Aku dan beberapa teman satu tim ku telah selesai makan malam dan hendak kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Dari arah belakang aku mendengar suara Ge yang sedang bercengkrama dengan beberapa temannya. Dia tampak baik-baik saja dan tidak ada cidera, dia bahkan masih bercanda gurau yang artinya dia sedang tidak mendapatkan beban pikiran apapun. Dia tidak melihatku, tapi aku lega melihatnya tidak menjadi mumi sepertiku.
Aku kembali ke kamar dan segera merebahkan tubuhku yang terasa sangat kaku. Walau tempat tidurku tidak lembut, setidaknya aku dapat meluruskan urat lelahku di atasnya.
"Ahahaha ayo kesini, aku akan mengayunmu,"
"Tidak, jangan, aku takut,"
"Lihat aku terbang, yuhuuuuu,"
Terdengar dengan jelas suara anak-anak sedang bermain di halaman belakang. Ku pandangi jam dinding yang telah menunjukkan pukul 8.30. Sekarang bukan waktu yang tepat bagi anak-anak seusia mereka untuk menghabiskan waktu.
Aku kembali bangun dan meraih pakaian tebal, keluar dari kamar dan menyisir tepi asrama untuk menuju halaman belakang. Sudah sangat gelap, hanya ada beberapa lampu jalan yang cahayanya mengenai sekitaran asrama samar. Angin berhembus cukup kencang dan konstan, membuatku bergidik beberapa kali.
Cukup jauh ternyata, karena aku harus berjalan sedikit memutar dari pintu depan asrama agar sampai di taman bermain itu. Tiga anak perempuan dan seorang anak laki-laki sedang asik bermain ayunan dan jungkat-jungkit. Mereka benar-benar sedang berbahagia, sambil terus bermain mereka sesekali saling menggoda hingga berkejaran. Sungguh menyenangkan, aku langsung saja teringat masa kecilku.
Segera ku hampiri mereka, karena masih berlarian mereka tidak mendengarkanku sama sekali. Ku tangkap salah satu dari mereka yang sedang berlari, hal itu membuat anak-anak yang lain berhenti dan memandangiku dengan ekspresi tak suka. Aku mendadak merasa sangat bersalah.
"Aku ingin bermain bersama dengan kalian, apa boleh?" tanyaku sambil memaksimalkan tampang ramahku yang tak begitu tampak karena banyak memar.
Anak perempuan yang berada di dekapanku hanya memandangiku tanpa berkedip. Sial, dia takut dengan wujudku.
"Aku bukan orang jahat, namaku Ami. Aku baru pindah dan belum memiliki teman, apa kalian mau berteman denganku?"
"Aku Marla," Seorang anak perempuan dengan mata bulat, rambut kepang dua menghampiriku dan mengulurkan tangan kanannya. Dia imut sekali.
"Hai, namamu cantik sekali sangat cocok dengan parasmu yang juga cantik," ujarku sambil menyalaminya. Seketika aku terkejut, tangan bocah itu sangat dingin bahkan sangat terasa padahal tangan kananku berperban. Tak ingin berekspresi aneh, ku sunggingkan senyum terbaikku di hadapan anak-anak manis itu.
"Aku Mino," ujar si anak laki-laki yang mengenakan baret warna kelabu dengan mata coklatnya yang indah.
"Aku Bre, tapi orang-orang sering memanggilku Reville," Anak perempuan berambut ikal pirang menyunggingkan senyum indahnya, "Namaku Breville," sambungnya lagi masih dengan senyumnya. Cantik sekali.
"Kamu? Siapa namamu?" tanyaku pada anak perempuan yang ada di dekapanku, matanya memandangiku tajam dengan berkali-kali mengedipkannya.
"Dia Lonee. Dia tidak bisa bicara," kata si anak perempuan berkepang dua, Marla.
"Lonee? Namamu indah sekali, benar-benar sangat cocok dengan paras indahmu," ujarku sambil menampakkan deret gigiku, anak itu membalasnya dengan senyum kecil. Satu hal lain yang baru ku sadari, dia adalah anak yang tempo hari ku lihat sedang duduk manis saat teman lainnya bermain karena dia cacat. Dia memiliki kaki palsu yang seperti robot.
Ku pandangi lagi bocah manis di dekapanku, dia kurang beruntung karena memiliki kekurangan tapi dia sangat beruntung memiliki teman-teman yang tetap mengajaknya bermain tanpa membedakannya.
Aku mengajak keempat anak itu untuk duduk dan mengobrol sedikit. Aku ingin menyuruh mereka pulang dan mengantarnya, tetapi akan sangat aneh jika kami baru berkenalan lalu aku menyuruh mereka pergi. Aku menceritakan beberapa pengalaman masa kecilku yang bar bar kepada mereka dengan sedikit membumbui dengan kelucuan agar mereka terhibur.
"Haha, apa kamu bodoh hingga terjatuh ke air kotor saat sedang bermain?" cletuk Bre yang diikuti tawa teman-temannya. Apa ini? Dia membuatku terkejut dengan kata kasar yang ia ucapkan pada orang yang lebih tua.
"Ah aku hanya sedang lelah, tidak begitu focus hingga terjatuh dan seluruh tubuhku kotor," sahutku tanpa ada kalimat tersinggung sedikitpun. Mereka hanya anak-anak, mungkin saja mereka sering mendengar perkataan dari orang sekitarnya.
"Anak-anak, sudah saatnya pulang. Ayo, aku akan mengantar kalian!" Terdengar suara seorang pria dari arah belakangku, dia adalah bang Seta.
Anak-anak merengek mengatakan masih ingin bercerita denganku sedikit lebih lama, tetapi pria itu tidak mengijinkannya. Dengan gaya khas pengasuh anak-anak, bang Seta merayu keempat anak itu dan mengatakan kalau mereka dapat kembali bermain denganku besok hari. Aku segera mengiyakan kalimat bang Seta, karena memang itulah tujuanku menghampiri mereka hanya saja aku terlalu larut bercerita hingga lupa menyuruh mereka pulang.
"Besok berceritalah lagi untuk kami, akan ku ajak semua teman-teman untuk mendengarkan ceritamu," Mino memegang lengan kiriku sebelum dia ikut pergi bang Seta dan teman-temannya.
Segera ku setujui dan ku elus pelan kepala anak itu, dia benar-benar tampan dan pintar. Ah sebentar, selalu ada yang tampan di kepalaku. Segera ku pijat pelan dahiku, ku rasa aku sudah semakin lelah.
Ku berjalan mengikuti bang Seta, hanya berjarak beberapa meter di belakang pria itu yang menggendong Lonee dan Bre lalu Mino dan Marla memegangi celananya dan berjalan di kanan dan kirinya.
"Huhh..," ku hembuskan napasku, anginnya sungguh membuat uratku mengkerut. Ku alihkan pandangan kembali ke taman di belakang, ayunan bergerak pelan karena terpaan angina. Dedaunan saling bergesekan menimbulkan suara berisik yang sama sekali tidak menggangguku.
Ketika kembali melihat ke arah depan, aku kehilangan jejak penjaga asrama itu. Segera ku percepat langkah bahkan hingga berlari untuk menyusul langkah mereka. Tidak mungkin mereka telah jauh, anak-anak itu tidak bisa berjalan secepat si penjaga asrama. Aku berhenti tepat di depan bangunan asrama, memperkirakan kemana perginya mereka.
Aku berjalan kea rah arena latihan, ku ikuti jalan beraspal yang sebelumnya di lalui oleh bang Arlan ketika pertama mengantarku ke tempat ini. Mentok di sebuah jalan buntu di dekat pagar tembok tinggi, sekelilingnya pun tidak ada rumah penduduk atau apapun. Ku rasa aku tersesat. Aku kembali berjalan menuju asrama, pintu depan belum di kunci yang artinya bang Seta belum kembali. Aku duduk dan menghunjurkan kaki di anak tangga pintu depan asrama, kakiku sudah sangat lelah tapi aku sangat ingin mengetahui apakah anak-anak itu telah pulang dengan aman ataukah kena marah oleh orang tua mereka.
Hampir terlelap, suara langkah kaki bang Seta menyadarkanku. Dia berdiri dan memandangiku kesal karena masih berkeliaran di saat jam istirahat.
"Aku hanya ingin mengetahui keadaan mereka," ujarku yang sudah paham dengan pertanyaan yang akan di ajukan pria itu. "Apa orang tua mereka marah karena mereka pulang saat hari sudah gelap?" tanyaku.
"Mereka baik-baik saja. Kembalilah ke kamarmu."
"Emm baiklah. Selamat malam bang Seta," Aku segera berjalan menuju kamar. Aku mendengar pria penjaga asrama itu sedang menutup pintu depan dan menggemboknya.
***