=Sam POV=
Aroma sedap khas sup daging melewati hidungku dengan sangat ramah membuatku berniat untuk membuka mata walau sebenarnya ini sangat berat. Seluruh tubuhku terasa sangat sakit, dadaku pun sangat sesak.
Perlahan tapi pasti, ku buka kedua mataku dengan terus ku hirup aroma sedap masakan yang menjadi kesukaanku sejak kecil. Saat telah kubuka kedua mata dengan sempurna, aku menyadari banyak hal salah satunya adalah posisi tidurku sangat tidak nyaman karena ternyata aku sedang tengkurap hingga sangat wajar jika dadaku terasa sesak.
Kedua, aku merasakan dingin pada tubuhku yang ternyata memang tidak ada sehelai kainpun yang menutupi punggungku yang indah.
Ketiga, ku rasa aku sedang berada di sebuah rumah atau penginapan atau entahlah yang jelas ini bukan suasana di dalam hutan.
Masih dengan sangat berhati-hati, ku ubah posisiku untuk duduk dan meregangkan otot yang kaku. Ruangan ini sepi, tetapi aroma masakan tadi masih tercium sedap yang menandakan bahwa aku tidak sendiri.
Ku pandangi tubuhku yang tak terbalut kain, hanya celana panjang yang bahkan aku lupa apakah itu memang celana yang ku kenakan saat bertarung di hutan. Beberapa bekas luka yang sudah mongering tetapi masih sangat nyeri menghiasi dadaku yang agak kurus. Bagian punggungku terasa sedikit berat karena aku yakin ada semacam perekat yang digunakan untuk menutupi lukaku.
Kaki kananku, sangat sulit ku gerakkan karena di perban menyerupai mumi. Entah, tapi ku rasa saat ini aku sedang berada di sebuah rumah sakit dengan pelayanan prima.
Nggggggggggggg …
Argh! Aku membenci ini, dengungan nyaring kembali mengusik telingaku hingga pening. Ku cengkeram erat rambutku untuk mengurangi rasa sakitnya tetapi tidak ada hasil. Tanpa ku sadari, aku berteriak karena menahan sakit yang ku rasakan.
Lembut, aku dapat merasakan seseorang sedang memijat tengkukku dengan pelan. Dimainkannya jari mungil di kepala bagian belakang hingga pelipis, hal itu menenangkanku dan rasa sakit itu berangsur hilang.
"Kamu seharusnya jangan langsung duduk." Suara lembut perempuan itu masuk ke dalam otakku. Segera ku toleh arah sumber suara dan benar saja, kehadirannya yang tiba-tiba membuatku terkejut hamper berteriak.
"Kamu siapa?" tanyaku panic. Bagaimana tidak? Aku bahkan tidak mengenai pakaian untuk melindungi punggung dan dada, lalu ada seorang perempuan yang masuk ke dalam kamarku dan berada pada jarak yang sangat dekat denganku. Ini bukan hal yang baik untuk jantungku.
"Aku Fine," ujarnya dengan senyum ramah yan bagiku itu tampak seperti anak-anak.
"Beristirahatlah sebentar lagi, makan siangnya akan segera matang," tambahnya sebelum keluar dari kamar tempatku ini.
Sedikit ku miringkan kepala karena heran, aku belum pernah bertemu dengan perempuan berpenampilan sesederhana itu. Seketika aku ingat Ami, perempuan yang berjiwa pria itu tidak akan pernah mengenakan gaun apalagi memanjangkan rambut dan mengepangnya. Ah, membayangkannya saja aku sudah hendak tertawa.
Lila, kekasih Ge yan genit itu pun tidak akan pernah mau mengepang rambutnya karena dia pasti akan merasa kalau itu bukanlah dirinya.
Segera kuraih kemeja lawas berwarna kecoklatan yang tergantung di dekat tempat tidur. Walau ini tampak tidak sesuai untuk jiwa mudaku, tapi setidaknya aku tidak akan merasa kedinginan.
Dengan sedikit pincang, aku berjalan menuju jendela untuk memandang keadaan di luar. Cahaya matahar menghangatkan halaman rumah. Di kanan dan kiri pun banyak rumah dari kayu yang tampak serasi dengan taman bunga kecil yang sangat rapi. Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku berada di desa dengan suasana senyaman ini.
Fine kembali masuk ke kamar dengan membawa baki makanan. Dia mempersilahkanku untuk makan dan meminum ramuan herbal agar luka di tubuhku segera pulih.
"Apa kamu tidak makan bersamaku?" tanyaku saat perempuan itu berdiri ingin keluar.
"Tidak, aku masih harus mengurus beberapa pekerjaan," sahutnya.
Aku masih belum biasa dengan tempat ini sehingga aku memintanya untuk tetap bertahan dan menemaniku makan. "Aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan jika kamu tidak keberatan," ujarku sambil memasang posisi siap untuk menikmati hidangan.
Agak ragu, perempuan itu kembali duduk dan membantuku menuangkan sayur pada piring.
"Desa kami bernama Viteg, desa yang nyaman tentram tanpa ada masalah apapun. Kamu sudah tiga hari berada di desa ini, waktu itu aku menemukanku di hutan saat sedang mencari buah lalu kami membawamu kemari dan merawatmu hingga kamu terbangun hari ini." Fine menjelaskan tanpa sempat aku bertanya apapun.
"Tiga hari?" otakku sedikit sulit menerima kenyataan yang satu itu. Fine mengangguk, dia kembali menuangkan minuman untukku.
"Jadi maksudmu aku tidak terbangun selama tiga hari?" tanyaku lagi. Aku memang heran mengapa perutku menjadi sangat lapar sejak mencium aroma sup tadi, ternyata memang sudah sangat kosong sejak tiga hari yang lalu.
"Aku tinggal bersama tiga orang adik perempuanku juga seorang kakak laki-laki dan seorang paman. Kami tinggal berenam dan sangat damai," tambahnya lagi seolah membaca pertanyaan dalam kepalaku yang tak terucap.
Aku mengangguk pelan.
"Jumlah penduduk disini cukup banyak, jika kamu merasa bosan di rumah maka kamu bisa berkunjung ke rumah tetangga untuk mengobrol atau mungkin bermain dengan mereka. Saat siang kadang mereka berkumpul untuk berbincang, tetapi saat hari mulai senja mereka akan sibuk dengan kegiatan masing-masing dan akan kembali saat malam."
Aku mendegarkan penjelasan perempuan itu sambil menikmati kuah sup yang lezat dan hangat.
"Jika membutuhkan teman, aku ataupun saudaraku yang lain pasti dapat menemanimu," kata Fine sambil tersenyum. "Aku akan kembali dengan pekerjaanku, kamu makanlah hingga habis lalu kembali istirahat agar segera pulih".
Perempuan tu meninggalkanku dengan makanan yang masih sangat banyak. Dia benar-benar tidak memperkirakan porsi makanku, tapi aku sungguh tidak keberatan karena rasanya benar-benar nikmat.
Terdengar samar dari arah luar beberapa warga desa sedang bergurauan sambil mengurus bunga dan menjaga anak mereka yang sedang bermain.
Belum pernah terpikir olehku untuk pergi bergaul dengan masyarakat yang asing, karena memang aku tidak ahli dalam hal itu. Telah ku putuskan untuk kembali merebahkan tubuh nyeriku ini pada tempat tidur setelah kenyang.
Tiba-tiba saja aku teringat pasukan berkuda yang menyerang tim ku tiga hari yang lalu. Aku masih mengingat dengan jelas tatapan matanya yang sangat tajam juga suara lantangnya yang aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat.
Tatapan manik tajam berkilauan merah sangat cocok untuk pria yang memiliki jiwa petarung sepertinya. Gerakan pedangnya yang gesit hingga bidikan yang luar biasa itu membuatku merasa ingin kembali berlatih di arena latihan bersama bang Arlan.
Tapi kenapa mereka berkuda?
Pertanyaan yang masih belum dapat ku cerna dengan baik. Kuda di arena berlatih tidak akan mudah berperang karena mereka tidak dilatih seperti itu. Tetapi kuda milik pasukan berpakaian serba hitam itu tampak sangat gagah dan terlatih.
"Ayo! Kita harus segera ke Timur!"
Suara itu, benar-benar pernah ku dengar sebelumnya.
***