Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 20 - Suara Bawah Tanah

Chapter 20 - Suara Bawah Tanah

"Lari! Aku ingin melihat kekuatan kaki kalian!" teriakan ketua pasukan hijau itu membuat kepalaku nyeri.

Sial, tubuhku bahkan masih cidera saat dia kembali memerintahkan latihan yang melelahkan.

Dengan mengatur pernapasan, ku pandangi lapangan luas yang digunakan untuk berlatih. Agak samar, mata kananku belum mampu menangkap cahaya dengan sempurna. Bekas pukulan mengerikan dari ketua pasukan hijau membuatku tampak seperti pangeran dari negeri api yang memiliki bekas luka bakar di matanya.

Aku tidak perlu banyak berpikir. Telah ku siapkan tubuhku untuk kembali cidera hari ini. Aku hanya ingin kelas ini segera berakhir dan aku dapat pergi ke ruang bawah tanah bersama kedua temanku.

"Mada! Cepat kemari dan bantu kami!" suara ketua pasukan hijau terdengar sedikit serak.

Dia memerintahku untuk mengambil senjata keperluan berlatih di ruang persenjataan bersama dengan Modi dan dua orang pasukan hijau yang tidak ku ketahui namanya.

Menarik, pikirku. Aku sungguh ingin mengetahui ruangan lain yang ada di tempat ini. Aku ingin kembali menggambarnya dan menyelesaikan petaku yang ku harap dapat menjadi petunjuk arah pulang.

"Tugas kalian adalah masuk, ambil senjata dan kembali ke lapangan. Mengerti?!" bentak seorang pasukan hijau padaku dan Modi.

Kami segera mengangguk tanda nurut dengan mereka. Kami berjalan mengikuti kedua pria itu melewati lorong yang berbeda dari yang ku lewati bersama Ge dan Sam sebelumnya. Lorong itu langsung menuju ruang tanah dengan puluhan anak tangga yang melingkar. Besi tua yang menjadi pijakan kami itu berderik yang cukup nyaring di telingaku.

Ruangan yang sangat luas dan berbau khas tanah itu menyimpan banyak sekali senjata tajam. Mulai dari belati, pedang, panah, tombak, alat pemukul, pisau daging, juga tombak. Semuanya berkilap dan menarik perhatianku.

Aku mengambil beberapa untuk berlatih. Modi tertarik dengan berbagai pedang panjang yang mengkilap di sudut kanan. Cukup lama dia memandanginya sebelum mengambil dan mengumpulkannya dengan senjata lain yang akan digunakan.

Indera pendengaranku menangkap suara yang tidak asing. Suara seperti puluhan kaki sedang berlarian dan samar klentingan suara pedang yang di adu. Aku melangkahkan kaki menuju sumber suara.

Ruangan lainnya berada tidak jauh dari jangkauanku, segera ku masuki saat para pasukan hijau sedang tidak menghiraukanku.

Kosong dan luas, sama seperti ruangan senjata. Ku langkahkan kakiku hingga menemukan pintu lain yang cukup lebar. Sambil berlindung di balik dinding, ku intip ruangan di seberang yang merupakan sumber suara yang membuatku penasaran.

Aku terperangah seketika saat melihat pemandangan di hadapanku yang menakjubkan. Itu bukan ruang tanah biasa, melainkan tanah luas seperti di permukaan yang juga memiliki tanaman dan bebatuan. Ruangan itu, maksudku area itu merupakan area berlatih kuda untuk Anak Anggota dan beberapa pasukan hijau yang lain.

Aku teringat dengan kisah Ge mengenai latihannya beberapa hari sebelumnya, aku hanya penasaran mengapa tim ku belum juga mendapat giliran untuk latihan yang sepertinya menyenangkan itu.

Saat aku masih mengamati sekitar, seorang anggota pasukan hijau menoleh dan menangkap pandanganku dari balik dinding. Segera saja aku kembali ke ruang senjata dan menemui Mode.

Jantungku kembali berdegup cukup kencang. Aku tidak yakin pria tadi mengingat wajahku, tetapi dari tatapan matanya ku rasa dia tidak menyukai kehadiranku.

Aku, Modi dan kedua pasukan hijau yang diutus bang Arlan telah kembali ke lapangan dengan membawa banyak senjata. Kami membagikan ke para Anak Anggota secara acak, mereka tidak boleh memilih senjata dan harus menggunakan senjata pembagian kami untuk bertarung.

Aku mendapat pedang panjang yang sangat tajam, entah kenapa bisa aku kehabisan senjata yang ku bagikan dan hanya tersisa dua pedang di tangan Modi. Aku memilih yang paling panjang karena sangat menarik bagiku. Aku pun tidak begitu mahir jadi harus berjarak cukup jauh dari musuh, apabila memakai belati ku rasa ku akan mati dalam hitungan detik.

Ku lirik bang Arlan yang masih berperangai sama seperti sebelumnya. Tatapan matanya yang tajam menyapu rata kami yang sedang berbaris di depannya.

"Latihan kali ini tidak seperti sebelumnya. Kalian hanya perlu membuat lawan terjatuh maka sudah dianggap menang."

Suara ketua pasukan hijau masih terdengar serak. Mungkin pengaruh alcohol, pikirku.

"Jangan ada yang terluka. Mengerti?!" bentak bang Arlan.

"Siap di mengerti!" kami segera memasang posisi siap sebelum membentuk lingkaran untuk siap bertarung satu lawan satu.

Ku renggangkan otot di kedua tangan, pinggang hingga kakiku sebelum memulai latihan. Aku hanya perlu memastikan semua sendiku telah kembali normal walau belum sepenuhnya sempurna. Sedikit memicingkan mata, aku mulai melatih inderaku yang lain untuk mengamati gerakan lawan.

Di luar dugaan, bang Arlan menyuruhku untuk pertama maju melawan bang Athan. Walau aku terkejut, aku berusaha untuk bersikap professional dan sama sekali tidak takut kalah.

Tubuh besar Athan membuatku sedikit merinding. Berkelahi dengan Ge pun aku sudah tidak ingin karena aku lebih mungil darinya, tapi kini aku harus berhadapan dengan sosok yang lebih besar dari teman kecilku itu.

Huhh, ku helakan napas panjang sebelum ambil posisi untuk siap menyerang.

Aku beberapa kali menghindar dari sabetan pedangnya, melawan sesekali karena tidak ingin mati konyol karena perlawanan.

Pandanganku focus ke wajahnya, telingaku focus pada suara pergerakan kaki dan tubuhnya, sementara tubuhku focus dengan aura yang bisa ku rasakan saat dia mulai menyerang. Manik matanya yang keemasan tampak berkilau membuatku takjub sesaat, gerakannya yang lincah kembali meningkatkan kewaspadaanku dan membalas serangan-serangannya yang tidak tertahan.

Hanya karena serangan pedang dan tendangan kuatnya, tubuhku limbung terjatuh di atas tanah tepat di bawah terik matahari. Pria itu mengarahkan ujung runcing pedangnya tepat di depan mataku, membuatku tidak dapat bergerak lagi selain menarik napas dengan tersengal.

Sial, aku sungguh terpana dengan parasnya hingga lengah dan kalah.

Athan masih memandangiku cukup lama memastikan apakah aku akan melawan atau tidak. Telah ku putuskan untuk menyerah, perutku keram setelah mendapat tendangan darinya. Lenganku kembali ngilu karena banyak gerak saat melawan.

Gruduk gruduk gruduk…

Terdengar lagi olehku, suara banyak langkah kaki yang berlarian menyerbu. Otakku seketika mengingat arena berlatih kuda yang tadi ku lihat, langsung dapat ku simpulkan bahwa suara itu adalah suara dari para Anak Anggota dari pasukan lain sedang berlatih di bawah tanah.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Ayo bangun dan lawan aku hingga akhir!" sentak bang Athan mengganggu pendengaranku.

"Bukannya aku sudah kalah?" tanyaku pasrah.

Athan menarik sudut bibirnya kecil, "Kamu ingin kalah? Akan ku kabulkan!"

Zring !!

Hahh… Jantungku kembali nyeri. Baru saja bang Arlan menghalau serangan pedang bang Athan yang hendak di hunuskannya padaku. Pedang keduanya saling adu tepat di atas tubuhku yang masih tergeletak lemah.

"Hentikan! Kamu tidak diijinkan untuk melakukan ini." Terdengar suara bang Arlan yang menekankan kalimatnya pada Athan, membuat pria bermata indah itu menarik pedangnya dengan kesal dan kembali ke barisan.

***