pasangan suami istri itu sudah membaringkan tubuh mereka, bersiap untuk tidur. Merlin memandang wajah sang istri. Membereskan anak rambut yang memutih karena menghalangi wajah cantiknya.
Merlin tersenyum manis kepada Elena. Begitupun sang istri yang membalasnya dengan kebahagiaan tiada tara. Pernikahan mereka telah berusia tiga puluh enam tahun lamanya.
"Aku tahu kalau kamu juga mendapat undangan pesta ulang tahun Nancy. Kamu tidak pergi ke pesta itu, Sayang?" tanya Elena seakan ingin menjebak Merlin dengan pertanyaannya.
"Aku sudah bosan dengan pesta sepanjang hidupku. Bahkan di waktu istirahatku, kamu menyuruhku menghadiri pesta ulang tahun Nancy, si aktris itu?" Merlin balik bertanya.
"Tapi dia idolamu, bukan?" Elena menggoda.
"Haruskah mengikuti idola ke mana pun ia mengadakan acara? Sayang, aku lebih suka menghabiskan waktu istirahatku hanya bersamamu. Tidakkah kamu mengerti? Biarkan yang muda saja yang berpesta. Aku hanya ingin berpesta dengan istri cantikku," jawab Merlin mulai merayu. Tangannya mulai meraba tubuh sang istri.
"Hei, aku belum siap, Sayang."
"Tidak ada kata untuk tidak siap menerima seranganku, El," sahut Merlin mulai bergerilya menjelajahi tubuh Elena. Tidak lama kemudian, keduanya sudah tenggelam dalam semangat dan keromantisan hubungan yang sudah terpupuk bertahun-tahun lamanya.
***
Cukup lama Silvia memeluk Antony. Redita melirik tajam sembari berdekap tangan di dadanya. Antony ikut melirik dan melihat Redita yang sedikit kesal karena merasa diabaikan. Mereka pasangannya dan ia hanyalah sebuah obat nyamuk untuk keduanya. Nona Muda lalu itu menyindir sahabatnya sendiri.
"Lama sekali pelukannya? Bodyguard-ku kasihan sekali tidak bisa bernapas, Sil."
Sontak Silvia melonggarkan pelukannya dan menarik tubuhnya menjauh dari Antony. Sebuah cengiran malu-malu terbit di wajahnya.
"Ma-maaf Antony. Aku terlalu terbawa suasana. Ayo ikut aku! Aku akan mengenalkanmu kepada ibuku. Beliau tidak akan keberatan bila mempunyai menantu sepertimu. Tampan dan gagah." Tangan lentik itu terulur hendak mengajak Antony untuk ikut bersamanya.
Antony menelan ludah, menoleh ke arah Redita yang masih melipat kedua tangannya di dada. Air muka wanita cantik itu masih terlihat merengut tidak suka.
"Maaf, Nona Silvia. Saya datang bersama Nona Redita untuk mengawalnya dan saya tidak akan meninggalkan dia barang sedetik pun." Antony menolak halus ajakan Silvia.
"Yah, sayang sekali. Ya sudah, apa mau dikata," sahutnya dengan nada kecewa. Namun, kekecewaan Silvia tidak sampai membuatnya kesal kepada sang sahabat. "Ayo Dit, kita bertemu dengan Mamaku!" ajak Silvia sembari menarik tangan Redita mengajaknya berjalan lebih dulu meninggalkan Antony di belakang mereka.
Silvia dan Redita berjalan lebih dulu masuk ke dalam sebuah aula khusus acara yang berada di dalam mansion keluarganya. Aula itu luasnya sekitar seribu meter persegi. Sudah dipenuhi dengan berbagai macam orang dari berbagai kalangan. Maklum saja, Ibu kandung Redita adalah seorang aktris terkenal, sedangkan ayahnya adalah seorang tokoh politik kota Little Heaven.
Di dalam aula sudah banyak wartawan yang datang dan meliput acara ulang tahun Nancy. Bahkan acara ulang tahun itu masuk ke dalam siaran langsung televisi nasional.
Seketika pandangan wartawan itu teralihkan saat melihat dua wanita bergaun merah dan biru mencolok yang berjalan anggun dengan seorang pria yang mendampingi mereka di belakang. Tidak ada yang tahu kalau Antony adalah seorang bodyguard. Mungkin setiap orang yang melihat pria itu, tidak akan menduga dia adalah seorang mafia berwajah tampan dan bertubuh kekar.
Kilatan cahaya kamera mulai mengarah kepada Redita. Bagaimana tidak? Wanita itu berhasil menghipnotis mata semua laki-laki yang berada di sana. Mungkin jika Radit ada di sana, dia akan segera merangkul wanitanya dengan harapan tidak ada yang berani mendekati Redita.
Mata Antony ikut berkilat melirik ke sekeliling. Sepertinya pria itu juga tidak rela puluhan mata lelaki menatap tubuh Redita dengan penuh hasrat. Antony mempercepat langkahnya, menyusul langkah kedua wanita itu. Ia menepuk pundak Redita ketika sudah berada di dekat mereka. Kedua sosok wanita itu sontak menoleh bersamaan. Menatap wajah Antony dengan air muka keheranan.
"Ada apa?" tanya Redita bingung.
Antony membuka jas hitamnya dan menyandarkannya di bahu Redita. "Pakailah jas saya Nona, atau bola mata mereka dengan puas menikmati pemandangan tubuh Anda," pinta Antony.
"Terima kasih, Antony. Kau sangat perhatian padaku." Redita segera mengaitkan jasnya di dada. Seketika belahan dada itu tertutup oleh jas hitam sang bodyguard.
Silvia yang melihat perhatian Antony hanya bisa tersenyum kecut. Dia harus menerima kenyataan jika Antony memanglah seorang pengawal yang sangat patuh dan baik hati.
Salah satu wartawan memotret momen itu dengan kilatan yang tiada hentinya. Dia mengenali wajah Redita—anak pengusaha Merlin. Dengan sigap memanggil nama sang Nona Muda dengan suara sedikit keras. "Nona Redita!"
Seketika Redita menoleh ke arah wartawan itu. Sebelah alisnya terangkat bingung. Selama ini tidak ada yang mengenalnya. Bahkan, dia bukanlah seorang aktris atau pebisnis terkenal. Dia lupa kalau dirinya adalah anak dari seorang Merlin yang sangat terkenal.
"Nona, apa pria di samping Anda adalah kekasih Anda?" tanya wartawan itu.
Redita ternganga bingung kemudian melirik Antony. Dia tidak akan mengatakan kalau Antony adalah seorang mafia pengawal di depan para wartawan dan tamu undangan. Itu adalah etika seorang putri mafia. Di mana pun mereka berada, mafia pengawal adalah seseorang yang harus dirahasiakan identitasnya. Jika tidak, maka orang-orang akan dengan mudah mencecar dan menyingkirkan sang pengawal untuk menyakiti seorang putri mafia. Mereka harus berbaur dan dikenalkan sebagai teman atau mungkin seorang kekasih.
"Di-dia teman saya," ucapnya terbata.
"Teman atau kekasih, Nona? Kelihatannya tidak seperti itu?" Wartawan itu sedikit memojokkannya. Menginginkan jawaban lain dari mulut wanita itu.
"Dia kekasih saya." Antony tiba-tiba menyela dan berkata seperti itu.
Redita mendelik menatap Antony terkejut. Dia tidak menyangka Antony akan seberani itu berkata di depan media. "Hei An, apa kau sudah gila? Mereka akan makin menjadi!" bisiknya di telinga Antony.
"Mereka tidak akan puas dengan jawaban Anda, Nona. Mainkan saja sandiwara ini," sahut Antony tenang.
"Wow, benarkah?" Wartawan itu terkesiap. Dia makin ingin mewawancarai Redita lebih dalam, tapi Antony segera menghalangi.
"Maaf, kami sedang sibuk. Kami akan menemui tuan rumah terlebih dahulu. Pasti Nyonya Nancy dan Tuan Edwin sudah menunggu kami," ucapnya segera menarik tangan Redita dan mengajaknya pergi menuju singgasana kedua orang tua Silvia.
Silvia yang melihat aksi heroik Antony sontak menatapnya terpesona. Jika dia di posisi Redita, mungkin akan pingsan saat itu juga. Bisa diakui sebagai kekasih oleh orang yang ia sukai adalah sebuah mimpi baginya.
"Redita sangat beruntung," ucap Silvia dalam hati.
"Nona Silvia, bagaimana pandangan Anda melihat hubungan mereka berdua?" tanya wartawan itu tidak mau menyerah. Dia beralih mewawancarai sang putri tunggal empunya pesta. Wartawan itu berjalan terus mengikuti Silvia dari belakang.
"Maaf, saya tidak bisa menjawabnya. Nanti akan ada konferensi pers sendiri untuk para wartawan," sahut Silvia tanpa menghentikan langkah, segera berjalan mengikuti Redita dan Antony yang lebih dulu melangkah di depannya.