Chereads / The Pink Sanctum / Chapter 5 - 4. Nomor 986

Chapter 5 - 4. Nomor 986

"Apa dia kawanmu, anak baru?" tanya Herman masih duduk di sisi kiriku.

Agak-agaknya dia dan kedua anak buahnya bakal terus di sini, mengganggu waktu sarapanku, mengintimidasi pria tua, dan mengobrol bersama anak baru yang sok akrab dengan duduk di hadapanku. Aku berpikir: "Apa lebih baik aku pergi dari sini? Tapi bisa saja itu justru membuat Herman jadi berpusat padaku. Mungkin, diam dan mengacuhkan mereka adalah tindakan yang tepat. Lagi pula, selama ini, hampir dua minggu, aku selalu melakukan hal itu. Siapa peduli dengan bagaimana akhirnya? Kalau mereka menggangguku secara langsung, dalam tanda kutip merusak ubi rebus yang sedang kumakan, aku bakal bikin mereka pingsan."

Noer menggeleng. "Aku hanya prihatin dengan apa yang dilakukan oleh petugas."

"Hmmm...." gumam Herman yang bagi telingaku nadanya terdengar mengejek—menahan tawa. "lalu, seperti apa petugas dalam pandanganmu?"

"Seperti yang kulihat di TV. Mereka terlihat tegas dan bijak, bukan menganiaya napi seperti tadi malam." Noer menjawabnya dengan serius. Sampai membuatku hampir tersedak karena menahan tawa. Berbeda dengan Herman dan kedua bawahannya, mereka justru melepaskannya terang-terangan. "Apanya yang lucu?" tanya dia selanjutnya.

"Tidak mungkin para brewok negara itu bersikap halus pada kriminal seperti kita, bocah baru! Itu sudah tindakan paling tepat." ujar Herman. "Lagi pula, aku sendiri bisa gila jika harus mengurus orang-orang bermasalah selama dua puluh empat jam penuh tiap bulannya tanpa bisa istirahat."

Aku cukup terkejut mendengar pernyataan itu darinya. Benar-benar tidak menyangka kalau pria bengis sepertinya punya pikiran yang demikian. Boleh jadi para napi di sini justru memiliki pandangan yang jauh lebih bijak ketimbang orang di luar sana, khususnya para tikus berdasi yang tidak berhenti membuat Undang-undang Negara, makin membebani masyarakat miskin dan pedalaman yang tidak mengerti soal banyak hal, hanya bisa berusaha bertahan hidup, memberi makan keluarga mereka dengan panganan ala kadarnya.

"Mungkin, kau ada benarnya." kata Noer menyetujui.

"Heh.... jadi, berikan bayaranmu." ucap Herman membuatku paham kepicikannya.

Rupanya dia datang ke sini hanya untuk mengerjai Noer Si Tahanan Baru. Ya, Herman memang masih jadi pria brengsek seperti sebelumnya. Dan aku tidak menyalahkan hal itu. Karena bagi tahanan, itu adalah tindakan yang wajar. Dan juga sangat sering terjadi di luar penjara, senior menjahili juniornya. Itu sudah mendarah daging di negara ini, bukan?

"Hah? Ba-bayar?"

"Ya, informasi itu tidak gratis, bocah baru."

"Bagaimana bisa tidak gratis?!" Noer mencoba mengelak. "Kau memberikannya sendiri!"

"Hei, bocah baru, tidak ada yang gratis di sini." Ateng akhirnya ikut menyambung.

"Hah?! Ta-tapi.... aku tidak memintanya! Dia yang ngasih tau sendiri! Jadi aku tidak perlu membayar apa pun!"

"Berani juga lo, brengsek!" Yusuf angkat bicara. Dia menjagal baju Noer lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. "Mau mati lo?!" ancamnya.

"Ti-tidak.... tidak, tidak. Tentu saja tidak. Tolong maafkan aku...." ucapnya memelas.

Tapi itu tidak menghasilkan apa pun, justru mereka bertiga jadi lebih bersemangat mengerjainya. Aku yakin itu.

"Tch! Kau pikir kami percaya?!" timpal Yusuf arkian menghempaskan bocah baru itu sampai membuat kursi yang diduduki pria tua ikut terjungkal karenanya, ditambah sekumpulan mata yang memandang ke arah kami.

Dengan tertatih-tatih mereka bangkit. Si Pria Tua hanya berani berdiri sambil menundukkan kepalanya setelah mengambil posisi agak jauh dari tempat kami duduk, Si Tahanan Baru berdiri seraya bersandar pada meja, tangan sebaliknya memegangi perut. Sedang aku masih duduk menyantap ubi rebus yang hampir habis.

"Ja-jadi.... apa yang mesti kubayar?" tanyanya terbata-bata.

"Sebungkus rokok," jawab Herman. Dia kini mengambil posisi berdiri sempurna.

"Se-sebungkus rokok katamu?" Noer bertanya memastikan. "A-aku.... aku tidak punya barang semacam itu!"

"Tch! Kau tidak punya rokok, itu artinya kau perlu membayar dengan nyawamu!" gertak Herman lantas menendang kuat-kuat meja di hadapanku, menghantam keras tubuh Noer. Selanjutnya seruan para napi menggelegar di sepagi ini.

Terhuyung-huyung Si Tahanan Baru berusaha bangkit, membenarkan posisi meja. "Itu.... keterlaluan, bukan?"

Herman meludah. Menyandar tangan kanannya pada pundak kiriku. "Siapa peduli, kan?"

Tidak kurespons, masih sibuk mengunyah makanan di mulutku.

"Jawab aku, brengsek!" Dia berseru lalu menampar tanganku, membuat ubi rebus yang tinggal satu gigitan habis terbang dan jatuh di lantai usang, menjadi panganan yang terbuang sia-sia.

Aku bangkit dan menatap tajam ke arahnya. "Aku tidak akan memberi kesempatan lagi untuk kalian!"

"Apa masalahmu, brengsek?!"

Dengan satu tarikan napas, aku melepaskan bogem mentah tepat ke arah pipi kirinya. Sangat kuat, sampai kepalanya membentur meja dengan amat keras. Herman jatuh tersungkur dan pingsan. Sedetik kemudian sorakan terdengar lebih keras daripada sebelumnya, ada juga beberapa yang menepuk tangan.

"Keparat! Apa yang sudah kau lakukan pada Si Bos?!" geram Ateng.

Kulihat pria itu mengambil ancang-ancang hendak menendang meja supaya menubrukku. Aku mengantisipasi serangannya dengan menjejal meja menggunakan telapak kaki kiriku, membalikkan benturan kepada kakinya. Sewaktu Ateng merintih menahan sakit, aku melompat dan menubruknya. Membuat dia telentang, lalu memukul telak wajahnya. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga dia berdarah-darah dan akhirnya pingsan.

Setelah mendengar derak langkah kaki, aku mengalihkan pandangan ke balik punggungku, dan sesuai dugaan, aku berhasil menangkap tendangan kaki kanan Yusuf menggunakan tangan kiri. Aku bangkit, dan dengan kiprah yang sigap aku melakukan debeg kanan pada kaki tumpuannya lalu menekan kuat-kuat kaki kirinya ke atas, membuat dia seperti pesenam handal yang sedang mempraktikkan split kiri dengan bantuan rekannya. Tapi tentu saja itu justru merobek selangkangan bagi orang yang tidak terlatih seperti Yusuf.

Sungguh, aku sangat membenci orang ini. Dia dibekali nama salah satu Nabi tapi perlakukan dan kepribadiannya sama sekali tidak mencerminkan hal baik. Aku tekankan kepada kalian yang sudah dipercaya oleh orang tua kalian dengan nama Nabi pada nama kalian, berusahalah sebaik mungkin untuk tidak berbuat jahat, atau itu justru merusak citra nama Nabi yang kalian gunakan.

Aku tidak berhenti sampai di sana. Setelah mendengar rintihan bedebah di hadapanku, aku menghantam perutnya sekuat tenaga sampai membuat Yusuf terlempar dan menubruk tembok.

Kulihat Yusuf belum pingsan. Dia batuk dua kali dan dengan kaki gemetar dia bangkit. "Brengseeek!!!" geramnya. Berlari ke arahku dan melakukan banyak pukulan jab yang selalu berhasil kuhindari. Bagiku saat itu, serangannya tidak secepat serangan guruku sewaktu aku SMP.

Setelah beberapa kali melangkah mundur dan menghindari gempuran darinya, aku mulai terbiasa dengan ritme serangannya. Sewaktu dia mengambil ancang-ancang demi menambah bobot pukulan tangan kanannya, aku memanfaatkan momentum itu untuk mencekik leher Yusuf. Membuat dia tersedak dan kembali merintih.

"Dengar semuanya!" Aku berteriak memaksa seruan sebelumnya lenyap seketika. "Kuperingatkan kepada kalian semua! ....Aku, sembilan-lapan-nam, sesuai rumor yang beredar ... jangan lagi menggangguku! Atau kalian bakal merasakan sendiri akibatnya!" Lalu mematahkan leher Yusuf dengan tangan kiri, memaksanya pingsan.

Aku melangkah menuju kerumunan napi yang berbisik ini itu tentang aku, pastinya. Dan tiada disangka, mereka semua memberi jalan untukku, seakan aku adalah orang yang tidak tepat untuk mereka dekati, untuk mereka buat masalah. Yang mana pun, siapa peduli? Aku melakukan ini memang hanya untukku!

"Akhirnya.... akhirnya.... akhirnya kukatakan juga sesuatu yang selalu kupendam selama ini." ujar batinku.

Sekejap Noer dan pria tua telah berada di sisiku, menyamai gerak langkah kakiku. "Apa yang mereka mau?" Aku bertanya sendiri.

"Kau.... kau punya tenaga yang luar biasa," ucap Si Tahanan Baru.

Namun tidak kutanggapi.

"Kau mestinya menggunakan itu untuk menguasai tempat ini." Pria tua menyarankan sesuatu yang mustahil kulakukan.

"Jangan ganggu aku!" gertakku dengan mata melotot.

"Tunggu, kau mau ke mana sembilan-lapan-nam?" Noer bertanya.

Tetap tidak kutanggapi, tidak mungkin kuberitahu kepada mereka tujuanku pergi, aku tidak mau merusak kesan mengerikan yang kubuat sebelumnya dengan sengaja mengumbar kalau aku mau berak. Itu, memalukan, bukan?

Tapi bukan itu masalah yang harus kupikirkan, aku mesti bisa membuat alasan untuk menjelaskan kepada petugas akan kejadian tadi. Dan aku hanya ingin mereka tahu kalau nomor tahanan sembilan-delapan-enam sangat tidak suka diganggu. Dan aku berharap, mereka bakal melakukannya sampai aku bisa keluar dari penjara bobrok ini akhir bulan Februari nanti. Juga aku berharap, jika Lutfi tahu hal ini, dia bakal memaafkanku. Semoga saja....