Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 19 - Hujan Abu

Chapter 19 - Hujan Abu

Angin malam berhembus dengan sangat tenang, menggoyangkan dedaunan dan bunga-bunga di halaman. Suasana menjadi semakin dingin ketika awan gelap mulai datang. Satu per satu dedaunan mulai terjatuh, angin bertiup semakin kencang.

Suara gemuruh serta kilatan di langit menjadikan suasana semakin mencekam. Rintik air mulai berjatuhan dan membasahi alam. Air itu hitam, baunya sangat tidak nyaman seperti hujan pada umumnya.

Duaarrr !!

Petir menyambar sangat nyaring setelah kilatan dahsyatnya. Ku rasakan jantungku berdetak sangat cepat, napasku tersengal di tengah kegelapan.

Samar, ku dapat mendengar suara ibu memanggil namaku dalam rintihan.

"Ami… Ami…"

Ku tengok kanan kiri, berlari kesana kemari mencari sumber suara yang sangat ku sayangi. Dimana? Aku tidak dapat menemukannya.

Butiran air semakin deras turun dan membasahi tubuhku, membuatku berwarna kehitaman dan sangat bau. Petir masih terus menyambar mengganggu pendengaranku yang masih mencari suara ibu.

Ibu? Aku tidak dapat memanggilmu, lidahku kelu.

"Ami…. Ami…"

Tubuhku terasa terguncang, jantungku berdetak dengan cepat dan napasku masih sangat sesak.

Duaarr!!

Petir menyambar untuk kesekian kalinya.

"Ami… bangun! Ami…!" suara itu berubah dan terdengar sangat jelas saat aku berhasil membuka mataku dengan lebar dan mehela napas sangat lega.

Apa ini? Tubuhku basah tetapi tidak kehitaman, ini hanya peluh. Suara yang memanggilku, ternyata bukan ibu tetapi Sam dan Ge yang sedang duduk tepat di hadapanku. Jantungku, bahkan sampai nyeri karena berdetak sangat kencang. Napasku sungguh tak keruan.

"Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?"

"Kamu mimpi buruk?"

Kedua pria itu memandangiku dengan penuh empati. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan mereka dengan mudah, aku bahkan tidak mengetahui apa yang barusan terjadi.

"Dimana kita?" tanyaku seketika saat melihat sekeliling yang di penuhi dengan rak berisi penuh minuman merah.

Ge mehela napas panjangnya. "Kita di gudang Lewine."

"Bagaimana bisa?" aku sungguh tidak mengerti dengan keadaan kami.

"Ku rasa kita di buat pingsan saat menuruni tangga. Aku tersadar tepat ketika kita berada di bawah tangga karena Sam membangunkanku. Lalu membawamu kesini agar kita aman," jelas Ge.

"Kenapa kalian tidak membangunkanku?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi.

"Bukan tidak membangunkanku, tapi tubuhmu enggan untuk bangun," sahut Sam yang duduk di dekat kami. "Aku dan Ge bergantian membangunkanmu, tetapi tubuhmu sangat kaku dan dingin. Kamu bahkan berpeluh dan napasmu tidak teratur. Kami khawatir sehingga memutuskan untuk mengamankan diri di gudang ini."

Aku bingung ketika mendengar perkataan Sam. Mencoba mengingat yang telah terjadi tetapi otakku tidak dapat menemukan memori apapun mengenai hal ini. Hanya mimpi yang melelahkan.

Masih ku sandarkan tubuh sembari memberi ketenangan untuk jantungku yang lelah. Sam dan Ge berkeliling gudang untuk melihat-lihat. Sesekali mereka pun mengintip ruangan lain yang ternyata sama dipenuhi minuman merah.

"Jika mereka baru dari ruangan ini. Ku rasa mereka hanya sedang menikmati waktu bersama dengan minum-minum," ujar Ge yang baru mengamati ruangan sekeitar.

"Ku rasa juga begitu. Apakah kita pingsan karena menghirup terlalu banyak aroma minuman itu?" tanyaku.

"Bisa jadi," sahut Sam, dia sedang memperhatikan botol-botol yang memiliki perekat dengan tulisan tanggal pembuatannya.

"Lalu mengapa mereka harus memastikan kita tidak sadarkan diri?" Pertanyaan kami bertiga sama persis.

Tiba-tiba kami menjadi sangat kompak dalam kebingungan.

"sepertinya kita memiliki pekerjaan rumah sekarang," gumamku yang disambut Sam dengan anggukan.

Ge membantuku berdiri, kami telah memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan kembali ke ruang makan. Walau masih sangat penasaran, kami urungkan niat untuk menyelidikinya saat fajar. Malam adalah waktu terbaik karena kami tidak memiliki jadwal latihan saat itu.

Kami berjalan masih dengan mengendap, berjaga-jaga dari siapapun yang mungkin akan memergoki kami.

Suasana di luar masih gelap, entah karena masih malam atau memang langit yang kembali tak bersahabat.

Doommm! Terdengar sangat nyaring suara meriam dari arah yang tidak dapat kami pastikan.

Aku dan Ge saling pandang, kami pernah mendengar itu saat kami mengantar hasil panen dulu. Sam menghentikan langkahnya, dia memekakan indra perasanya dengan membiarkan kakinya merasakan getaran yang ditimbulkan dari suara nyaring itu.

"Ini tidak jauh." Sam sangat serius, belum pernah sebelumnya aku melihat ekspresi seperti itu di wajahnya.

"Kita harus benar-benar merencanakan semuanya dengan matang jika tidak tidak ingin kembali pingsan dan terbangun saat fajar. Besok, setelah jam makan mala mayo kita bertemu lagi di sini," Sam sangat antusias.

"Wow, aku belum pernah melihatmu menjadi seperti Ge begini. Apa kalian sudah saling mempengaruhi satu sama lain?" tanyaku.

"Kami memiliki nenek yang sama, sudah sangat wajar jika kami memiliki banyak sifat yang sama," Ge menepuk pelan bahu sepupunya.

Sam hanya mengangkat kedua alis sambil tersenyum kecil. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ruang makan. Udara hari ini sedikit berbeda, abu yang masih berterbangan membuatnya tidak menyegarkan seperti hari biasanya.

Walau gelap dan berabu, suasana di tempat ini tidak seburuk suasana di daerah Timur pemukiman dan pasar yang memaksa kami untuk selalu mengenakan masker agar dapat bernapas dengan lega.

Sangat tepat waktu. Setibanya kami di ruang makan, para Anak Anggota yang lain telah bangun dan sebagian telah kembali ke kamar masing-masing. Kami bertiga harus berpisah saat jam latihan, lalu akan kembali bertemu setelah jam makan malam.

Aku melihat bang Athan keluar dari ruang makan satu barisan dengan anggota tim yang lain. Dia berjalan dengan tampang kakunya yang sangat khas, bukan dengan tampang aneh seperti malam tadi.

Pria itu tidak melihatku, dia hanya melewatiku dan menuju kamarnya. Mungkin dia mampir untuk memastikan kalau kami semua telah bangun dari mimpi buruk yang sama. Ah entahlah, aku bahkan merasa kalau mimpiku tadi malam disebabkan oleh tempat ini.

Aku mengambil roti dan air mineral untuk ku bawa ke kamar. Aku belum tau apakah hari ini akan kembali menegangkan ataukah masih santai seperti kemarin.

Beberapa pasukan hijau dan pelayan dapur yang belum pernah ku lihat sebelumnya sedang merapikan meja-meja yang sangat berhamburan. Botol-botol berserakan di seluruh penjuru ruangan. Sisa-sisa minuman yang tumpah dan membuat meja juga lantai menjadi sangat lengket dan beraroma menyengat.

Dengan masih terhuyung, beberapa anggota dari tim ku menyapaku dan meminta air mineral kepada Koki Lentik. Entah apa yang membuatku tertarik untk mengamati suasana ruang makan pagi ini. Semuanya tampak kacau tetapi unik bagiku.

"Apa tadi malam kamu menikmatinya?" tanya Koki Lentik membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk pelan lalu menjawabnya, "Kami mengobrol banyak hal dan menjadi sangat akrab antar tim."

"Kamu tidak mabuk?" tanya nya lagi membuatku sedikit kikuk. "Atau kamu memang memiliki tubuh yang kuat yang dapat kembali sadar dan pulih dengan cepat?"

"Ah tidak juga. Aku bahkan masih merasakan pening hingga sekarang, hanya saja tubuhku tidak sempoyongan," jawabku ramah.

Pria ahli memasak itu tersenyum manis, sudah menjadi ciri khasnya ketika berbincang dengan orang lain.

***