Chereads / The Pink Sanctum / Chapter 2 - 1. Stigma

Chapter 2 - 1. Stigma

Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat.

Waktu terus saja berlalu tanpa mau memberi jeda untukku, bergulir mengiringi kehidupanku di tempat gelap nan dingin ini. Dikelilingi dinding dengan satu pintu keluar serta kakus tanpa penutup toilet, membuatku harus menahan hajat sampai termin kerja tiba. Itu adalah tempo yang tepat demi mendapatkan peluang mengenakan kamar mandi petugas. Meski harus kuakui, baunya sejijik WC Sekolah Dasar.

Hari yang kujalani di kamar huni seorang diri dengan beribu lolongan napi yang berhujat tentang tindakan korupsi maupun perselingkuhan menjadi makanan untuk telingaku setiap waktu, setiap kali mereka melalui ruang tahananku, dan setiap kali mereka melihat aku.

Sekarang, meski sudah terbiasa terkoteng-koteng dan mengasingkan diri dari banyak orang, serta mengacuhkan berbagai hinaan, aku tetaplah diriku, seorang manusia biasa, butuh berdialog selain dengan alter egoku. Memang dalam 7 tahun terakhir, mengobrol dengan Lutfi menjadi rutinitas yang kujalani sewaktu di SMA atau kampus, di luar waktu sekolah, dan ketika berada di rumah. Jadi, kini, dengan menghilangnya Lutfi setelah aku melamarnya pada 8 Desember 2018 tahun lalu, benar-benar membuatku merasakan 'kesepian'. Lebih daripada itu, mengantarkan 'depresi' kepadaku yang kuharap tidak berujung kepada 'sakit jiwa'.

Menjalani hidup bersama tindak pelaku kriminal, bersama warga yang ditindas dengan pangkat atau harta, di dalam rutan berkapasitas 1.450 orang bukanlah hal yang mudah. Selain karena pengucilan, tuduhan, dan bullying, tinggal seorang diri dalam kamar huni membuatku seperti orang yang paling berbahaya di Rumah Tahanan Negara I Jakarta Pusat, seperti hewan paling buas yang tidak boleh ada hewan lain tinggal bersamanya, seperti pasien yang terkena virus paling mematikan dan menular.

Aku tidak mengerti, kenapa orang yang dituntut dengan masalah yang belum pasti kebenarannya bahwa itu adalah kesalahanku harus menjalani rutinitas bersama tahanan lain. Padahal jika menimbang artis atau pemerintah yang terkena tuntutan serupa sepertiku atau bahkan lebih besar masalahnya, justru dapat menjalani hari mereka di penjara layaknya mereka hidup sehari-hari, tanpa perlu makan makanan napi atau bekerja tanpa gaji.

Dan enaknya bagi orang-orang yang segolongan dengan mereka, yang memiliki banyak uang, akan lebih diistimewakan di dalam rutan oleh petugas daripada tahanan lain. Dan jika duit mereka cukup, mereka bisa terbebas dari jeratan hukum. Memang lagu Andai Aku Jadi Gayus Tambunan dari Bona Paputungan tentang 'hukuman bisa dibeli' benar adanya. Negeri ini benar-benar panggung sandiwara terlucu.

Perkelahian sering terjadi di sini, perebutan tahta sebagai penguasa lapas di kalangan tawanan. Perkelahian yang sering kali berimbas kepadaku. Kepalan tangan yang terbang tanpa sebab selalu menimbulkan kericuhan tanpa mengenal waktu. Kalau saja jika tidak menimbang reputasiku sebagai penulis dan tunangan Lutfi—anak dari keluarga agamis tentunya aku akan masuk ke dalam golongan mereka. Membalas tinju dan tendangan yang mengenai tubuhku, menjejal mulut orang-orang yang mengataiku dengan kasut busuk, menundukkan para tahanan, menjadi penguasa atas segala yang ada di penjara. Dan itulah yang sering kali menjadi pikiranku selama ini, selain pikiran tentang Lutfi dan kerjaanku sebagai penulis.

Masalah bekerja, selama sepekan terakhir aku sudah membuat kerangka menulis sampai akhir cerita dan 25% kisahnya berhasil kugarap. Jadi, ada kemungkinan besar kalau naskah itu bakal rampung di akhir bulan Februari nanti. Kemudian persoalan tentang Lutfi, tunanganku yang menghilang tanpa jejak, karena kondisiku saat ini aku harus memercayakan pencariannya kepada polisi meski banyak keraguan yang tak dapat kuelakkan.

Tidak hanya menulis novel yang 90% kisahnya diambil dari kisah nyataku, aku juga menulis tentang apa yang kujalani setiap hari di dalam penjara. Akan kutulis semuanya, semua hal yang kualami di sini tanpa melebihkan atau mengurangi kejadian semestinya. Dan semoga saja, dengan rangkaian frasa yang kubuat bisa memberiku kekuatan dan motivasi untuk terus bertahan menjalani hari-hari bersama para tahanan sebelum akhirnya aku bisa kembali mencari Lutfi, wanita yang kucinta, yang menghilang tanpa kutahu mengapa, yang mendadak menyampaikan sebuah pesan dengan sangat hati-hati.

Pesannya itu berbentuk surat yang tidak sengaja jatuh sewaktu aku membuka-buka lembar buku yang diberikan Direktur ketika dia mengunjungiku awal aku dipenjara di sini.

Apakah Direktur bertemu Lutfi dan akhirnya menjengukku, memintaku untuk kembali menulis? Apakah Direktur sengaja mengunjungiku untuk menyampaikan pesan dari Lutfi? Tapi kalau benar, bagaimana mereka bisa bertemu? Lebih dari itu, dari mana Lutfi tahu kalau aku sedang dipenjara? Apa selama ini dia masih ada di sini, di sekitar sini, sedang mengawasiku? Tapi di mana dia? Dan untuk apa?

Pertanyaan-pertanyaan itu berulang tiada henti dan tidak berunjung pada sebuah jawaban yang pasti. Jadi, untuk membuat kesimpulan, aku akan menanyakannya secara langsung kepada Direktur saat dia datang ke sini, lagi. Meski aku sudah tidak bisa bersabar menunggu kunjungannya kali kedua.

'Hidup di penjara sangat berat kurasakan, badanku kurus, karena beban pikiran.' Lirik lagu Bona Paputungan itu benar-benar merealisasikan apa yang sedang kujalani saat ini. Tidak mungkin aku betah berlama-lama tinggal bersama narapidana yang terus melakukan diskriminasi kepadaku setiap hari, setiap saat. Tidak mungkin aku bersantai menunggu kabar dari Direktur tentang kesalahpahaman yang membuatku dipenjara. Dan tidak mungkin aku bisa tenang setelah mendapatkan bantuan polisi untuk mencari tunanganku, yang nyatanya sampai detik ini belum ada informasi apa pun.

Oleh karena itu aku berpikir di mana bumi di pijak di sana langit dijunjung, jadi orang lain tidak akan menganggapku seperti katak dalam tempurung. Semoga saja itu tidak memengaruhi karierku sebagai penulis ketika aku keluar dari penjara nanti, dan semoga saja Lutfi memaklumi keputusanku ini. Semoga saja....

🚶🚶🚶

Setelah memutuskan menjadi seperti kadal, dalam tanda kutip 'soal beradaptasi', setiap malam—di mana para tahanan lain biasanya sudah terlelap dan lampu-lampu dipadamkan—selesai menggarap naskah dan menulis kejadian selama satu hari penuh aku melatih fisik, reflek, serta tenaga dalam seperti apa yang kupelajari 10 tahun lalu sewaktu SMP saat mengikuti ekstrakurikuler pencak silat HMS.

Aku juga menirukan apa-apa yang dilakukan oleh Iko Uwais sewaktu dia dipenjara dalam film The Raid 2 tapi berbeda dengan Panji di film Comic 8, tentu saja karena itu hanya film comedy. Aku tidak menyangka apa yang kutonton dalam sebuah film dapat kurealisasikan dalam kehidupan nyata, jadi aku berterima kasih kepada Gareth Evans dan segenap kru yang terlibat dalam pembuatan film The Raid 2, karena itu sangat membantuku sekarang ini, memberi gambaran yang tepat untuk melatih keterampilan bertarung saat berada dalam kamar huni seorang diri.

Jangan salah sangka dan menganggapku hanya bergurau akan hal itu. Tentu saja tidak! Dulu, sewaktu SMP selama hampir 3 tahun aku benar-benar menekuni ekstrakurikuler pencak silat. Aku menghabiskan satu minggu penuh untuk belajar bela diri itu di tempat yang berbeda-beda, dengan guru yang tak sama, tapi masih dalam satu perguruan. Selama 1 bulan berlatih tanpa henti, dan menambah latihan fisik dengan joging 5 km setiap pagi selepas shalat subuh, aku melakukan sparing dengan senior yang satu kelas denganku, kelas A, dan atau dua tingkat di atasku.

Dalam olahraga pencak silat, pembagian kelas untuk kategori tanding berdasarkan berat badan dan digolongkan menurut umur serta jenis kelamin. Golongan remaja untuk putra dan putri berumur 14 sampai 17 tahun, dimulai dari kelas A dengan kisaran berat badan 39 - 42 kg hingga kelas I dengan kisaran berat badan 63 - 67 kg. Kemudian golongan dewasa untuk putra dan putri berumur 17 sampai 35 tahun, dimulai dari kelas A dengan kisaran berat badan 45 - 50 kg hingga kelas J dengan kisaran berat badan 90 - 95 kg.

Ada juga pertandingan bebas, yang tidak memedulikan umur dan berat badan. Tapi sukar dilaksanakan di Indonesia karena dianggap terlalu berbahaya. Hal itu disebabkan oleh petarung yang tidak mengenakan body protector  dan jangka waktu tanding yang lebih lama daripada biasanya. Lebih dari itu, petarung akan dianggap kalah hanya jika dia kewalahan melawan atau menyerah. Bahkan beberapa ada yang membolehkan menyerang daerah vital.

Dalam satu minggu berikutnya, aku mengikuti berbagai pertandingan sampai kemudian keberuntungan memuncak untukku, hingga tidak terasa aku meraih juara 2 pencak silat remaja kelas A se-Provinsi Jawa Tengah. Aku harus menerima hasil itu gara-gara kebiasaanku makan mie ayam dengan sambal banyak-banyak, membuatku harus diare dan didiskualifikasi dari pertandingan karena setelah ronde pertama aku meminta izin untuk BAB dan tidak kembali sampai batas waktu pertandingan berakhir.

Selanjutnya, aku menjalani latihan seperti biasa, dan harus menerima tidak adanya pertandingan resmi yang diadakan oleh IPSI—Ikatan Pencak Silat Indonesia seperti sebelumnya hingga aku lulus SMP. Hanya sparing atau pertandingan-pertandingan biasa yang dibuat perguruan. Kadang kala pertandingan itu tidak sesuai kelas, tapi pertandingan bebas, sehingga pelatih dan guru boleh ikut serta, dan sedikit anggota yang mau mendaftar bahkan para senior juga lebih suka menjadi penonton atau juri ketimbang petarung.

Tapi berbeda denganku, aku yang saat itu sangat menekuni olahraga pencak silat—bahkan bisa dibilang fanatik—menjadi satu-satunya peserta termuda dan terenteng. Alhasil, karena kondisi fisik, tenaga, dan pengalaman yang baru mau 3 bulan, aku harus menerima kekalahan setelah maju ke babak perempat final.

Barulah di awal semester kelas 8, aku mengikuti pertandingan pencak silat kelas bebas di tingkat Kawedanan yang diikuti oleh lima perguruan: HMS, Merpati Putih, Pagar Nusa, Naga Putih, dan Tapak Suci; secara kebetulan aku berhasil meraih juara umum dua kali berturut-turut—waktu itu pertandingan bebas diadakan 2 kali dalam setahun. Jadi di tahun berikutnya, aku dilarang menjadi peserta sekaligus karena aku sudah menginjak kelas tiga, harus fokus kepada ujian nasional.

Setelah kelas 3 semseter gasal, aku tetap berlatih pencak silat di hari Sabtu dan Minggu dengan alasan mengatasi kepenatan menghadapi ujian. Dan untungnya jika ada sparing aku masih dibolehkan ikut meski lawanku adalah guruku sendiri.

Tapi, sehabis bertemu dengan Lutfi dalam acara Try Out yang diadakan di salah satu SMA di Banyumas aku memutuskan untuk berhenti menjadi pesilat dan lebih berpusat kepada hal kepenulisan, novel. Dan sangat hyper menulis sampai menerbitkan 2 buku dalam waktu 90 hari kerja.

Sebetulnya banyak yang menyayangkan keputusanku itu, tapi aku sendiri sebagai orang yang menjalaninya merasa bangga menjadi penulis. Bahwa aku bekerja tanpa perlu menyakiti orang lain dengan seruan orang-orang yang makin keras sewaktu aku memukuli lawan-lawanku. Lebih dari itu, hasil tulisanku bisa mengisi kebosanan para pembaca, memberi mereka wawasan, dan akan terus ada untuk banyak orang meski aku sudah mati, serta menjadi mata pencaharian yang tepat untuk seorang pelajar sepertiku.

Tapi semasa SMA dan setelah menjadi mahasiswa, aku tetaplah diriku yang dulu, yang pernah berujar cita-cita menjadi pendekar sewaktu SMP, jadi ketika tiba waktunya untukku harus unjuk diri memukuli orang lain aku dapat melakukannya tanpa mendapatkan luka. Makanya, orang-orang terdekatku mengatai aku: "Si Dua Bilah Pedang", dapat melawan dengan fisik maupun tulisan. Sungguh, aku sangat terbebani akan hal itu.

Dari pengalamanku berlatih bela diri membuat aku yakin kalau aku setidaknya bisa mengimbangi cara bertarung orang-orang di sini dengan maksud membuat mereka bungkam—tidak lagi menggangguku. Dan mesti kusarankan kepada kalian supaya tidak mencontoh perbuatanku setelah ini kecuali kalau kalian dibekali keahlian yang mumpuni.

Sekarang, dengan keputusanku melakukan perlawanan sekali lagi merupakan upayaku agar tidak lagi dihujat dan dibuli tahanan lain, supaya aku menjalani hidup di penjara dengan tenang dan terhindar akan beban pikiran yang menumpuk, agar aku tidak merasa waktu berjalan lebih lambat di tempat ini. Ya, semuanya memang untukku, demi keegoisanku. Semoga saja Lutfi memaklumiku, dan semoga saja Tuhan mengampuni segala perbuatanku nanti, semoga saja....