Chereads / Menikahi Putri Mafia / Chapter 43 - Pendamping Redita

Chapter 43 - Pendamping Redita

Siang berganti malam. Seorang pria tengah duduk di meja kerjanya. Rambut pria itu berwarna coklat dengan wajah sedikit berbulu di sepanjang dagunya, terlihat sedang sibuk mengetikkan sesuatu di dalam laptopnya. Air mukanya terlihat sangat serius melihat lurus ke depan. Sebuah papan berwarna putih terpampang di sana. Tampak beberapa wajah laki-laki dan perempuan sudah ia beri tanda silang berwarna hitam.

Ponselnya berdering tiba-tiba. Dia melirik layarnya dan mendapati sebuah nama yang ia kenal dan hormati. Segera, pria itu mengangkat panggilannya.

"Halo, Watson." Suara berat pria itu terdengar misterius.

"Ya, Tuan. Ada apa?"

"Kau sudah membuat daftarnya, Hah?! Sudah berapa jumlah orang yang telah gugur dalam misi ini?! Keluarkan juga mereka yang telah masuk penjara. Haish! Mengapa kau tidak mencari kandidat yang lebih bagus lagi?! Ck .... Bisa-bisanya kalah dari komplotan The Black Shadow itu?!" Pria itu membentak dan mencecar Watson dengan banyak pertanyaan.

Watson memijit dahinya yang mulai lelah karena sering berpikir dengan keras. Dia menelan ludah, segera menjawab pertanyaan itu dengan satu kalimat penenang pria yang ia panggil dengan sebutan Tuan itu.

"Saya akan segera mengirim laporannya. Maafkan saya, Tuan. Saya telah banyak mengecewakan Anda," sahut Watson.

Pria itu tidak menjawab. Dia segera mematikan teleponnya secara sepihak. Watson mengembuskan napas kasar. Mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri.

Pintu ruang kerjanya terbuka. Seorang wanita cantik bergaun hijau tua mengkilat masuk membawakan secangkir kopi untuk Watson.

"Sayang, apa kamu masih sibuk?" tanyanya sambil meletakkan cangkir itu di hadapan Watson.

Watson sontak mengalihkan perhatiannya dari laptop. Dia menatap istri cantiknya itu dengan lengkungan senyum tipis. Rachel—wanita itu, membalasnya dengan seulas senyum singkat. Terlihat tidak bersemangat menatap wajah Watson. Dia melirik layar laptop milik Watson.

"Tidak." Watson buru-buru menutup laptop. Dia tidak ingin Rachel mengetahui apa yang sedang dikerjakannya. Watson mengangkat cangkirnya dan segera menyesap kopi itu sedikit demi sedikit. Dia bangkit berdiri, mengecup bibir merah Rachel, dan meraih tangannya. "Ayo kita pergi! Malam ini adalah pesta ulang tahun kakakku. Kamu berdandanlah yang cantik. Kita pergi bersama."

"Kak Nancy?"

"Iya. Pasti ia menunggu kita, Rachel. Aku ingin kamu terlihat paling cantik di sana. Pakailah gaun yang baru kubelikan kemarin untukmu," timpal Watson memerintahkan sang istri untuk segera berganti pakaian. Rachel mengembus napas berat. Watson mengerutkan keningnya bingung. "Ada apa?"

"Aku sebenarnya ada janji dengan temanku malam ini," kata Rachel merengut.

"Aku tidak mengizinkannya. Kamu harus mendampingiku ke pesta itu. Cepatlah! Kamu tahu kalau aku tidak suka menunggu," perintah Watson lagi.

Dengan terpaksa, Rachel segera beranjak keluar dari ruang kerja sang suami untuk mengganti pakaiannya. Watson tidak segera keluar dari ruangan itu. Dia melanjutkan sebentar pekerjaannya. Seseorang menunggu laporannya malam ini juga.

***

Di malam yang sama, Redita baru saja keluar dari kamar mandi. Melirik jam dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul delapan. Malam ini ia akan pergi ke pesta ulang tahun Nancy—Ibu kandung Silvia.

Redita meraih ponselnya dari atas tempat tidur dan menghubungi Radit. Dia hampir lupa memberitahu kekasihnya itu mengenai undangan Silvia dan dia tidak mungkin pergi sendiri ke pesta itu. Radit sama sekali tidak menjawab panggilannya.

Redita menghela napas panjang, segera mengetikkan pesan untuk pria itu.

Redita : Sayang, aku akan pergi ke pesta ulang tahun Mama Silvia. Maaf, aku baru mengabarimu. Aku benar-benar lupa. Aku mungkin akan ditemani oleh salah satu mafia ayah datang ke sana. Tidak usah mengkhawatirkanku.

Terkirim!

Redita menaruh ponselnya kembali di atas nakas. Segera, ia masuk ke dalam walk in closet-nya dan memilih gaun untuk dipakai ke pesta. Sebuah gaun berwarna merah dipilihnya. Gaun dengan potongan siluet mermaid dress berbelahan dada sedikit rendah dipakainya. Sangat cantik membalut tubuhnya yang bertipe tubuh seperti jam pasir.

Dia kemudian berdandan, memoles wajahnya dengan make up bermerek yang ia miliki dan menata rambut kadrunya hingga sedikit bergelombang. Ia membiarkannya tergerai menyapu setengah punggung yang terbuka. Redita mengambil clutch berwarna senada dan memakai sepatu high heels-nya. Cantik dan seksi mungkin akan menjadi kesan pertama orang-orang yang melihat penampilan putri satu-satunya Merlin itu. Perfect!

Berjalan keluar kamar dengan anggun melenggok melewati ruang tengah. Elena dan Merlin tampak duduk di sana bersama Judy dan Venda. Mengobrol dan bersenda gurau di malam hari.

"Dit," panggil Elena membuat wanita itu menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah mereka berempat.

"Ya, Ma?" Redita mengerutkan dahinya, menunggu ujaran sang Ibu selanjutnya.

Elena memperhatikan penampilan sang putri dari ujung kaki hingga ujung rambut sang putri. Wanita tua itu langsung menggeleng pelan sembari menyunggingkan senyum lebar. "Sudah mau pergi? Radit sepertinya belum datang," ujar Elena lagi. Menyadari suara mesin mobil Radit yang belum juga terdengar di halaman.

"Cantiknya anak Ayah. Kamu berdandan untuk siapa?" komentar Merlin menyela sambil mengisap cerutunya.

"Untuk Radit donk, Sayang. Siapa lagi?" Elena menepuk punggung tangan Merlin sembari mengulas senyum tipis.

"Huh! Ayah masih tidak rela kalau ia menikah dengan pria itu," cetus Merlin sembari mengepulkan asap cerutu dari mulutnya.

"Ada apa sih Yah, dengan lelaki bernama Radit itu?" tanya Judy menyela sedikit penasaran.

"Dia memacari adikmu dengan mudah. Ck .... Ayah kecewa putri Ayah didapatkannya dengan mudah. Terlepas dia orang baik atau tidak, Ayah tidak rela saja," ujar Merlin lagi.

Redita yang mendengar ujaran Merlin hanya terpaku di sana. Mendengarkan pembicaraan mereka dengan tarikan dan helaan napas yang panjang, selalu menahan gejolak di dadanya yang selalu memberontak jika Merlin selalu menyinggung kekasihnya. Mungkin jika ia sudah tidak tahan tinggal bersama keluarganya, ia akan benar-benar pergi dari mansion dan hidup mandiri.

Venda yang melihat kegelisahan dari Redita segera menanggapi dengan bijak. "Ayah, biarlah Dita mengenal kekasihnya dengan baik. Jika kita terlalu mencampuri kehidupan pribadinya, aku takut dia akan minggat dari mansion."

"Hah? Tidak-tidak! Putriku bukan gadis seperti itu, Nak," sanggah Merlin.

"Percayalah, aku pun pernah berada di posisi Dita dan hal itu membuatku frustrasi," kata Venda lagi.

"Hei, kamu ditentang saat berhubungan dengan siapa, Sayang?" Judy mendelik sekaligus menyelidik ingin tahu saat istrinya berkata seperti itu.

"Masa lalu. Saat belum mengenalmu, Sayang," Venda terkekeh.

Redita tidak berkomentar. Sesekali melihat ponselnya. Pesan itu belum juga dibalas Radit. Wajahnya mulai terlihat sedikit gelisah. Takut jika terjadi sesuatu dengan Radit.

Mendengar pendapat Venda, Merlin tidak menanggapinya lagi. Pria tua itu memang sangat keras pendiriannya. Dia terdiam sejenak kemudian melirik jam tangannya yang sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Pandangannya menatap lurus ke arah sang putri, merasa kasihan menunggu kekasihnya yang tidak juga datang.

Pria tua itu lalu berkata, "Ck ... sepertinya kekasihmu tidak datang. Sebentar, ayah akan menghubungi Antony untuk pergi bersamamu, Nak."

Seorang Merlin kali ini menurunkan egonya. Dia segera menghubungi Antony terlebih dulu setelah sejak kemarin lusa ia merasa sedikit kesal padanya, tapi demi sang putri yang tidak kunjung dijemput Radit, dia melakukannya.