Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 21 - Kembali Berlatih

Chapter 21 - Kembali Berlatih

"Apa kamu mendengar suara pasukan berkuda sedang berlatih?" tanyaku pada Sing yang duduk di dekatku. Dia sedang mengikat lengannya dengan kain karena baru mendapat luka baru dari tebasan pedang Kristo.

"Dimana?" tanya nya dengan suara tertahan, dia sambil menarik salah satu ujung kain dengan di gigit.

"Di area latihan. Saat kamu terjatuh, apa tidak mendengar apapun dari bawah tanah?"

Mantan preman itu memandangiku sambil menggeleng, dia masih sibuk dengan lukanya.

"Apa maksudmu di bawah tanah ada arena berlatih lainnya?" tanya nya setelah selesai membungkus luka.

"Iya, aku pernah mendengar dari temanku di tim lain," jawabku santai.

"Ternyata benar ya. Aku pun pernah mendengarnya, tetapi selama aku di sini aku belum pernah pergi ke tempat itu jadi ku kira itu hanya rumor."

Aku diam. Kalimat Sing seolah menjawab pertanyaan di benakku tadi yang penasaran karena setiap tim memiliki latihan yang berbeda satu sama lain.

Aku belatih bertarung dengan senjata, Ge bertarung dengan kuda dan panah, lalu apa yang dipelajari oleh tim Sam?

Aku masih bertanya-tanya dengan diriku sendiri. Lagi pula, apa tujuan mereka memberikan kami latihan yang berbeda padahal pasukan hijau memiliki tugas yang sama yaitu menjaga perkebunan.

Latihan hari ini berlalu cepat untukku. Setelah bertarung, kami berlatih di danau untuk berlari di air juga menyelam. Bukan keahlianku, lagi-lagi aku kesulitan melakukan latihan di tempat ini.

Telapak kakiku terluka karena menginjak batu di dasar danau, untung saja tidak berdarah hanya perih sedikit. Menyelam pun membuatku hampir kehabisan napas karena selama aku hidup, aku belum pernah melakukan hal itu. Pernah hanya berendam menangkap ikan, selebihnya aku hanya berharap pada takdir yang masih memihakku.

Tubuhku lemas, dengan berjalan gontai aku menuju kamar untuk segera beristirahat.

"Halo Ami!"

Argh, kesal sekali aku dengan perempuan ini. Fine selalu saja mengejutkanku dengan muncul tiba-tiba.

"Hehe kamu terkejut ya?" tanya nya dengan cengiran khas bocah.

"Hemm, walau sudah sering tetapi aku masih belum terbiasa dengan kemunculanmu," sahutku apa adanya.

Perempuan itu kembali memamerkan deret giginya.

"Aku membawakan ramuan obat untukmu. Ini untuk di oles ke luka di tubuhmu, lalu daun ini gunakanlah untuk mengompres matamu yang masih memar itu agar segera pulih dan kembali cantik seperti awal kamu datang ke tempat ini," ujarnya dengan wajah ceria.

"Terimakasih banyak, Fine. Kamu selalu memenuhi kebutuhanku," segera ku sambut wadah dan baki yang di bawa Fine.

"Baiklah, jika kamu membutuhkan sesuatu temui aku di ruangan penjaga yang berada di tepat di ujung ruangan setelah kamu keluar lalu belok kanan dan belok kiri. Aku permisi."

Gaya bicara Fine sangat berkesan untukku. Perempuan itu selalu tampak ceria seolah tidak ada beban hidup yang mengganggu pikirannya. Aku sedang ingin belajar untuk menjadi sosok seperti dia.

Ku rebahkan tubuh di atas tempat tidur batuku, cukup menyakitkan tulang punggung tetapi membuat tulangku yang lain sedikit beristirahat. Gemersik angin yang menerpa dedaunan di halaman belakang menyadarkanku kalau telah cukup lama aku tidak mendengar anak-anak bermain.

Sambil menyalakan lampu, ku berjalanan ke arah jendela untuk menengok halaman belakang. Kosong, hanya permainan yang berdenyiit karena terpaan lembut angin senja. Beberapa daun kering berserakan memenuhi tempat bermain anak-anak itu, menandakan telah tidak dikunjungi dalam beberapa waktu terakhir.

Ku rasa orang tua mereka sedang menghukum mereka karena waktu itu telah bermain hingga gelap. Mungkin juga mereka telah bermain di saat siang, saat aku masih menjadi bagian dari pelatihan yang menyebalkan.

Lampu kamarku sedikit berkedip menarik perhatianku. Setelah tiga kali menyorotkan cahaya temaram, benda bercahaya itu kembali menyala dengan normal.

Aku sangat menyukai bentuknya yang tidak seperti bohlam biasa. Lebih mirip dengan lampion dengan bola bagian tengahnya bening indah.

Hal lain yang membuatku tidak begitu membenci tempat ini adalah kamar mandi. Mungkin terdengar aneh, tetapi desain dari ruangan itu lebih canggih daripada di rumahku. Aku bahkan dapat menikmati segarnya air hangat hanya dengan menekan salah satu tombol yang ada pada gagang pancuran.

Sering kali ku biarkan tubuhku dihujani air hangat yang menenangkan seluruh sendi dan tulangku. Ku pejamkan mata dan merasakan pedih di setiap luka yang basah. Suara gemercik airnya membuat pikiranku adem.

Sambil menunggu jam makan malam, aku memilih untuk berdiam di kamar kembali mengecek beberapa bendak di laci meja.

Ada sebuah surat kabar lama yang sepertinya milik penghuni kamar sebelumnya.

Dari kertas dan isinya menunjukkan kalau surat kabar ini jelas sudah sepuluh tahun yang lalu namun kertasnya masih sangat bagus serta tulisannya pun masih bisa ku baca.

Ku baca sebuah judul yang tidak begitu menarik bagiku, artikel tentang kampanye presiden pada masa aku masih remaja. Ku lihat-lihat gambarnya, dua pasang calon presiden sedang menyampaikan aspirasinya di hadapan ribuan pendukung mereka yang mengibarkan bendera kebangsaan juga bendera wajah mereka.

Ku buka lembar berikutnya, artikel lain masih dengan tema yang sama. Ku lewati, hingga pada lembar terakhir yang berisikan tentang info perkebunan di wilayah timur serta bisnis Lewin.

Apa mereka adalah orang tua Anthony? Mungkin saja bukan tapi bisa jadi iya karena aku tidak mengenal siapapun yang memproduksi minuman berakohol itu.

Ku letakkan di atas tempat tidur, surat kabar itu akan kembali ku baca setelah selesai makan malam. Ku buka lagi laci yang lain, ku temukan lukisan yang pada hari pertama ku turunkan dari dinding karena aku tidak begitu menyukainya.

Ku bersihkan sedikit debu yang menempel, ku letakkan di atas tempat tidur sambil kembali mencari benda yang sekiranya dapat ku pandang atau baca sebagai hiburan.

Bingkai dari lukisan itu terbuat dari logam yang sangat indah, hanya polos namun terlihat elegan dengan sedikit ukiran di setiap ujungnya. Aku bahkan baru melihat ukiran itu walau sudah pernah menyentuh sebelumnya.

Seorang kesatria berkuda yang sedang memandangi bayangannya di danau, tetapi bayangannya hanya berdiri tanpa kuda dan keduanya saling pandang dengan tatapan yang mengerikan. Aku tidak dapat mengartikan makna lukisan itu, lagi-lagi harus ku akui itu bukanlah keahlianku.

Tapi ku rasa lukisan itu berhubungan dengan tempat ini. Berkuda? Ku rasa dia adalah salah satu dari pria di bawah tanah. Bayangan di danau? Ah pikiranku kembali malah mengingat saat latihan menyelam tadi, dadaku masih sakit karena cukup banyak menelan air danau.

Tapi kenapa mereka saling pandang dengan penuh amarah? Ku rasa aku memahami sesuatu. Mereka adalah orang yang berbeda, dua orang yang tidak saling menyukai dengan keahlian masing-masing dan menjadi musuh. Ku rasa begitu.

Tatapan kesatria berkuda sungguh mengintimidasi, aku bahkan dapat merasakan desiran darahku karena merasa khawatir dengan tatapan mendalam seperti itu. Pria di danau tampak lebih tenang, tetapi menyimpan sesuatu yang dapat digunakan untuk menyerang pria berkuda.

***