Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 25 - Serangan Diam-Diam

Chapter 25 - Serangan Diam-Diam

Sing terus bertanya bagaimana bisa seorang pria yang sangat dekat dengan para elit negara mengetahui seluk beluk dari penginapan tua di sebuah desa yang cukup jauh dari Gedung Kuning.

"Aku dulu sering menginap di beberapa penginapan. Karena aku bosan di kamar, aku sering berjalan-jalan dan menemukan ruangan gudang Lewine tadi," sahut Athan yang sedang menutup dan mengunci kembali pintu besi dibantu oleh Kristo.

"Wah ku kira kerabat elit Negara sudah cukup nyaman dengan rumahnya sendiri. Ternyata kamu juga harus menginap di tempat lain?"

Sing meletakkan bawaannya dan duduk di salah satu sudut ruangan yang banyak terdapat botol Lewine.

"Ku rasa kalian pun pernah menginap di rumah saudara walaupun rumahmu adalah tempat ternyaman."

Sing seketika melirik pemilik suara nan bermata indah itu.

"Tapi kenapa?" tanyaku, sungguh pertanyaan dari lidahku yang tanpa aba-aba.

"Hanya untuk mengubah suasana," sahut Athan yang menatapku tajam.

Kami berkumpul di salah satu sudut ruangan, bersiap untuk melakukan penyerangan diam-diam terhadap tim lain.

Kami tidak dapat mengetahui jam karena di ruangan ini benar-benar gelap dan tidak berjendela.

"Ku rasa sekarang sudah hampir gelap," cletuk Kristo sambil menengadah.

Kami segera mengikuti arah pandangnya.

"Maksudmu, celah di atas kita sudah gelap?" tanya Sing yang dijawab anggukan oleh Kristo.

"Kita berada di bawah tanah, itu berarti di atas sana masih ada ruangan. Wajar saja jika sangat gelap," sahut Sing lagi.

"Tapi itu tampak seperti awan atau langit gelap. Ataukan bukan keduanya?" Kristo menajamkan penglihatannya hanya dari celah yang cukup kecil bagiku.

Deg deg deg

Aku kembali dapat merasakan detak jantungku tidak stabil. Segera ku pasang posisi bersiap.

Tuk tuk tuk tuk

Suara langkah kaki yang ku yakin lebih dari dua orang sedang berjalan di ruangan di atas kami.

"Ada orang di atas sana," gumamku. Athan dan Sing segera berdiri dan waspada, sementara Kristo masih mengamati dari celah kecil itu.

Dia bahkan sampai naik ke tumpukan kayu agar dapat mengintipnya secara langsung.

Aku sangat was was.

Athan bilang tempat ini sudah tidak dipakai sejak beberapa tahun yang lalu karena seluruh penduduk desa telah berpindah dan meninggalkannya menjadi desa mati.

Kristo turun bertepatan saat aku sudah tidak lagi mendengar suara langkah kaki dari lantai atas. Sing sangat penasaran dengan hasil pengintaian Kristo.

"Tidak ada siapapun, hanya sekumpulan kabut yang mirip asap tebal."

"Apa mereka adalah iblis?" suara nyaring Sing mengejutkanku yang duduk tepat di hadapannya.

"Aku pernah mendengar berita tentang asap hitam di Gedung Kuning yang rumornya adalah iblis yang tidak menampakkan diri," sambungnya lagi.

"Benar begitu kan?" Kristo menatap Athan yang sedang membersihkan busurnya.

Pria bermata indah itu menggeleng, "Jangan konyol. Itu hanya asap karena pembakaran batu bara. Mereka selalu melakukan itu untuk pemanas alami."

"Apakah kalian memerlukan banyak batu bara untuk menghangatkan sebuah ruangan saja? Asapnya hingga menutupi seluruh wilayah Timur, awan gelapnya hingga seluruh penjuru negeri," tanyaku.

"Jangan sebut 'kalian', aku tidak termasuk di dalam anggota mereka," sahutnya cepat merasa tidak nyaman dengan kalimatku.

"Aku pernah mendengar tentang pembakaran hutan di kawasan perkebunan lama di perbatasan wilayah Timur dan Utara. Ku rasa asap dan abu yang kalian maksud berasal dari sana tetapi aku pun belum tahu bagaimana keadaan lahan itu sekarang."

Aku mengernyitkan dahi tanpa sadar membuat Athan menatapu dan mengangkat alis kirinya.

Sangat aneh jika pembakaran lahan di perbatasan wilayah tetapi asap seolah hanya berasal dari Gedung Kuning. Ah kepalaku tidak membutuhkan hal semacam ini untuk dipikirkan.

"Apa itu artinya di Gedung Kuning tidak ada iblis asap tebal?" tanya Sing lagi.

"Ku harap rumor bodoh semacam itu tidak kalian cerna mentah-mentah." Athan kembali fokus dengan busur dan pedangnya.

Kristo kembali memandangi celah di atas kami, aku pun menoleh ke arahnya.

"Ku rasa aku salah lihat," ujarnya yang memergokiku memandanginya.

Aku hanya diam. Ku rasa ada sesuatu yang mulai tidak beres, karena aku jelas-jelas mendengar suara langkah kaki tetapi Kristo hanya melihat kabut.

Kami bersiap melakukan penyerangan kepada tim yang berada di dalam hutan. Aku memijat pelan kedua betisku yang sangat mudah merasa lelah jika melakukan perjalanan jauh.

Mereka membiarkanku berjalan pada barisan kedua tepat di belakang bang Athan. Mereka bilang itu adalah cara agar aku tidak tertinggal jauh karena langkah kakiku yang mungil.

Kami menyusuri ruang bawah tanah yang panjangnya di luar dugaan kami. Gelap dan pengap, menjadi bau khas tempat ini dan mengingatkanku pada lorong pertama saat awal aku diculik oleh Sam dan Ge.

Ruangan yang kami lewati menjadi semakin rendah dan hanya menyisakan ruang untuk kami merangkak. Pintu keluarnya berbentuk bulat, muat untuk ukuran tubuh orang dewasa.

Aku yakin itu adalah tempat pembuangan limbah Lewine karena banyak sekali botol di antara rerumputan yang meninggi.

Kami berada di alam bebas, ku rasa. Kami berdiri tepat di depan hutan lebat yang sangat gelap.

"Ayo! Tolong tetap waspada dan saling berdekatan," Kristo sangat yakin dengan hal yang akan kami hadapi.

Bang Athan menuruti Kristo, dia segera berjalan mengikuti langkah pria yang berbadan sedikit lebih besar darinya itu.

Baru saja masuk ke dalam hutan beberapa meter, kami sudah di kejutkan dengan tewasnya seorang Anak Anggota yang terpanah oleh Anak Anggota yang lain.

Kami segera bersembunyi di balik pohon yang cukup besar. Kristo dan Sing berada di pohon yang berbeda dari pohonku dan Athan.

Suara perkelahian masih terdengar jelas antara dua pasukan. Mereka menggunakan pedang yang saling berdenting, suara pukulan nyaring membuatku teringat momen menakutkan atas serangan bang Arlan.

Athan menggeleng kea rah Sing dan Kristo yang gemas dengan penyerangan membabi buta dari salah satu anggota kepada anggota lain yang sudah tak berdaya.

Kami harus tetap selamat, menang tanpa terluka. Harus seperti itu!

Aku menguatkan diriku sendiri yang masih belum terbiasa dengan perkelahian dan kematian.

Sebuah anak panah melesat dan mendarat di tanah dekatku dan bang Athan. Kami semakin diam dan tidak bergerak sedikitpun hingga terdengar salah satu dari tim yang menang mengajak rekan lainnya untuk berpindah tempat dan memburu tim lain.

Kami berempat segera berkumpul mendekati anak panah yang berwarna coklat, jelas sekali itu anak panah dari ruang senjata yang sama seperti milik kami.

"Mereka tidak bertarung dengan sesama Anak Anggota, kurasa." Kristo mengajak kami mendekati para pria yang tidak berdaya dengan lukanya masing-masing.

Salah satu pria yang terpanah saat kami datang adalah teman kami, dia adalah Modi. Aku sangat terkejut karena pria itu sangat mahir memainkan senjata, aku pernah melihatnya saat berlatih.

Anak panah berwarna perak menarik perhatian kami.

***