Chereads / The Pink Sanctum / Chapter 7 - 6. Teks Proklamasi

Chapter 7 - 6. Teks Proklamasi

Terik mentari menerobos masuk jendela tanpa kaca di kamar huni baruku. Nyalanya sangat terik dan cukup membakar kulit kalau berlama-lama membiarkan diri terpampang cahayanya. Beberapa tahanan memilih bermalas-malasan dengan tidur, bergantian memijit bahu atau tangan atau kaki, ngobrol yang selalu berujung pada taruhan, dan atau membuat lawakan supaya mencairkan suasana yang mencekam nan membosankan meski sangat sering terkesan garing. Setidaknya dari cara mereka tertawa, sudah bisa membuat orang lain ikut terhibur.

Tidak denganku dan dua napi yang pagi tadi menghilangkan moodku sarapan, membahas ini itu yang dianggap penting.

"Sampai umurku terbilang dewasa, aku baru mendengar nama panjangmu." kataku setelah kami duduk di ranjang yang berhadapan. Aku sendiri, sedang tahanan baru bersama pria tua.

"Aku juga sama sepertimu, Detektif." ucap Jaja.

"Aku sudah lama melupakan itu," jawabku.

"Aku tau. Aku tidak menyalahkannya. Setiap orang bebas bercita-cita, dan mereka juga berhak mengubahnya." tambahnya.

"Jadi?" Aku bertanya meminta kesimpulan.

"Aku tidak sengaja membaca salah satu novelmu yang bergenre thriller, Seven Steps. Dan aku tertarik, jujur itu membantu investigasiku." Si Tahanan Baru menjelaskan.

"Apa itu dalam ranah positif?" Aku memastikan hipotesis yang muncul dalam benakku.

Senyum berkilat di wajah blasternya. "Ternyata kau tidak banyak berubah, belum apa-apa kau sudah tau kerjaanku." puji Si Tahanan Baru.

"Semua orang juga bakal berpikiran sama denganku setelah mendengar penjelasanmu tadi," ucapku mencoba menyangkalnya

"Kau terus saja merendah," timpalnya.

"Bisa kalian bicara layaknya manusia normal? Orang berumur sepertiku tidak dapat mengerti pembahasan kalian." ujar pria tua menyela, membuat kami tertawa.

"Dan apa yang membuatmu repot dengan menjadi tahanan di tempat ini?" tanyaku.

"Sudah kubilang, Pram ini mau bertemu dengan Bung." kata Kusnadi.

"Itu benar, Detektif—"

"Berhenti memanggil aku, itu." kataku memotong kalimat Si Tahanan Baru. "Sekarang, aku hanya seorang penulis."

Jaja mengangkat kedua tangannya seperti warga biasa yang ditodong pistol oleh penjahat, atau penjahat yang ditodong pistol oleh polisi, atau polisi yang ditodong pistol oleh warga biasa. "Aku akan membiasakannya,"

"Hmmm...." gumamku ragu dengan pernyataan Si Tahanan Baru. Mungkin ada baiknya aku terima saja kalau dia kembali memanggilku 'Detektif', lagi pula itu bukanlah sesuatu yang buruk, justru pujian yang agak-agaknya sudah mendarah daging sejak Jaja berada di bangku kelas enam MI sewaktu kami bertemu dulu. Atau aku harus mengganggap bahwa sebutan itu adalah julukannya untuk mengingat aku, teman masa lalunya yang pernah berujar ingin jadi detektif. Namun, sangat sulit menerimanya karena aku sekarang berprofesi sebagai penulis, hal yang kuperjuangkan setelah bertemu Lutfi, dan saat menjalin tali asmara bersamanya. Lagi pula, aku belum yakin kalau Si Tahanan Baru adalah Jaja yang kukenal dulu. Bagaimanapun aku tetap mesti tidak menurunkan kewaspadaanku.

"Jadi begini, aku bertemu seseorang yang mencari harta karun." ucap Jaja berbisik. Mengusahakan supaya tahanan lain tidak mencuri dengar pembicaraan kami.

Harta karun? "Lalu?"

"Kami perlu bantuan Bung untuk menemukannya," tambah Kusnadi. "aku masih menyimpan beberapa arsip negara di tanah lamaku."

"Tunggu, arsip negara katamu?" Aku bertanya memastikan, sedikit terkejut sebelumnya

Pria tua itu menjawab dengan anggukan.

"Ini ada hubungannya dengan teks proklamasi yang pernah dibuang oleh Soekarno." tanggap Jaja.

"Hmmm.... benda itu sudah diambil lagi oleh B. M. Diah, kau bisa melihatnya sendiri di Museum Perumusan Naskah Proklamasi."

"Itu palsu," kata Jaja membuatku syok. "seseorang sudah menggantinya."

Menggantinya? Apa itu mungkin? Rasanya aku seperti sedang dibawa ke alur film misteri. Sangat sulit untuk aku percaya.

"Bung pikir, kami sedang melucu?" tanya Kusnadi.

Aku menyetujuinya dengan anggukan. "Itu candaan yang berlebihan, menurutku."

"Sayangnya kami serius, Bung."

"Lihat ini,"

Aku menerima sebuah foto yang Jaja ambil dari dalam saku celananya. Itu adalah potret rekaman CCTV pada tengah malam di mana dua orang pria sedang berusaha membuka kaca pelindung teks proklamasi. Tertera juga waktu pengambilannya, termasuk potret yang di ambil dari sudut atap, di mana sering dipasang Close Circuit Television. "Untuk apa mereka melakukan hal konyol seperti itu? Siapa mereka? Dan.... aku belum pernah mendengar beritanya?" Aku bertanya-tanya sendiri.

"Apa Bung menganggap kalau foto itu juga palsu?" tanya Kusnadi setelah aku mengembalikan benda itu pada Jaja.

"Ada beberapa hal di sana yang membuatku percaya. Tapi, mereka benar-benar hebat kalau bisa membuat tiruan tulisan Bung Karno." kataku berargumen.

"Itulah masalahnya!" tegas Jaja dengan nada tak puas. "Mereka berhasil membuatnya. Dan aku gagal mengurus orang-orang Gagak Hitam, mereka berhasil membuat Si Maling kabur dari kejaran polisi dan intel. Tapi bagaimanapun, aku perlu teks proklamasi itu, lagi."

"Gagak Hitam? Si Maling? Apa mereka berada di kelompok yang berbeda?" Aku berpikir dalam diam, lalu mendengus sebelum akhirnya kembali asal bicara: "Mungkin saja sudah terjual di pasar gelap."

"Aku tidak sepenuhnya menyangkal pendapatmu," Jaja berujar. "tapi aku yakin, mereka belum berhasil memecahkan kodenya."

Aku tidak berkara meski dalam benakku muncul pertanyaan: "Apa maksudmu dengan kode?" Kedua bola mataku menatap tajam ke arah Jaja.

"Aku menemukan berkas lama, yang setelah kuuraikan ada sebuah kode di balik teks proklamasi." Dia menjelaskan seakan bisa mendengar bisikan hatiku. "Kode itulah yang menuntun pada—"

"Harta karun?" tanyaku menyerobot.

"Ya, itu kenapa kami butuh bantuan Bung untuk keluar dari penjara ini hidup-hidup, dan untuk menemukan harta karun itu." saut Kusnadi.

"Hmmm.... aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus kalian." jawabku, berusaha sebisa mungkin menolak menambah beban. Maksudku, aku perlu mencari Lutfi, bukan menjadi orang bodoh yang dibayang-bayang oleh harta melimpah setelah berhasil memecahkan kode yang tak jelas kebenarannya ada atau tidak.

"Tidak, tidak, Bung. Jatahku di sini hanya sampai akhir Februari. Aku akan bebas setelah itu. Dan Pram, bisa keluar kapan saja dia mau."

"Akhir Februari, ya? Semoga saja itu juga jadi batasan terakhirku di sini. Aku sudah sangat tidak betah di penjara. Begitu besar keinginan buat nyari Lutfi, lagi." Aku berkata sendiri.

Tapi akhirnya aku bertanya: "Memang, ada bisnis apa kalian berdua?"

"Kau tau kabar yang beredar tentangku?" Pria tua balik bertanya.

Aku diam sesaat demi mengolah informasi yang banyak bermunculan di otak. Lalu kembali mengajukan hipotesis: "Jadi kau memakan umpan dari kawanmu itu?"

Kedua tahanan di depanku mengangguk setuju.

"Aku tidak menyangka, sangat mudah menjelaskan masalah rumit ini pada Bung." kata Kusnadi.

"Jangan terlalu menyanjungku pria tua," jawabku menanggapi omongan Kusnadi.

"Jadi, kau benar-benar sudah paham betul kisahnya?" Jaja bertanya memastikan.

"Sepertinya," kataku. "perlu kujelaskan?"

Mereka kembali menggangguk kompak.

"Sebelum itu, boleh kutau siapa nama kawanmu pria tua?"

Dia menggumam cukup lama tapi akhirnya menjawab juga. "Kusnandar Singodiredjo,"

Aku tersentak. "Dia saudaramu?"

"Lebih tepatnya ... adikku,"

"Itu sungguh mengejutkan," kataku akhirnya. "Jadi aku berpikir begini: Kawanmu sengaja menjual rumahnya supaya menghindari hukuman masalah pencurian berkas negara yang sudah dia lakukan terlebih dulu. Masalah harga yang mahal, aku yakin itu dia gunakan sebagai modal untuk membayar orang-orangnya dan atau bikin ruang rahasia lagi, dan bukan buat bayar utang. Tapi itu butuh banyak persiapan, sampai akhirnya dia kehabisan akal untuk mendapatkan berkas itu lagi darimu, jadi dia memutuskan melaporkanmu kepada pihak berwajib. Sayangnya, dia mesti mengambil bendanya dari pemerintah.

"Cara yang dilakukannya adalah menjadi bagian dari pemerintah itu sendiri, entah dirinya atau bawahannya. Dan orang itulah yang bekerja sama dengan Jaja selama ini. Namun, akhirnya orang itu mengkhianati pemerintah setelah kelompoknya mendapat bantuan dari Gagak Hitam. Hasil dari pengamatan bersama Jaja adalah kode yang ada di balik teks proklamasi, tapi dia tidak memiliki cukup informasi untuk bisa memecahkannya. Jadi, dia perlu arsip negara yang kau simpan, dan demi mendapatkannya, orang-orang kawanmu di penjara ini bermaksud menggertakmu pria tua, atau membunuhmu kalau kau tidak mau bekerja sama.

"Sedangkan Jaja ke sini, menginformasikan semua kepadamu secara langsung sekaligus mencoba melindungimu. Sebenarnya aku tidak berkaitan dengan masalah ini, tapi karena secara kebetulan aku satu rutan denganmu pria tua dan dia juga mendengar gosip tentangku melaluimu, Jaja berusaha mendekatiku dengan sengaja duduk di depanku waktu sarapan tadi. Dia harap dari kedekatan itu aku akan membantu urusan kalian."

Kulihat pria tua terbahak setelah aku selesai berargumrn, sedang Jaja menatapku tajam. "Aku tidak menyangka, kau menguaknya dengan mudah. Kau bahkan tau tujuanku ke sini." Dia berkata.

"Tidak serumit kelihatannya," Aku asal bicara.

Jaja mendengus kesal.

"Apa aku melewatkan sesuatu?" Aku bertanya.

"Ya, orang yang mengincar Kusnadi. Kau tau siapa mereka?"

"Hanya jika kau memberiku informasi lebih,"

Si Tahanan Baru mengambil napas panjang, kemudian berkata: "Kau lebih cerdas dari tampangmu,"

Aku tergelitik. "Aku hanya seorang penulis. Tapi, mungkin aku bisa menyarankan hal bagus untuk kalian berdua."

Mendadak kedua pasang mata Jaja dan Kusnadi menatapku tajam. "Katakan, Bung." ucap pria tua.

"Pertama, kalian boleh bertanya kepada orang-orang yang bakal atau sudah mengganggu kalian hari ini."

"Herman," ucap Kusnadi.

"Apa orang itu bisa diajak kerja sama?" Jaja melempar pertanyaan.

Aku mengangkat bahu. "Siapa peduli? Kalau dia menolak, kalian hanya perlu memaksanya buka mulut, bukan?"

Senyum kembali berkilat di bibir Jaja.

"Aku suka cara pikirmu, Bung."

"Jadi, kau akan ikut dengan kami?" Jaja kembali bertanya pada hal utama.

Aku menggeleng membuat mereka memasang raut wajah heran.

"Kenapa?" tanya Jaja.

"Kau akan jadi kaya raya kalau bisa memecahkan teka-teki ini, Bung! Ingat, ada harta karun di sana." ujar Kusnadi.

"Aku.... sudah punya harta karunku sendiri. Dan aku harus segera menemukannya." jawabku.

"Tunangan Bung yang hilang itu?"

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan pria tua. Kulihat dia menundukkan kepala, tidak lagi berbicara dan ngotot memaksa aku seperti sebelumnya. Mungkin saja, dia pernah mengalami apa yang sedang kurasakan ini.

"Hanya beberapa hari, setidaknya bantu kami menemukan teks proklamasi." Jaja mencoba menawar namun tetap kujawab tidak. "Bagaimana kalau jadi burung bangau dan kuda nil?" Dia menawar.

"Pelajaran SD, simbiosis mutualisme?" Aku bertanya memastikan.

Si Tahanan Baru mengangguk. "Aku dan beberapa investigatorku bakal memberimu informasi tercepat untuk menemukan tunanganmu."

"Tawaran yang menarik, tapi aku lebih senang berusaha sendiri." kataku.

"Kau berkata begitu karena tidak ada lagi orang yang percaya padamu, bukan?" Jaja menebak.

Aku mengangguk setuju.

"Kalau begitu, kuberi kau dua bantuan sekaligus."

Aku terkekeh. "Baiklah, mari kita lihat seberapa hebat kau sekarang." tantangku.

"Jadi, kau bergabung dengan kami sekarang, Bung?" Kusnadi kembali menyaut.

"Hanya jika tahanan baru ini membayar separuh dari janjinya." kataku.

Jaja tergelitik, tapi akhirnya setuju juga.

"Tapi, Bung.... apa yang terjadi padamu sebelumnya? Kenapa Bung bisa pingsan?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaan dari Kusnadi. Lalu menjawabnya dengan gelengan kepala sembari bilang: "Aku hanya lelah, tak ada alasan lain."