Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 26 - Pesisir Pantai dan Tepi Hutan

Chapter 26 - Pesisir Pantai dan Tepi Hutan

=Ge POV=

Hamparan pasir putih yang sangat luas tak kunjung menghipang dari pandanganku. Sejauh mata memandang hanya ada itu. Buih pantai sesekali mengalihkan perhatianku, memaksaku untuk memandang jauh bentangan lautan yang membiru.

Matahari yang meninggi mulai menghangatkan tubuh lelah kami. Sudah lebih satu jam, tim kami hanya menyisir pantai tanpa arah dan tujuan.

Digo, ketua pasukan kami berjalan memimpin dengan gagahnya sama sekali tak tampak lelah. Bercak darah di sepatunya sudah hampir pudar karena terkena air pantai.

Iya, kami telah mengalahkan satu pasukan dalam misi kali ini. Kami bertemu dengan mereka yang sangat ahli berkelahi yang memaksa kami untuk benar-benar berkelahi hingga bertumpah darah. Tangan kananku masih bergetar jika mengingat kejadian tadi, untuk pertama kalinya aku telah menghilangkan nyawa dari seseorang yang juga memiliki keinginan untuk pulang.

Masih ku genggam erat busur panah di tangan kiri, napasku mulai tersengal tapi kami tidak boleh berhenti sebelum menjadi pemenang dari misi ini.

"Genadi! Tidak perlu terlalu berambisi, mari istirahat sebentar!"

Suara Digo sangat jelas di telingaku. Seketika aku tersadar kalau hanya diriku lah yang berjalan di tepi pantai. Ketiga rekanku telah menepi ke arah hutan.

Entah, aku sangat yakin kalau aku tidak melamun.

Digo bilang kami harus menyisir tepi hutan. Dengan memanfaatkan kemampuan Topan memanjat, kami dapat memantai sekitar dari ketinggian. Harus tetap fokus, jangan percaya dengan tim manapun dan jangan menjalin kerjasama dengan tim manapun. Intinya, kami harus menang dengan tim lengkap apapun yang terjadi.

Ku anggukan kepala dengan mantap. Masih ada sekitar dua belas tim yang harus kami kalahkan sehingga kami henar-benar membutuhkan strategi yang tidak kaleng-kaleng.

Kami berkumpul di bawah akar pohon besar yang menyerupai gua besar, cukup untuk kami berempat melepas lelah sejenak.

Ku rasakan sedikit getaran di lengan kiri di balik hand band. Sedikit memalingkan posisi, ku cek gelangku yang memberikan sebuah alarm pemberitahuan. Ku putuskan untuk memanjat pohon di dahan yang cukup tinggi, aku ingin menjadi pengintai kedua setelah Topan, begitu yang ku katakan pada Digo.

Aku benar-benar kesulitan untuk menampakkan pada anggota tim mengenai gelang yang ku kenakan ini, karena akan menimbulkan banyak pertanyaan yang enggan ku jawab.

Ku tarik hand band yang menutupi gelang kecil hitamku, mulai ku sentuh dan ku nyalakan. Benar, memang ada pemberitahuan pada benda kecil itu.

Aku mendapat alarm mengenai perpindahan objek yang ku pasang alat pelacak. Semakin menjauh dan sulit dijangkau. Bisa ku pahami ini semua karena misi dengan lokasi berbeda dan tak terduga.

Harus ku akui, aku membenci hal yang membuatku repot seperti ini. Harus menjalani misi dan melindungi tokoh utama di saat yang bersamaan.

"Apa kamu baik-baik saja?" pertanyaan Topan sangat mengejutkanku. Dia tiba-tiba saja telah berada di dekatku, hendak memanjat dahan tertinggi.

"Iya, hanya pergelangan tanganku sedikit nyeri karena pukulan pasukan lawan tadi," sahutku seraya memijat lengan yang sekaligus membenarkan posisi hand band.

"Ku rasa Loudi bisa membantumu, dia adalah putra sulung dari tabib terkenal di Barat," ujarnya sambil menepuk bahuku sebelum kembali memanjat.

Aku hanya memgangguk, segera turun dan menghampiri rekan lain yang sedang menimang pedang mereka.

Pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah tim kami bisa menjadi pemenangnya? Lalu apakah kami dapat pulang setelah memenangkan ini?

Ah sebenarnya aku pun ingin segera pulang sama seperti Ami, hanya saja aku tidak ingin menampakkannya agar dia tidak semakin merasa tertekan.

Salahku, mengajaknya ke tempat ini dengan paksaan. Aku ingin sekali mengatakannya kalau sebenarnya aku punya ide bagus untuk mengakhiri semua ini, hanya saja waktunya belum tepat.

"Anak panahmu, apa jumlahnya masih cukup?" tanya Digo padaku yang masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Aku baru saja mengambil milik musuh, ini bisa kita pakai di pertarungan selanjutnya," sahutku sambil menghitung anak panah berwarna perak yang indah.

"Loudi?" Digo mengalihkan pandangannya ke pria berambut ikal yang sedang merebahkan tubuhnya di atas tanah kering.

"Milikku masih utuh, aku hanya menggunakan pukulan dan tendangan tadi," sahutnya tanpa membuka mata.

"Baguslah. Selanjutnya harus lebih berhati-hati, jangan sampai menerima serangan mendadak yang mengharuskan kita banyak keluar tenaga."

Pandangan Digo lurus ke depan tanpa berkedip. Dia menerawang jauh seperti sedang meramalkan sebuah pertarungan sengit.

Dia idolaku, ku rasa. Sikapnya yang diam dan tenang sangat tidak terduga jika memiliki jiwa pembunuh berdarah dingin. Bahkan menurutku dia sangat cocok menjadi penggabti bang Arlan kelak dibandingkan pria bermata indah dari pasukan Ami.

Setelah cukup lama di atas pohon, Topan turun dan membawa kabar kalau dari kejauhan dia melihat ada pasukan lain di dalam hutan yang seluruh anggotanya membawa pedang.

"Aku tidak yakin mereka siapa, tapi aku yakin kita memiliki tujuan kemenangan yang sama," ujar Topan menjelaskan.

Segera saja kami bersiaga, kami keluar dari gua agar pohon dan pergi ke tempat yang lebih leluasa untuk kami bertarung.

Tangan kananku kembali gemetar, Arrghh aku membenci nyaliku.

Loudi berjongkok dan menajamkan pendengarannya. Rambut ikalnya seolah ikut fokus hingga tak bergerak walau angin semilir menerpanya.

"Mereka semakin dekat, tapi jumlah mereka sangat banyak. Apa kamu yakin mereka hanya satu tim?" Loudi menatap Topan penuh tanya.

Pria semi botak yang tadi mengintai dari atas pohon mengangguk dengan mantap.

Digo mehela napas dalam, "Jangan lengah!"

Aku ikut memasang kuda-kuda, siap dengan busur dan pedang yang melekat di tubuhku.

Belum saja langkah musuh kami dengar, keributan telah terjadi di dalam hutan yang masih berjarak beberapa puluh meter dari tempat kami. Burung-burung berterbangan karena terusik, suara denting pedang sangat nyaring diiringi dengan teriakan khas orang bertarung.

Digo melempar pandangan kepada anggota tim. Kami segera mendekat untuk mengetahui pasukan mana saja yang bertarung.

Tidak begitu jelas, hanya aku mengira salah satu dari mereka adalah tim dari pasukan kelas Ami karena aku pernah melihatnya di arena latihan perempuan mungil itu, atau mungkin hanya mirip?

"Apa yang kalian lakukan disini?" suara berat seorang pria mengagetkan kami.

Loudi, yang berjalan paling belakang telah menjadi tawanan pria berjubah serba hitam dan menggunakan penutup eajah hingga hanya kedua manik matanya yang nampak.

Pria itu menahan tubuh Loudi dengan lengannya dan menempelkan ujung belati peraknya di leher pria ikal.

Tatapan pria itu sangat tajam tapi tampak tak asing bagiku, manik keemasan yang pernah ku lihat sebelumnya. Dia menatapku tajam sebelum akhirnya melemparkan belatinya untuk menghalau anak panah yang dilepas oleh Topan.

Dia segera menyerang kami dengan tangan kosong. Pedangku, segera ku tarik dan ku tebaskan ke arah pria bertudung itu, sialnya dia sangat lihai membaca pergerakan serangan kami.

***