Chereads / The Pink Sanctum / Chapter 8 - 7. Tahanan Lain

Chapter 8 - 7. Tahanan Lain

3 jam sebelumnya.

Aku sampai di kamar mandi petugas, seperti hari-hari kemarin, tapi lagi-lagi kali ini tak sama. Aku tidak buang hajat, hanya menyeka wajah dengan air lalu melihat pentulan diriku yang tampak seputih mayat. Tindakan di tempat makan beberapa menit tadi, memberi beban kepadaku. Rasanya aku sudah berubah menjadi pria egois dan brutal layaknya para kriminal di tempat ini, meski aku sudah memutuskan hal tersebut 3 hari lalu. Namun, apakah begini hasil akhir yang kuharapkan?

Aku menundukkan kepala. Menyembunyikan muka sekaligus identitas diri dari pantulan Sang Cermin, walau setiap mata yang masuk ke tempat ini akan segera tahu melalui nomor pada baju tahanan yang kukenakan. 986.

Selain keunikan ketiga angka itu yang tetap sama meski diputar 360 derajat, juga menjadi kutukan untukku, kutukan sebagai penanda tahanan baru yang membikin babak belur salah satu bawahan Mabonk alias Chairul Saputra. Seorang yang dikatakan sebagai pimpinan blok 12, yang mana para bawahannya berulang kali menjadikanku karung tinju seminggu ke belakang. Lalu tadi, berhasil membuat pingsan Herman, pimpinan blok ujung. Pria yang sering dikabarkan lebih brutal dan lebih gila daripada Mabonk. Yang manapun, aku harap, para napi lain tidak akan lagi menggangguku.

Di penjara terdiri dari beberapa blok yang dipimpin oleh seorang "Direktur"—konon kabarnya mereka lebih berkuasa dari pimpinan penjaga, di setiap blok dipimpin oleh "Bos". Blok terdiri dari beberapa kamar huni yang dipimpin oleh "Palkam". Mereka bekerja sesuai struktur yang sering kalian jumpai dalam organisasi sekolah maupun perusahaan. Tentu saja, lebih baik daripada itu. Singkatnya, sejajar dengan Mafia.

Dari informasi yang kudapat, para "Bos" bekerja sama dengan petugas lapas untuk melakukan transaksi ilegal. Bahkan beberapa saksi mata pernah melihat sipir meracik sendiri barang terlarang itu untuk kemudian diedarkan sesuai saran dari para "Bos".

Ya, mengejutkan memang. Kalau kalian tidak percaya, cobalah menjadi salah satu di antara mereka, karena itulah syarat utama kau bisa mengekspos rahasia di balik jeruji besi. Benar, kau harus menjadi petugas lapas atau narapidana dengan gelar "Bos" atau tangan kanannya, Palkam. Tapi, pastinya kau perlu sesuatu yang lebih dari sekadar tindakan kriminal. Hmmm.... sebaiknya jangan.

Deru laju air dari kran yang menyala mengiringi berbagai pertanyaan yang muncul di benakku. Buih-buihnya memberi kesegeran di dalam kamar mandi petugas yang baunya tidak semenjijikan sewaktu pertama kali aku masuk ke tempat ini. Cahaya Matahari mendadak melalui celah dan memantul kaca lalu menyinari diriku yang lesu nan suram. Ada kedilemaan yang menyelimuti hati dan otakku akan tindakanku barusan. Keraguan antara tepat dan berlebihan. Agak-agaknya aku kembali seperti dulu, diriku yang lama, yang selalu ragu untuk membuat keputusan tanpa adanya kepastian darimu Lutfi.

Aku tahu, aku sadar, juga mengerti, kalau sikap ini tidak sepatutnya dimiliki oleh seorang pria yang bakal menyandang gelar sebagai Suami dan Ayah, karena sudah sepantasnya membimbing anak Istrinya. Jadi, sewajarnya kami dilarang menunjukkan keraguan kepada siapa pun bahkan kepada diri sendiri. Sayangnya, tidak bisa dipungkiri, kami tetaplah manusia biasa. Membutuhkan orang lain untuk memantapkan pilihan yang telah diputuskan. Layaknya yang terjadi padaku sekarang.

Tapi, aku tidak membutuhkan orang lain selain Lutfi, tunanganku. Bagiku, dia adalah bagian dari aku. Meski dirinya menghilang tanpa jejak dan tidak dapat kutemukan sampai detik ini. Seharusnya bukan itu yang kupikirkan sekarang, aku harus lebih berfokus untuk tetap bisa bertahan hidup bersama para pelaku tindak kriminal dan masyarakat yang menerima dakwaan secara tidak adil. Diskriminasi! Ya, itulah masalah utama di dalam penjara. Entah dari napi sendiri atau bahkan para petugas, seperti kejadian yang kulihat malam tadi.

Dalam pikiran dan perasaan yang berkecambuk tidak keruan, aku memejam. Berusaha mengendalikan diriku yang mulai goyah. Nyeri pada dada serta goncangan hebat pada tumpuan kakiku. Sudah lama sekali aku tidak merasakan ini semenjak aku dipenjara. Angina dan vertigo adalah dua hal yang juga tidak mau lepas dari diriku. Itu selalu datang ketika aku memikirkan banyak hal sewaktu sekaligus. Aku tahu itu salahku, aku perlu mengatasinya sesegera mungkin. Dari arah luar suara sirene kembali menggelar, tanda bahwa waktu sarapan telah usai dan para napi harus kembali ke kamar huni mereka masing-masing dalam waktu 5 menit kalau tidak mau dikirim ke klinik.

Aku mengatur napas dan kembali melebar pandangan. Melangkah dengan bantuan tangan merayap tembok. Keluar dari WC negara. Kemudian berjalan dengan kaki gemetar. Melalui petugas yang tengah sibuk mengatur barisan para napi. Di antaranya aku melihat pria tua dan Si Tahanan Baru, keduanya sedikit mengangkat tangan berbarengan. Mungkin menyapaku. Aku mencoba senyum sebelum akhirnya ambruk.

🚶🚶🚶

Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar salah seorang pria memanggilku. "Sembilan-lapan-nam,"

Aku mengalihkan pandang, menghadapnya.

Dengan sigap dia mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud mengganggumu, percayalah." ucapnya. "Lihat," Dia menunjuk ke arah Tenggara di mana tampak sekumpulan napi sedang mengelilingi pria tua, Kusnadi maksudku.

"Apa yang terjadi padanya?" pikirku.

"Kau, tidak mau membantu dia?" tanya napi di sisiku.

Aku kembali bekerja memecahkan batu dengan palu besar. "Bukan urusanku,"

Kudengar pria itu menghembus napas lalu melangkah melaluiku, menuju tempat yang dia tunjuk sebelumnya.

Aku mengacuhkannya, dan kembali bekerja. Berharap upah dari kerja siangku ini bisa kugunakan untuk menyuap petugas kalau mereka menemukan buku dan alat tulisku. Ya, sedia payung sebelum hujan.

Beberapa detik kemudian aku mendengar para napi berteriak, lalu menyusul gemerundung tinju, tanda bahwa ada perkelahian. Kutatap ke arah sumber suara, dan terkejut setelah melihat pria tadi diinjak-injak oleh tahanan yang mengerubungi pria tua.

Entah karena reflek atau rasa peduli, aku berlari ke arah mereka dengan maksud menghentikan aksi mereka itu. Dan, aku tidak tahu kenapa, setibanya aku di sana kelima napi itu tersentak lalu kabur begitu saja.

"Apa Bung mau membunuh mereka?" tanya Kusnadi.

Aku terkekeh setelah paham maksudnya. Secara kebetulan yang sangat tidak sengaja aku memanggul alat kerjaku, palu besar. "Ini tidak disengaja," kataku seraya meletakkan benda itu di sisi kanan.

"Ha ha ha," Pria tua itu masih saja tertawa.

Pria lain yang tadi digebuki oleh kelima napi bangkit dengan kaki gemetar dengan sebelumnya terbatuk tiga kali.

"Mana dia?" tanyaku pada Kusnadi.

Pria tua itu mengangkat bahu. "Aku tak tau Bung, kita bertiga berada di barisan yang berbeda. Dan aku tidak melihatnya setengah jam ini."

Aku menggumam. Dalam otak berpikir: "Mana mungkin seorang penyidik sepertinya bekerja sedati kriminal?"

"Kau tidak apa, Bung?" Kusnadi bertanya pada pria lain yang membantunya.

Dia masih saja batuk. "Tidak sebaik tadi,"

"Kenapa kau menolongku?" Pria tua kembali melempar pertanyaan.

"Karena kau butuh bantuan, bukan?" Dia balik bertanya.

"Kalau benar begitu, kau bakal kesusahan. Karena banyak napi lain yang butuh bantuan." Hatiku berujar.

Kusnadi terbahak. "Apa kau polisi?"

"Tidak," Gelengnya. "tentu saja tidak! Aku hanya ingin berubah jadi lebih baik."

"Ha ha ha, siapa namamu, Bung?"

"Jupri. Kau sendiri,"

"Aku Kusnadi dan ini—"

"Sembilan-lapan-nam," kataku menyerobot kalimat pria tua. "Ini waktunya kerja, bukan ngobrol." tambahku kemudian melangkah dan kembali pada pekerjaanku.

🚶🚶🚶

Selesai sesi kerja, para napi diharuskan kembali ke kamar huni masing-masing sebelum pukul 5 sore. Ada yang menyempatkan waktu mereka untuk membeli ini itu setelah mendapatkan upah yang tidak seberapa, mandi—di penjara kau perlu membayar untuk bisa mandi dengan jatah air satu ember ukuran sedang, beberapa melakukan rutinitas mereka—judi, supaya dapat duit lebih banyak. Aku heran, kenapa petugas tetap membolehkan kegiatan seperti itu di sini. Apa benar kalau penjara memang tempatnya kursus kriminal?

"Jadi, ke mana kau?" Aku bertanya kepada Jaja setelah petugas melangkah pergi seusai mengunci pintu sel kami.

"Ya, aku tidak melihat Bung sampai sesi kerja habis." tambah Kusnadi.

Si Tahanan Baru tersenyum kecut. "Sudah kubilang, aku akan memberimu dua bantuan sekaligus. Dan kau tau.... aku butuh waktu untuk mengurusnya."

Aku mengangguk setelah paham maksudnya. Tapi berbeda dengan pria tua, dia justru memastikan tebakan yang muncul di otaknya. "Jadi, tadi Bung kelu—"

"Sebaiknya kau menyimpan pertanyaanmu itu, pria tua." Aku menyela.

Kulihat dia mendengus tapi akhirnya menurut juga.

"Bagaimana dengan urusanmu itu?" Aku kembali bertanya.

"Belum separuh," jawab Jaja. "mungkin aku perlu dua hari lagi untuk menyelesaikannya."

"Sebaiknya cepat Bung, aku hampir mati gara-gara Bung sembilan-lapan-nam ini tidak mau menjagaku."

Aku tergelitik mendengar omongan Kusnadi.

"Apa mereka sudah bertindak?" tebak Jaja.

"Mana kutau?!" bentak pria tua. "Para keparat di sini, selalu memeratku. Brengsek! Kalau saja aku dua puluh tahun lebih muda, pasti aku bakal mengirim mereka ke klinik!" tambahnya dengan napas menggebu-gebu.

"Itu buruk," saut Si Tahanan Baru. "kau sebaiknya menjaga dia, Detektif."

Aku menghembus napas keras. "Sudah kubilang, aku bakal membantu kalian kalau kau membayar dari separuh janjimu itu."

"Tapi semuanya percuma kalau Kusnadi mati!" tangkis Jaja memojokkanku untuk segera membantunya.

"Kalau begitu, berikan uangmu, pria tua." ucapku.

"Hah?!" serunya. "Apa maksudnya Bung? Apa Bung mencoba memerasku?!"

Aku mendengus. "Bekerja tanpa upah juga pemerasan,"

"Aku sudah janji akan membayarnya," timpal Si Tahanan Baru.

"Belum." sangkalku. "Dengar, pria tua membayarku sebagai jaminan. Kalau kau sudah memenuhi janjimu itu, aku pasti mengembalikan uangnya."

Kulihat kedua tahanan di depanku mengatur napas. "Tidak ada cara lain," ujar Jaja sambil melempar pandang ke arah Kusnadi.

Pria tua itu mengangguk terpaksa. Merogoh saku celananya, dan melempar uang sepuluh ribuan ke arahku setelah meremasnya. "Aku tahanan miskin sekarang."

Aku tergelitik setelah menerimanya. Persis seperti pria mata duitan.

"Baik, mari kembali pada topik sebelumnya." kata Si Tahanan Baru akhirnya. "Kau yakin, mereka bukan orang-orang kawanmu itu?"

"Mana mungkin aku berani membohongi Bung?" Pria tua balik bertanya.

Kulihat Jaja menunduk kepala, tanda dia sedang berpikir.

"Apa yang mereka katakan padamu, pria tua?" Aku ikut melempar pertanyaan.

"Hmmm.... minta rokok, sama kayak tahanan lain. Dan kalau tidak salah, mereka bilang sesuatu tentang 'makar'."

"Makar?" tanya Jaja berbarengan dengan suara hatiku. "Kau pernah memeras tahanan lain sebelumnya?"

"Sama sekali tidak!" elak Kusnadi. "Meski aku diperlakukan secara tidak adil, aku tidak akan bertindak seperti kriminal, Bung!"

Jaja kembali mengatur napas. "Lalu, apa maksud mereka dengan mengataimu 'makar'?"

"Mana kutahu?!" tanya pria tua dengan nada tinggi. Mungkin dia masih tidak rela dengan kondisinya yang tanpa uang sekarang. Siapa peduli?

"Kau tau sesuatu, Detektif?" Si Tahanan Baru mengajukan pertanyaannya kepadaku.

"Sepertinya," kataku. "aku akan mencari bukti lain sebelum membuat tuduhan."

Mata Jaja mendadak berubah tajam. "Kita harus bertindak cepat,"

Aku mengangguk. "Dan, kau pria tua, sebaiknya kau tidak dekat-dekat dengan napi lain itu."

"Napi lain itu?" Si Tahanan Baru memastikan pendengarannya.

"Ya, Jupri namanya." jawab Kusnadi. "Dia datang tepat sebelum aku dipukuli. Dia orang baik," sambungnya.

"Kau tidak boleh menilai seseorang hanya dari pandangan pertama, Kakek." Jaja menyarankan dengan paksa.

"Hmmm...." gumamnya.

"Lagi pula, dia tidak bisa menjagamu bukan?" tanyaku.

"Apa makudnya?" Si Tahanan Baru ikut melempar pertanyaan.

"Dia bonyok," jawabku.

"Itu jadi lebih masuk akal. Sebaiknya, kau tidak dekat dengannya, Kakek. Lagi pula, Detektif sudah mau menjagamu."

"Hmmm...." Pria tua kembali menggumam. "aku kurang sependapat dengan kalian."