=Sam POV=
Masih ku pandangi halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga, semilir anginnya benar-benar menyejukkan dan membuatku melupakan pertarungan untuk sesaat. Aku belum keluar kamar, hanya merapikan bekas makan dan berdiri di dekat jendela ini entah sudah berapa lama.
Desa Viteg? Apa ini masih di daerah Timur? Distrik berapa? Kenapa disini sangat tentram tidak seperti Distrik lain yang banyak kegaduhan karena penjagaan ketat dari pasukan Hijau juga pasukan Merah.
Anak-anak bermain dengan riang tanpa ada rasa takut untuk diculik, orang tua bekerja dengan sangat tenang tanpa mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Suasana yang benar-benar kuinginkan terjadi di distrikku, Distrik 25.
Seorang pria berambut gondrong sedang membelah kayu menjadi beberapa bagian kecil di depan rumah tempatku beristirahat. Di dekatnya ada tiga anak gadis manis yang bermain dan sesekali berkejaran dengan tawanya yang menggemaskan. Mereka mengenakan gaun putih tampak serasi dengan keimutan rambut ikal yang diikat tinggi berponi.
Fine menghampiri pria gondrong itu dengan membawakan piring berisikan makanan semacam ubi goreng ku rasa, dengan secangkir besar minuman yang masih berasap. Aku langsung berpikir kalau pria itu adalah paman yang tadi diceritakan oleh Fine dan tiga anak manis itu adalah adik-adiknya. Lalu dimana adik laki-lakinya?
Pria gondrong menoleh ke arahku yang masih memperhatikannya dari jendela kamar. Tatapan matanya tidak kalah tajam dari para pria berkuda, aku melihat sorot mata petarung pada dirinya.
Sedikit berbisik dengan Fine, pria itu masih memperhatikanku tanpa ekspresi. Fine ikut memandangiku sebentar lalu kembali berbincang.
Ku putuskan untuk turun dan bergabung dengan mereka. Cuacanya sangat bagus sehingga tidak akan masalah jika aku pun ikut berbaur dengan pemilik rumah yang tak lain adalah penyelamatku.
"Ah kamu sudah sadar? Ku kira kamu akan mati mengingat kondisimu yang sangat menyedihkan waktu itu." Suara seorang remaja laki-laki menghentikan langkahku di anak tangga terakhir.
Ku toleh sosok muda yang sedang membersihkan beberapa senjata di ruang tengah. Rambutnya berwarna jagung yang juga gondrong hanya saja tidak sepanjang pria di depan rumah yang hingga sebahu, rambut remaja ini hanya sampai bawah telinga agak berantakan.
Tanpa menoleh padaku, dia masih melanjutkan aktifitasnya dengan sesekali membicarakan tentang kondisiku yang mengerikan setelah bertarung.
Arah pandangku tertaut pada sebuah benda tajam yang berkilauan yang tergeletak di dekat remaja itu.
"Apa itu milikmu?" tanyaku spontan.
"Namaku Elvano, tolong perjelas kamu berbicara dengan siapa," ujarnya masih tidak menoleh padaku.
Ah, sikap anak ini membuatku kesal. Seketika rasa penasaranku menghilang karena sikap tidak sopannya.
Aku kembali melanjutkan langkahku menuju halaman depan. Benar-benar nyeri, kakiku tidak dapat ku paksakan untuk melangkah lebh cepat.
Si pria muda bergegas berdiri dan memberiku sebuah tongkat, "Jangan paksakan, nanti akan semakin parah. Aku tidak ingin ada orang asing berlama-lama di rumahku."
Hah? Tanpa sadar mulutku menganga mendengar perkataannya. Aku penasaran apakah dia pernah belajar bersikap ramah terhadap orang yang lebih tua.
Aku mendengus kesal, kembali melanjutkan langkah dengan dibantu oleh tongkat. Sementara Elvano kembali membersihkan belati dan pedang miliknya yang lain.
Pedang emas nan berkilauan sungguh mencuri perhatian, aku penasaran dari mana anak ini mendapatkannya tetapi aku tidak ingin berinteraksi lebih jauh dengannya.
Saat aku sampai di halaman, ketiga anak perempuan nan manis menyambutku dengan baik. Mereka seolah memang sedang menungguku untuk ikut bermain bersamanya. Dua dari mereka menghampiriku dan menarik-narik agar segera bergabung dengan mereka. Gadis bermata bulat dengan rambut kepang dua tampak sangat menggemaskan, satunya lagi gadis berambut ikal pirang. Satu gadis yang tidak menghampiriku hanya tersenyum dari kejauhan, setelah ku perhatikan dia memiliki kekurangan yaitu kaki nya adalah palsu, sehingga sangat wajar jika dia tidak begitu banyak berlarian sejak tadi.
"Marla, Bre, pelan-pelan! Kaki dia masih sakit jadi tidak bias berlarian," teriak pria gondrong seraya mengunyah ubi gorengnya.
"Dia bukan pria yang lemah, jadi dia akan baik-baik saja!" ujar anak berambut pirang dengan nyaring.
Aku hampir terkejut dengan respon anak manis itu, tidak jauh berbeda dengan pria muda di ruang tengah tadi, kasar dan menyebalkan.
"Aku minta maaf ya, tapi mereka anak yang baik," ujar Fine yang menepuk pelan bahuku sebelum dia kembali masuk ke rumah.
Aku hanya menyunggingkan senyum sekenanya menahan nyeri dan rasa canggung yang bercampur aduk.
"Duduklah." Pria gondrong itu menyerahkan sebuah bangku agak tinggi padaku, diapun segera menyuruh adik-adik perempuannya untuk kembali bermain tanpaku.
Awalnya mereka merengek kesal tetapi mereka nurut dan kembali bermain bertiga. Sangat menggemaskan, ku rasa aku dulu saat masih kecil pun menyebalkan seperti mereka, haha ....
"Apa mereka kembar? Sangat menggemaskan," kataku sambil membenarkan posisi duduk.
Pria gondrong itu hanya tertawa kecil dan menyeruput minuman panasnya, "Bisa dikatakan begitu."
Ketiga bocah cantik bermainan riang, saling berteriak dan tertawa. Seorang anak pria yang mengenakan baret kelabu menghampiri mereka untuk bermain bersama. Seketika aku ingat dengan sosok Ami yang dulu adalah satu-satunya anak perempuan yang bermain bersama denganku dan Sam juga teman-teman pria lainnya di Dsitrik.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya nya mulai menghilangkan kecanggunganku. "Namaku Laksa, anak-anak biasa memanggilku paman walau sebenarnya aku ingin mereka memanggilku Abang," sambungnya lagi dengan tawa ringan.
Aku tersenyum canggung, "Namaku Sam."
"Sudah sejauh mana kalian berlatih?"
Pertanyaan yang sedikit mengejutkanku.
"Apa saat ini sedang masa latihan akhir?" tanya nya lagi dengan tatapan matanya yang membuatku segan.
Aku mengangguk, "Dari mana paman tahu?"
"Jika aku mengatakan kalau aku adalah salah satu dari mereka, apa kamu akan mempercayainya?"
Mataku tak berkedip, sejenak aku merasakan denyut nadiku tidak stabil karena terkejut.
"Ku rasa iya, karena paman berperawakan seperti mereka. Maksudku, Pasukan Hijau," ujarku terbata.
"Bukan, aku adalah pasukan Merah. Tapi itu dulu, sebelum masa Demokrasi terguncang."
Tanpa sadar, ku ubah posisi dudukku menjadi lebih nyaman karena hendak mendengar kisah pria yang kedengarannya akan seru.
"Setelah pergantian Presiden atau belum?" tanyaku lagi.
"Sangat jauh sebelum sosok Hadiyaksa menjadi presiden,"
Sedikit ku kernyitkan dahi, bisa-bisanya pria di hadapanku ini menyebut sosok presiden hanya dengan namanya.
"Apa mereka mengancammu juga hingga kamu berkenan mengikuti pelatihan?"
"Tidak," jawabku tanpa berpikir panjang. "Aku mengikutinya karena ingin."
Dia memandangiku, "Ingin apa?"
"Eh? Karena ingin menjadi pasukan pertahanan Negara,โฆ."
Laksa kembali melajutkan membelah kayu yang sisa sedikit. "Apa menurutmu tujuan itu akan tercapai?"
Aku kembali mengernyitkan dahi, "Tolong jangan membuatku berpikir dalam keadaan pening," ujarku agak kesal.
"Pasukan Hijau, Pasukan Merah, atau para Elit memiliki tujuan untuk membela Negara, menjaga pertahanan agar tetap kuat. Tapi ku rasa tujuan itu mulai bergeser karena adanya kepentingan pribadi." Laksa tidak melanjutkan kalimatnya, dia memijat pelan lengan kirinya setelah selesai membelah beberapa kayu.
Lengannya sudah cidera, nampak bekas luka yang mirip dengan bekas luka pada dadaku.
***