Chereads / The Pink Sanctum / Chapter 3 - 2. Kehidupan Narapidana

Chapter 3 - 2. Kehidupan Narapidana

Kamis, 14 Februari 2019.

Seperti biasa, ketika sirine berbunyi, kami para tahanan harus segera bersiap berbaris dengan rapi, selayaknya bocah SD menyambut upacara bendera hari Senin. Seluruh pintu sel dibuka, dan semua tahanan keluar dengan ekspresi beraneka ragam.

"Baris!" seru Kepala Petugas dengan senapan laras pendek pada genggaman tangan kanannya. Seolah dia berhak menembak siapa saja yang tidak menuruti perintah. Dan memang, dalam tiga hari ke belakang, aku melihat secara langsung pembunuhan yang dilakukan oleh sipir hanya karena tahanan membuat lelucon tentang mereka.

Kami semua berbaris ganal kerbau yang dicacak hidungnya. Dan, penaka mesin, melakukan instruksi tanpa bisa membantah.

"Dilarang keluar barisan, meski harus berak di celana." ujar para petugas setiap pagi setelah napi berbaris.

Waktu pagi, ketika sarapan, adalah satu-satunya tenggat terlarang yang bagi siapa pun dilarang keras merubah tata pelaksanaannya. Jadi, sebesar apa pun keinginanku untuk buang hajat, aku tetap harus menahannya hingga santapanku habis atau periode kerja tiba, dan tentu saja itu sangat menyiksa bagi tahanan sepertiku. Orang yang sangat menolak untuk kencing maupun berak di toilet tanpa penutup, memamerkan aurat kepada sepasang mata yang tatapannya menerobos masuk ke balik jeruji besi kamar huniku.

"Jalan yang rajin!" Pria itu kembali berteriak.

Kami melangkah menuju tempat makan. Satu per satu penghuni kamar mengambil jatah makanannya. Tapi sepertinya aku tidak perlu menjelaskan apa yang ada di atas piring kami.

Sesuai apa yang kujalani selama 13 hari tinggal di rumah tahanan ini, aku duduk di meja paling ujung di mana tidak ada napi lain yang berada di sana. Meski tidak bisa kupungkiri, saat sedang menyantap makanan tak layak ini keributan selalu pecah. Memaksa sipir menarik pelatuk pistol demi menghentikan perkelahian yang tak jarang mengantar orang-orang ke klinik.

Tapi hari ini ada yang berbeda, di depanku duduk tahanan yang baru masuk penjara kemarin sore bersama pria lain yang dari kondisi fisiknya sudah menjelaskan kalau dia lebih tua dari kami berdua.

"Bagaimana menurutmu, Bung?" tanya pria keriput.

Aku sempat mendengar kabar kalau dia sebenarnya adalah seorang veteran yang ikut berjuang membela tanah air di tahun 1963-an. Melawan para demonstran anti-Indonesia yang menyerbu gedung KBRI, yang merobek-robek foto Soekarno, dan yang membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—untuk menginjak Garuda. Tapi akhirnya, dia bernasib sama sepertiku, menerima dakwaan yang tidak dilakukannya.

Pria tua itu, dituduh telah mencuri aset negara yang secara kebetulan ditemukan oleh petugas di dalam ruang rahasia di bawah rumahnya. Padahal dia sendiri, yang telah menghuni selama 40 tahun tidak tahu-menahu soal adanya ruang rahasia apalagi aset negara. Dan dia memang terpaksa membeli tanah dan rumah dengan harga yang mahal supaya kawannya bisa melunasi utang.

"Apa kau akan memakannya?" tanya pria tua itu lagi.

Kujawab dengan mengangkat kedua bahu, isyarat bahwa aku belum memiliki kepastian untuk memakannya atau tidak.

"Keberatan jika kuminta?"

Aku diam, meninjau makanan di depanku yang sekiranya masih layak untuk disantap dan tidak membawa penyakit kepada lambungku. Kemudian kuambil ubi rebus lalu menyerahkan piring dan isinya ke depan pria tua di hadapanku.

Dengan senyum berkilat dan mata berkaca-kaca dia mengucapkan terima kasih lantas menjejal mulutnya dengan hidangan di pagi ini.

"Kau sungguh murah hati. Kakek ini selalu mengeluh dengan jatahnya yang sedikit." ucap pria lain di sisinya tapi tidak kutanggapi. "Aku Noer, baru masuk kemarin sore."

"Ah," Anggukku.

"Kau.... tidak mengenalkan diri?"

Aku menggumam. Sepertinya pria itu belum mendengar akan rumor yang beredar tentangku, atau memang dia sengaja menyembunyikan hal itu supaya bisa mendekatiku. Yang mana pun aku tidak peduli. Di sini, hidup di penjara, kau tidak bisa percaya kepada siapa pun.

Kudengar dia mendengus. "Lihat," pintanya.

Aku melirik ke arah yang pria itu tunjuk lalu kembali kepada makananku.

"Mereka baris seperti babi," kata Noer menunjuk tahanan baru yang mengantre jatah sarapan sebelum dirinya. "kau tau kabar Si Gendut? Tahanan baru yang brisik itu,"

"Ah,"

"Apa yang terjadi padanya?"

"Mati." jawab pria tua membuat kami terkejut. Dia mengambil napas dan membasuh bibirnya dengan punggung tangan kiri. "Kepala Petugas memukul kepalanya cukup keras. Dokter sudah pulang saat malam. Si Gendut malang itu masih berbaring di klinik sampai sekarang. Tak ada yang bisa mereka lakukan."

"Dari mana kau tau?" tanggap tahanan baru di sisinya.

"Aku mencuri dengar obrolan napi di depanku saat baris tadi," jawabnya. "mungkin dia sedang bertugas membantu sipir di klinik tadi malam," tambahnya, lalu kembali terdengar kecap mulut mengunyah makanan yang tak jelas rasanya.

"Siapa namanya?"

Aku dan pria tua terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Noer. Maksudku, untuk apa dia ingin tahu? Apa untungnya bagi dia? Selama ini, selama tinggal di sini aku belajar untuk peduli kepada diriku sendiri dan membuang rasa ingin tahu berlebih akan apa yang sedang atau akan terjadi terutama kepada orang lain. Dan mungkin saja, hal itu belum ada di otak Noer karena dia orang baru di sini. Yang mana pun, aku tidak peduli, aku tetap harus waspada dengan dia yang mendadak duduk di hadapanku.

"Kau ngomong apa?" Pria tua di hadapanku balik bertanya.

"Siapa namanya?" ulang Noer.

"Siapa namanya?" Pria tua memastikan.

"Iya, siapa namanya?"

"Buat apa kau nanya itu?"

"Aku cuma mau tau namanya."

"Apa pedulimu, anak baru? Tak peduli siapa namanya. Dia sudah mati!" bentak pria tua.

"Wah, wah.... sepertinya ada obrolan menarik di sini," Mendadak terdengar suara pria yang berat dan serak, membuat pria tua di hadapanku tersentak dan menundukkan kepalanya, hampir membuat jidatnya menyatu dengan makanan yang sedang dia santap.

"Apa kami boleh gabung?" Seketika suara itu terdengar sangat dekat di telinga kiriku setelah pria di balik punggungku menepuk pundak kiriku.

Sebenarnya tanpa perlu kulihat ke arah Si Pemilik Suara, aku sudah bisa mengira kalau dia adalah Herman, pria yang jadi pimpinan gerbong ujung. Blok yang penghuninya adalah para tahanan paling brengsek dan kejam. Tapi demi memastikan akhirnya kulirik juga. Pria itu berkepala plontos, berjanggut besar dengan jenggot yang tidak keurus.

Herman duduk di sebelahku, lalu muncul dua pria yang seakan menjagal sisi kanan dan kiri meja, mereka kawan Herman di kamar huninya. Ateng Si Tukang Mabuk di sisi Barat, dan Yusuf Si Penipu kelas kakap di sisi sebaliknya.

"Kenapa diam? Lanjutkan saja obrolan kalian," ucap Herman.

Aku tidak peduli dengan apa yang sedang dilakukan pria bermasalah sepertinya di sini. Bagiku, itu bukan urusanku. Jadi aku kembali menyantap ubi rebus seperti sebelumnya, mengacuhkan orang-orang yang datang dan merusak moodku untuk sarapan.

"Kami sedang membahas Si Gendut sebelumnya," celetuk Noer seakan orang-orang ini adalah teman dekatnya.

"Ah, ya.... Si Gendut, apa yang terjadi padanya?" Herman menanggapi.

"Entahlah, kata tahanan lain dia mati."

"Benarkah? Bagaimana bisa?"

"Kepalanya terbentur cukup keras, dan tidak tertolong." Noer menjelaskan.

"Oooh.... aku turut menyayangkan untuk kejadian itu."

Aku tergelitik mendengar kalimat yang keluar dari bibir hitam dan tebalnya. Jelas saja, aku tahu kalau Herman membuat taruhan dengan teman satu kamar huninya untuk satu bungkus rokok, tentang siapa dari para tahanan baru di seberang sel kami yang akan menangis dan merengek meminta pulang.

Lalu, dengan keberuntunganya yang tidak terduga, seseorang yang satu sel dengan Si Gendut berkata banyak hal yang langsung membuat orang itu jadi lebih emosional, tidak jauh berbeda dari bayi yang baru lahir. Dan tentunya, karena kebisingan itu sangat mengganggu di malam hari, khususnya bagi para petugas, Si Gendut harus menerima balasan dengan hantaman pada tengkorak kepalanya hingga berdarah. Yang kata pria tua itu, Si Gendut sudah tidak terselamatkan.

Bukan aku menuduh Herman yang tidak-tidak karena tampang mengerikannya atau gelar kriminalnya di luar dan di dalam penjara. Tentu saja tidak! Kejadian itu benar adanya. Dan aku masih ingat betul.