PAGI ITU, huru-hara menyelingkupi suatu tempat di Purwokerto. Mobil-mobil berderet bagai ular beton di pesisir jalan raya. Manusia-manusia gagah dengan memakai setelan jaz maupun kebaya memenuhi hampir seluruh kursi berbaju putih di bawah tratag yang telah didekor sedemikian rupa dengan kain-kain mewah berwarna putih-hijau.
Pada setiap sisinya tampak warna warni bunga turut menjadi penghias bangunan yang dapat dibongkar pasang, meski bagi sebagian besar orang yang menyiumnya pasti akan terkena luka, maklum, itu cuma imitasi yang dibuat dari bahan plastik.
Salah seorang pemuda di sana misalnya, sebut saja Gilang, ya memang itu namanya, masa harus disebut yang lain, kan kasihan orangtuanya yang udah repot-repot nyari nama, bikin acara syukuran, pamer ke orang-orang. Oke, ga usah debat, kita lanjutkan saja kisahnya.
Gilang yang sok-sokan bergaya bak artis dalam sebuah film romance memposisikan dirinya dalam posisi setengah jongkok—meniru perilaku pangeran yang menyium tangan pasangannya. Dan, alhasil, dia mendapat goresan pada hidungnya.
"Aduh!" serunya menahan sakit sambil memegangi hidung.
"Kamu lagi ngapain, sih?!" Wanita di sisi pria itu menanya hampir membentak. Kalian sendiri pasti sudah bisa menebak siapa namanya. Ya benar! Lutfi.
"Latihan." Gilang menjawab.
"Latihan? Latihan gimana maksudnya?"
"Iya. Latihan biar bisa."
"Iya aku tahu!" Lutfi menggerutu. "Maksudnya.... kamu latihan apaaaaa?!" Dia bertanya mendesak, tampak mukanya berubah ngotot. Mungkin merasa greget dengan tingkah Gilang yang tidak juga berubah sejak dulu. Sejak pertama bertemu. Sejak SMA.
Waktu itu, Gilang sudah mengenali Lutfi saat kelulusan SMP, namun keduanya belum pernah berbicara secara langsung. Setelah takdir memutuskan mereka untuk bertemu di sekolah yang sama, di bagian kelompok besar yang sama—saat MOS, di kelas yang sama, di meja yang sama, dan di jalur rumah ke sekolah yang satu arah; dialog di antara keduanya pun terjadi. Percakapan minta absen.
Ya waktu itu, karena kebiasaan Lutfi terlambat masuk sekolah, Gilang dengan sengaja meminta jatah hukumannya untuk dia gantikan. Iya, hukuman buat mengabsen seluruh siswa di SMAN Purwokerto.
"Absen." kata Gilang setelah menekan pundak si wanita dengan bolpoin yang ditutup.
Lutfi hanya memandang dengan heran. Sesaat dia juga berpikir, barang kali pria di depannya adalah orang yang dia kenal, tapi nyatanya tidak.
"Absen." ujar Gilang mengulang kalimatnya.
"Apa maksudmu?" tanya Lutfi.
"Guru piket nyuruh kamu masuk."
"Jangan ngawur!" Lutfi membentak. "Aku diminta ambil absen seluruh kelas." tambahnya kemudian melangkah pergi.
Namun lagi-lagi pundak kirinya ditekan dengan bolpoin. Memaksa Lutfi harus kembali menghadap Gilang.
"Kamu ngeyel banget, sih?!" kata Lutfi sedikit berteriak.
Kali ini, tak ada suara yang keluar dari mulut Gilang. Respons yang diberikannya justru mengambil buku absen dari tangan Lutfi dengan sigap dan segera masuk ke kelas XI IPA-1 untuk menggantikan tugasnya.
"Hey, tunggu!" Lutfi berseru dan berusaha merebut balik lembar tugasnya.
Namun aksinya segera dia urungkan setelah salah seorang guru yang pagi itu sedang mengajar di kelas XI IPA-2 keluar sembari berkata: "Kamu ngapain di situ?! Sana masuk!"
Lutfi terkejut sekaligus takut. Dia hanya mengangguk kepala dan menuruti perintah Sang Guru.
Itulah harinya, itulah masanya, percakapan pertama kali yang romantis bagi Gilang karena dia memang sangat menunggu-nunggu untuk bisa berbicara dengan wanita yang disukainya. Tapi jauh berbeda bagi Lutfi, masa itu adalah masa yang hanya dengan mengingatnya saja sudah sangat membuatnya jengkel.
"He,"
Mendengar tawa Gilang yang aneh, meski sudah berjalan selama 7 tahun, tetap membuat Lutfi terkekeh.
"Ye.... malah ikut-ikutan." ujar Gilang.
"Biarin!" jawab Lutfi.
"Dasar wisudawati yang tidak kreatif."
"Sembarangan!" gerutu Lutfi sambil menepuk pundak Gilang.
"He," Dia tertawa.
"Kamu sih, ketawanya aneh."
"Lah, ga aneh kok."
"Itu bagimu!"
"Emang."
Lutfi kembali menepuk pundak Gilang. "Kesel aku."
"Ya udah ayo duduk." ajak Gilang.
"Duduk?" tanya Lutfi.
"Iya. Kamu capek, kan?"
"Ih, bukan capek karena pengin duduk."
"Terus?"
"Capek ngomong sama kamu?"
"Lah makannya, ayo duduk biar ga capek ngomong sama aku."
"Ah, udahlah, sebel aku."
"He,"
"Malah ketawa! Emang ada yang lucu?"
Gilang diam. Hanya memandang ke arah Lutfi.
"Kenapa?"
Dia tidak bergeming, tetap memandang tajam mata lawan bicaranya.
"Kenapa, sih?"
Masih tidak ada respons apapun.
"Jangan gitu ya.... aku jadi deg-degan tau."
Wajah Gilang lebih mendekat.
"Sayang ya...." kata Lutfi memelas.
Namun tetap tak ada respons dari kekasihnya.
"Udah, ngomong aja." pintanya. "Ada apa, sih?"
"Keringat." jawabnya sambil mengusap dengan jari.
"Ih, kirain mau ngelamar." gerutu si Lutfi, lalu memunggungi Gilang.
"He,"
"Ga lucu!"
"Liat dulu sini." pinta Gilang.
"Ga mau! Palingan ngeledekin lagi kayak tadi." ujar Lutfi tetap memunggungi pasangannya.
"Engga."
"Serius?"
"Iya."
"Janji ga ngeledekin aku lagi?" tanya Lutfi sembari menjulurkan jari kelingkingnya ke belakang.
Gilang segera menyilangkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Lutfi.
"Jawab! Malah diem."
"Kan kamu sendiri yang sering minta diledekin."
"Ya maksudnya yang tadi, ih, gimana sih?!"
"He,"
"Janji bukan ketawa!"
"Iya janji."
"Ikhlas, ga?"
"Ikhlas."
"Coba janji apa?"
"Aku janji ga ngeledekin kamu lagi yang kaya tadi."
"Nah, pinter." kata Lutfi, kemudian kembali menghadap Gilang.
Pria itu segera setengah jongkok, memposisikan dirinya persis seperti saat menyium bunga-bunga palsu. Jari-jari tangannya menunjukkan sebuah lingkaran emas silver dengan hiasan mata cincin yang berderet, mirip bentuk mahkota ratu dalam ukuran kecil.
"Jadi buat ini?" Lutfi bertanya sekaligus memastikan
Gilang mengangguk.
Kini Lutfi tidak bergeming. Matanya berkaca-kaca. Menunjukkan kebahagiaan yang sangat dinanti-nantikan.
"Bukan cuma hati, aku juga mau kita nikah dunia dan agama."
Senyum di wajah cantik Lutfi berkilat. Dia mengangguk.
"Kamu mau, kan?" tanya Gilang
Seringai Lutfi makin melebar, matanya meneteskan lelehan berlian dengan perlahan. Sesiapapun orang yang melihat aksi keduanya pasti mengira itu adalah masa-masa indah yang jelas sangat ditunggu-tunggu.
Jemari-jemari tangan Gilang meraih jemari tangan Lutfi. Kedua pasang mata itu menatap dalam satu sama lain. Bibir mereka tidak sanggup berkata-kata. Seakan itu adalah puncak kebahagiaan yang dirasakan setelah mengarungi bahtera keputusasaan masa-masa kuliah.
Ya, kalian bisa tanya sendiri kepada mahasiswa-mahasiswa semester akhir, bagaimana susahnya menyelesaikan urusan skripsi.
Ada yang sibuk urusan format penulisan— selalu disalahkan tapi tidak pernah dikasih tahu gimana yang benar. Ada yang sibuk urusan tanda tangan tapi dosen selalu sibuk urusan ke luar kota. Ada juga yang sibuk urusan bingung materi, bingung sumber materi, bingung tempat penelitian, bingung teknik pengumpulan data, bingung mau ambil judul apa, bahkan kebanyakan bingung mau milih dosen pembimbing siapa.
Sekali lagi, mereka—dosen pembimbing adalah salah satu penentu terbesar bagi mahasiswa dalam menyelesaikan urusan skripsinya.
Ya, saat wisuda adalah saat yang sangat membahagiakan bagi mereka yang telah selesai mengarungi jurang maut tersebut di atas. Aduh, kayak soal ujian aja, ya?
Dan, kebahagiaan itu makin terasa berlipat saat Sang Pujangga hati melamar atau menerima lamaran. Bagai kalian yang belum mengalami, aku doakan semoga dipercepat.
Apanya?
Ya, apanya aja. He....
Hari itu benar-benar indah, hari itu sangat istimewa, bukan hanya bagi mereka berdua, bukan hanya bagi para mahasiswa yang telah diwisuda, bukan hanya orangtua yang anaknya telah diwisuda, bukan hanya keluarga yang kerabatnya telah diwisuda, tapi aku juga merasakan kebahagiaan mereka semua. Iya aku, karena ini adalah kisahku, karena aku adalah Gilang.
Dalam kisah kali ini, aku akan membahas bagaimana kehidupanku yang bahagia seketika sirna setelah kepergiannya. Dia, Lutfi.
Aku tidak tahu kenapa dia pergi, aku tidak tahu mengapa dia pergi, aku tidak tahu ke mana dia pergi. Seperti yang telah kalian baca, aku baru saja melamarnya, tapi tepat pada keesokan harinya, dia, Lutfi, menghilang tanpa jejak. Tidak bisa dihubungi, tidak ada di rumah, tidak ada di tempat manapun yang biasa kami kunjungi. Bukan hanya Lutfi yang menghilang, tapi seluruh keluarganya.
Para tetangga tidak ada satupun yang mau memberi tahu ke mana Lutfi dan orangtuanya pergi. Kerabatnya tetap bersikukuh untuk merahasiakan hal itu dariku. Apa salahku? Apa yang telah kulakukan? Kenapa Lutfi menghilang tanpa jejak?