"Nona, ayo kita makan siang!" Suara berat Antony terdengar di telinga Redita. Sangat jarang ia mengucap ajakan seperti itu.
Ragu-ragu, Redita segera menarik ponselnya menjauh dari telinga. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian melihat lagi layar benda pipih itu. Tidak percaya. Redita menelan ludah bingung bagaimana menjawabnya.
"Apa tidak salah?" batinnya.
Di layar ponsel itu memang hanya tertera nama Antony. Mantan pengawalnya yang paling tampan dan sangat kompeten dari mafia lainnya. Redita tidak salah membaca.
"An, apa kau sedang mabuk?" tanya Redita sedikit terkejut.
Lama Antony terdiam tidak menjawab. Namun, tiba-tiba saja dia menjawab pertanyaan Redita dengan suara sedikit gugup.
"Ma-maksud sa-saya, Tuan Judy yang meminta saya menelepon Anda, dan mengajak Anda untuk makan siang," jawabnya mengonfirmasi. Dia sangat takut Redita salah paham. Tidak mungkin seorang Nona Muda merespon serius ajakan makan siang mantan pengawalnya.
Redita menghela napas lega. Dia pikir Antony benar-benar serius mengajaknya makan bersama. Redita terdiam sejenak, menyadari sesuatu yang janggal.
"Hei, mengapa Kak Judy ada di Little Heaven? Bukankah ia masih di Sweetbrige bersama Kak Venda? Masa sih mereka pulang?" Berbagai pertanyaan muncul di benaknya.
Antony yang tidak mendengar jawaban Redita lalu mencoba memanggilnya, "Nona Redita?"
Suara berat Antony segera menyadarkan Redita dari lamunannya. Dia lalu bertanya dengan nada terkejut, "Kalian benar-benar kembali ke Little Heaven? Kenapa?"
"Tuan Judy yang bersikeras. Setelah terjadi penyerangan terhadap Nona Redita kemarin," sahut Antony.
"Huh! Kakak sangat berlebihan," keluhnya. "Lalu kalian sudah sampai mana?" tanya Redita kemudian.
"Sebentar lagi sampai gedung Mer Corporation," jawab Antony. Tidak lama, suara Antony tiba-tiba berubah, bergantikan suara lelaki lain yang sangat Redita kenal.
"Dita, ini Kakak. Kami akan ke kantor untuk menculikmu dan Ayah makan siang bersama. Jangan ke mana-mana!" kata Judy terdengar tegas di telinga Redita.
"Hei, aku sudah punya janji, Kak."
"Tidak boleh! Jarang-jarang aku memintamu seperti ini, bukan? Nanti Mama juga akan dijemput paksa oleh mafia junior Ayah," pungkas Judy lalu mematikan panggilan itu sepihak.
"Ck .... Seenaknya saja Kakak memaksa!" geramnya.
Redita menatap jam dinding di ruang kerjanya yang sudah menunjukkan pukul 11.45. Dia mencoba menghubungi Silvia untuk membatalkan janji.
"Halo, Dit."
"Sil, maafkan aku. Hari ini aku tidak bisa bertemu denganmu. Kakakku mengajakku makan siang bersama," ucapnya penuh sesal.
"Kakak atau Radit?" Silvia bertanya curiga.
"Kak Judy, Sil. Kebetulan ia baru kembali dari bulan madunya. Bagaimana kalau nanti malam? Aku akan pergi ke rumahmu. Okay?" Redita mencoba mengatur pertemuan kembali dengan sahabatnya.
"Iya, baiklah. Aku akan menunggumu, Dit. Kebetulan malam ini ada pesta ulang tahun Mama di rumah. Sebenarnya, aku ingin bertemu sekaligus mengundangmu untuk datang. Maaf, kemarin aku sempat marah terlalu lama karena hubunganmu dan Radit yang sudah sangat akrab. Kita sudah lama berteman dan rasanya aku sangat kehilangan saat kau tiba-tiba memiliki kekasih. Kau sendiri tahu kalau kita sama-sama single sejak akhir tahun di sekolah menengah atas, 'kan?" jelas Silvia. Dia menjelaskan mengapa ia merasa sedikit marah dan kecewa saat Redita memiliki seseorang yang dekat dengannya. Dia merasa diabaikan oleh sahabatnya sendiri.
"Aku bukan orang seperti itu. Aku tidak akan melupakan sahabatku saat sudah memiliki kekasih. Radit bukan orang yang suka membelenggu kehidupan pribadi selama ini. Hanya saja, aku takut dia yang jemu kepadaku karena menghadapi berbagai aturan di keluarga mafia," sahut Redita.
"Semoga saja tidak dan semoga ia benar-benar pria yang baik untukmu, Dit," ucap Silvia berharap.
"Semoga saja," jawab Redita.
Tidak lama kemudian Silvia menyudahi panggilannya. Redita melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul dua belas tepat.
Tok-tok-tok!
Terdengar ketukan dari balik pintu ruang kerjanya. Redita menoleh kemudian memutar tubuhnya membuka pintu. Antony sudah berdiri di sana. Wajah dinginnya terlihat dalam pandangan Redita.
Entah apa yang mendorong wanita itu, tiba-tiba saja dia memeluk pria itu sejenak. Seketika keduanya merasakan desiran darah yang mengalir deras langsung ke seluruh tubuh mereka. Kedua mata Antony membulat terkejut. Wajah pria itu tersipu walau hanya sebentar. Antony sangat pintar menyembunyikan air mukanya.
Wajah Redita mendongak. Terkesiap menyadari responnya yang berlebihan. Dia sontak melonggarkan pelukannya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menyembunyikan wajahnya yang merona tiba-tiba saja.
Redita tidak menyadari sama sekali kalau ada dua orang di sana yang menyaksikan respon cepat wanita itu kepada Antony. Pedro dan Aron. Mereka hanya saling pandang dan tersenyum tipis melihat hubungan yang aneh antara Redita dan Antony.
"A-Antony .... Maaf aku tidak sengaja memelukmu. Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu padahal baru tiga hari aku tidak melihatmu. Mungkin karena aku sudah sangat terbiasa bertemu denganmu setiap hari." Redita segera menjelaskan apa yang baru saja ia lakukan tidak ada hubungannya dengan yang namanya perasaan.
"Iya Nona, saya mengerti," jawab Antony lugas.
"Ah ya, terima kasih tasnya. Aku sangat menyukainya." Pandangan Redita melirik tas biru yang diberikan sang mantan bodyguard. Dia lalu meraih tas tangan itu dan mengenakannya di pergelangan tangannya yang kurus.
"Sangat cocok, Nona." Antony berkomentar bersamaan dengan segaris senyuman tipis yang terbit di wajahnya tiba-tiba saja.
"Terima kasih. Kau sangat mengetahui seleraku," sahut Redita bersiap melangkah ke luar. "Ayo pergi!" katanya lagi.
Ketiga mafia di depannya hanya mengangguk patuh lalu berjalan di belakang sang Nona Muda yang berjalan melenggok anggun di depan mereka. Di lobi, semua keluarga Merlin sudah berkumpul, termasuk Elena yang segera dijemput dan diantar menuju Mer Corporation oleh mafia junior Merlin bernama Rudolf.
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di restoran Italiano. Semua orang turun dari mobil, berjalan menuju ruangan restoran yang sangat luas.
Restoran itu terlihat sedikit ramai karena sudah sangat terkenal akan makanannya yang sangat enak. Tempat itu juga merupakan tempat favorit Judy dan Venda jika berkencan. Judy sudah menyewa salah satu meja besar yang sering dipakai untuk acara-acara keluarga. Situasi ini memang jarang sekali terjadi. Semakin mereka dewasa, semakin jarang mereka menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Keempat mafia yang ikut dengan mereka langsung diajak bergabung makan bersama tanpa ragu oleh Judy sebagai orang yang mencetuskan ide itu. Venda pun yang tadinya terlihat keberatan, ikut merasa antusias menghadiri acara makan siang itu.
Judy menoleh wajah kedua orang tuanya, bernapas panjang, lalu tersenyum. "Ayah, Mama, bagaimana kabarnya?" tanya Judy dengan wajah berseri.
Elena membalas senyuman anak tertampannya. "Baik, Sayang. Bagaimana bulan madumu? Mengapa kau pulang secepat ini?" tanya Elena lalu melirik menantu perempuannya dengan tatapan sedikit sedih. "Venda, bagaimana lukamu? Apa sudah sembuh?"
"Ya, sangat me—" Belum selesai menjawab pertanyaan Elena, Venda cepat-cepat menyela perkataan Judy dengan menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya itu.
"Bulan madu kami sangat menyenangkan, tapi sedikit terganggu dengan orang-orang tidak bertanggung jawab itu," sahut Venda. Dia lalu meneruskan kalimatnya, "Iya, Ma. Lukaku sudah mengering. Dokter George sangat baik merawatnya. Aku berhutang budi kepada beliau." Venda melengkungkan bibirnya ke atas. Senyuman itu terbit sangat manis di wajahnya yang cantik.
Merlin terlihat diam sejak tadi. Dia tampaknya tidak terlalu antusias menghadiri acara makan siang ini. Pria tua itu kemudian bertanya kepada menantunya, "Venda, apa kamu dengan tulus menerima keputusan suamimu untuk segera pulang ke Little Heaven secepat ini, padahal kalian masih berbulan madu?"
Tiba-tiba pertanyaan serius yang terlontar dari mulut Merlin membuat suasana menjadi hening di meja makan. Merlin benar-benar belum bisa menerima Judy untuk pulang cepat, jika bukan Venda yang meminta atau menerimanya dengan tulus.