i
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak setelah melaksanakan ibadah shalat Dhuha di sebuah masjid yang terletak di seberang SPN Purwokerto, sembari menerka kemungkinan terbesar tempat yang dituju oleh Lutfi.
Meski hatiku sudah berulang kali berseru kalau dia tidak ada di sekitar sini. Lebih tepatnya di luar wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi, jika tidak di tempat-tempat itu, di mana dia?
Aku terkejut saat mendengar suara wanita memanggil. "Mas,"
Aku melihat ke sisi kanan dan kiri, barang kali ada orang lain yang dipanggil, tapi nyatanya kondisi masjid benar-benar sepi. Kupandang ke arah sumber suara.
Dia wanita yang memiliki wajah seusiaku. Gamis yang dikenakannya panjang sampai menyapu alas, punggung tangannya diselimuti kain hitam, hijabnya besar dan rapi menutup dada dengan bantuan bros pada bahu kirinya. Kalau saja aku belum memiliki pasangan, jika dinilai dari segi berpakaiannya, aku bisa langsung suka kepadanya.
Ya, memang, aku menyukai wanita yang menjaga auratnya dengan sungguh-sungguh.
"Maaf mengganggu," katanya tanpa menatap ke arahku. Matanya berpusat kepada jemarinya yang menutup sebagian wajah.
Aku menggeleng, lalu beralih kepada ponsel pintarku. Membuka fiture game, asal memilih, lalu memainkannya. Aku harap, perlakuanku barusan menunjukkan kalau aku sedang tidak mau diganggu, terlebih oleh wanita sepertinya.
Bukan maksud aku tidak suka dengan penampilannya yang tertutup. Maksudku, aku sudah memiliki kekasih, sudah bertunangan, sudah sepantasnya aku menutup diri dari wanita lain. Lagi pula, penampilan muslimah sepertinya sudah banyak ditiru oleh para pencuri, jadi aku hanya mencoba menjaga diri. Sekali lagi, bukan bermaksud menghina dirinya.
"Maaf kalau saya sudah mengganggu, saya cuma mau tanya arah ke terminal."
Aku bangkit, lalu menunjuk sebuah angkot yang sedang menunggu penumpang di pinggir jalan. "Noh, tanya ke supir."
"Maaf Mas, maaf sekali. Saya mohon maaf Mas."
Mendengar permintaan maafnya yang berlebih membuatku tidak enak hati, jadi aku kembali melihat ke arahnya.
Kepalanya tertunduk, kedua tangan tetap menyatu seperti sedang berdoa. Lalu kulihat air mengalir dari lekukan matanya.
Hatiku menggumam, mungkin aku bakal ditipu kali ini, apa sebaiknya aku teriak? Tapi belum tentu orang ini pencuri. Apa aku harus terus jutek dan acuh? Tapi kalau dia benar-benar butuh bantuan bagaimana?
"Maaf Mas," ujarnya lagi. "sekali lagi saya mohon maaf karena sudah mengganggu waktunya."
Aku ngangguk.
"Tapi, kalau boleh, saya mau meminta tolong sama Mas,"
Minta tolong? Palingan minta duit. Ujar batinku.
"Kalau Mas liat perempuan pake kerudung kuning, kaos ketat, dan celana jin. Saya mohon dengan sangat, Mas tangkep orang itu dan laporin dia ke pihak berwajib."
Loh, bukan minta uang ternyata? Aku bertanya-tanya sendiri. Dan sesuai apa yang dia bilang, aku memang sempat melihat wanita dengan pakaian yang dijelaskan olehnya tadi keluar masjid dengan tergesa-gesa. Tapi, masa iya, dia si pencuri berhijab?
"Kebetulan, dompet saya diambil sama dia Mas."
"Ah, ... i-iya."
Dia pamit dan mengucapkan salam dengan masih meminta maaf, lalu melangkah perlahan keluar gerbang masjid. Aku membiarkannya, kembali duduk dan mengatur napas.
"Semoga Allah mengampuni perbuatanku barusan. Aku hanya menjaga diri dan menjaga hubunganku. Dan semoga, wanita itu diberi kemudahan untuk segera sampai di rumahnya."
Aku kembali memandang ke arah ponsel pintarku. Memencet tombol, dan menghubungi polisi.
"Selamat pagi, dengan Sapto Nugroho di sini, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang pria dengan nada tegasnya yang khas.
Sebenarnya, aku tidak perlu telfon karena pusat polisi ada di seberang masjid. Tapi, aku merasa ragu untuk datang dan menjelaskan apa yang terjadi. Lagi pula, dengan adanya kantor dan sekolah polisi di seberang masjid, maling justru berani menyuri di dekat bangunan mereka. Jadi, aku merasa kalau mereka yang ada di SPN hanya orang-orang yang mementingkan pendidikan kepolisian bukan tugas kepolisian secara nyata dalam melayani masyarakat.
"Iya Pak. Saya mau melaporkan kejadian pencurian yang terjadi baru saja di masjid seberang SPN Purwokerto." Aku menjelaskan.
"Baik, dengan Saudara siapa kami berbicara?" tanyanya.
"Gilang," jawabku.
"Baik, Saudara Gilang, apa Anda bisa menjelaskan ciri-ciri si pencuri?" Petugas bertanya.
"Bisa," Aku jawab. "seorang wanita yang memakai kerudung kuning kecokelatan, baju ketat, celana jin, dan sendal jepit hijau. Dia juga menggendong tas besar berwarna cokelat tua."
"Apa Saudara Gilang yang dicuri?"
"Bukan, seorang wanita yang baru saja datang ke masjid."
"Bagaimana ciri-cirinya?"
"Dia mengenakan gamis biru muda panjang, kerudung besar yang satu warna, dan sedang menuju ke terminal."
"Baik, kami terima informasi ini dari Saudara Gilang. Dan kami akan segera menyelesaikan permasalahan ini, agar si korban mendapatkan hak miliknya kembali." Petugas menjelaskan. "Kami akan menghubungi Saudara Gilang lagi, untuk kelanjutan dari kasus ini."
"Saya akan menunggu, Pak." kataku.
"Terima kasih atas bantuannya, dan tetap jaga barang bawaan Anda di mana pun Anda berada. Selalu siap dan awas terhadap para pelaku tindak kriminal." ucap petugas dan mengakhiri telfon.
Aku menghela napas. Bangkit dan melangkah menuju kendaraanku. "Sekarang waktunya buat nyari Lutfi lagi. Semoga Allah mempermudah segala urusanku. Aamiin."
🌹🌹🌹
ii
Aku sampai di wisata Baturaden pukul 07:30 WIB, di mana para petugas baru bersiap pada posisi mereka masing-masing.
Sambil menunggu mereka selesai melaksanakan upacara hari Senin, aku duduk di sisi motorku sambil menghadap ke arah selebaran di mana terpampang wajah kekasihku, Lutfi.
Di sana juga terdapat tulisan: "Baru lamaran 8 Desember 2018. Dan menghilang bersama seluruh keluarganya tepat keesokan harinya. Jika melihat orang ini segera hubungi nomor 087xxxxxxxx."
Bagian nomor sengaja aku sensor dalam buku ini, aku tidak mau, kalian yang membaca kisahku justru berbondong-bondong mengirim pesan atau menelpon aku. Ya, PD sedikit tidak masalah, bukan?
Di sana bukanlah sebuah foto yang dicetak kemudian diperbanyak, melainkan hasil lukisan tanganku yang sengaja difotocopy sebagai selebaran berita orang hilang.
Aku sendiri, selain gemar mengarang cerita, sesekali menyempatkan diri untuk membuat lukisan. Mulai dari pemandangan, hewan, kartun, anime, sketsa wajah, siluet, sampai copy-an foto. Tidak jarang, orang mengira hasil lukisanku adalah fotocopy, saking miripnya. Dalam tanda kutip "hanya bisa hitam putih".
Dulu, sewaktu TK, saat teman-temanku sibuk membuat pemandangan berupa gunung kembar, sawah di sisi kiri dan kanan jalan, matahari, dan para burung. Aku justru membuat pemandangan sunset di sebuah pantai dengan gradiasi warna yang cukup pas, menurutku. Dan memang itu diakui oleh guru dan orang tuaku. Meski hitam putih. Aku memang kurang pandai dalam mewarnai.
Saat SMP, aku sering iseng membuat kartun-kartun yang digabung, kalau bagi penggemar anime menyebutnya fusion, seperti apa yang ada di film Dragon Ball.
Kadang aku menggabungkan Naruto dengan Goku, Sasuke dengan Vegeta, Luffy dengan Naruto, Broly dengan Madara, Sakura dengan Bulma, dan masih banyak lagi.
Beberapa kali, untuk mengisi waktu luang saat istirahat sekolah demi menghemat uang jajan, aku sempat membuat komik sederhana yang cukup dinikmati teman-teman sesekolahanku. Bahkan ada juga siswa sekolah lain yang mau repot-repot bayar komik buatanku.
Aku masih ingat dengan judulnya, "Si Budi Pesek". Itu adalah kisah seorang anak pesek yang bercita-cita menjadi guru, tapi tidak pernah bisa sekolah karena masalah biaya, dan harus bekerja demi membeli obat untuk ibunya yang sakit-sakitan.
Keuntungan dari penjualan komik biasa aku gunakan buat beli perlengkapan silat. Jadi soal seragam, atribut, senjata, bodyprotector, dan lain-lain semua berasal dari hasil penjualan komik. Tidak perlu merepotkan orang tua.
Tapi, membuat komik bukanlah sesuatu yang kusukai, dan nyatanya aku memang tidak fokus dalam bidang tersebut. Aku, dulu, sewaktu SMP, lebih memfokuskan diri dalam hal persilatan, yang mana membawaku pada kejuaraan Nasional, tapi cuma buat nonton, bukan jadi peserta lomba. He....
Semasa SMA, aku cukup sering melukis wajah Lutfi, terlebih saat hari-hari istimewa seperti hari Selasa karena hari kelahirannya, tapi tidak selalu, sih. Paling ya ... sebulan sekali. He....
Aku masih ingat, waktu pertama kali kuberikan lukisanku kepadanya, membuat kami berdebat cukup lama.
🌹🌹🌹
iii
Jam menunjukkan waktu Ashar, namun belum terdengar gema Adzan yang saling saut. Aku duduk di gazebo sekolah sambil mengorat-aret kertas untuk mengisi kebosananku menunggu Lutfi selesai rapat urusan Keputrian.
Saat aku terlalu fokus dengan garapanku, aku terkejut karena ada tangan yang seketika menutupi kedua mataku. Tapi dari baunya, aku bisa langsung menebak kalau itu adalah tangan Lutfi.
Aku diam membiarkannya.
Lima detik, sepuluh detik, satu menit, dan akhirnya dia menyerah juga. Melepas diriku dan duduk di sisiku. "Kok diem aja?" Dia nanya.
"Udah tau, kamu." Aku jawab. Kembali menggarap lukisanku.
"Kok bisa tau?"
"Tanganmu,"
"Emang tanganku kenapa?"
"Wangi,"
Lutfi menyium-nyium tangannya sendiri. "Engga, kok. Aku juga ga pake parfum."
"Masa?" tanyaku tanpa mengalihkan mata.
"Iya,"
"Oooh, ya, ya. Tapi wangi,"
Dia menggumam. "Lagi bikin apa, sih? Sibuk amat."
Aku diam, membiarkannya melihat lebih dekat.
"Ih, mirip. Kok, bisa?"
Aku senyum. Menulis nama, tanggal, bulan, dan tahun di pojok bawah kertas. Membaliknya dan menyerahkan garapanku kepada Lutfi. "Buat kamu,"
Dia menerimanya dengan kedua tangan. "Makasih," Lalu sibuk melihat lukisan dirinya sambil senyum-senyum sendiri. "Kok, bisa?"
Aku mengangkat bahu. "Udah dari sononya,"
Lutfi menepuk pundak kananku. "Sombong!"
"He,"
"Meski bisa, tetep ga boleh sombong!"
"Aku cuma jujur,"
"Hmmm...." gumamnya. Menyimpan kertas itu pada ranselnya. "Kenapa ga ngelukis aja? Kan lumayan. Ada kok pelukis jalanan yang sekali ngelukis bisa dua puluh sampai dua ratus ribu."
"Ga terlalu jago," jawabku.
"Lah, tadi bisa, kok." katanya.
"Tapi biasa, kan?"
"Engga!" tangkisnya. "Itu tadi bagus. Mirip banget."
"Alhamdulillah,"
"Iya, makannya jawab yang serius ya, ih...."
"Aku emang ga terlalu jago ngelukis, Fi."
"Terus, kalo nulis jago?"
"Ya.... biasa juga, sih?"
"Lah, gimana, sih?!" Dia nanya dengan nada greget.
"Aku lebih suka nulis,"
"Kenapa? Kan kalau buku bergambar lebih banyak peminatnya."
Aku mengangguk setuju.
"Lagian, kamu tetap bisa bikin cerita tapi ada gambarnya. Kayak komik, gitu. Pasti lebih banyak yang beli buku buatanmu."
Aku menggumam. Merasa kalau apa yang dijelaskannya ada benarnya dan memang tidak salah. Tapi.... "Aku tanya boleh?"
"Boleh. Mau tanya apa, emang?"
"Kalau aku nulis bunga, yang kamu bayangin, apa?"
"Mawar!" jawabnya cepat.
"Tapi kalau di komik, udah digambar Bunga Bangkai—"
"Masa Bunga Bangkai?!" gerutunya menyerobot omonganku.
"He," Aku ketawa.
Dia mukul pundak kananku, lagi. "Yang bener, ya, kalo ngasih contoh."
"Iya, iya." kataku. "Kalau di komik udah digambar Bunga Kertas...." Aku diam, berhenti, menunggu reaksinya.
"Iya, lanjut, ih, malah diem."
"He," Aku ketawa. "Kalau udah digambar Bunga Kertas warna putih, kan yang dibayangin cuma satu itu. Bunga Kertas warna putih. Tapi kalo ga ada gambarnya, si pembaca bisa bebas bayangin apa pun yang dia mau. Dan ga ada yang bakal nyalahin."
"Tapi, kalo ga ada gambarnya kan susah bayanginnya!" elak Lutfi, mencoba menyangkal argumenku.
"Tapi kalo ada gambarnya kan ga bisa bebas bayangin apa pun yang disuka." sautku cepat.
"Ya engga, pokoknya!" Lutfi berseru.
"Ya iya, pokoknya!" Aku ikut-ikutan.
"Ih, jadi laki ga mau ngalah!" geramnya.
"He," Aku ketawa.
"Tau, ah, sebel." Dia memalingkan wajah, memunggungiku.
"Lain kali, aku bakal bikin cerita yang ada gambarnya."
"Nah, gitu dong." ujarnya kembali menghadap aku.
"Tapi dikit,"
Lutfi menepuk pundak kananku kali ketiga.
"He," Aku ketawa.
🌹🌹🌹
iv
"Mas," panggil tukang parkir mengakhiri lamunanku.
"Oh, ya." Aku segera bangkit karena merasa tidak enak.
"Lagi nunggu siapa?" tanyanya.
"Petugas, Pak." jawabku.
"Petugas?" Dia nanya lagi. "Petugas apa Mas?"
"Oh, itu Pak, saya mau nitip ini," kataku sambil menyerahkan selebaran kepadanya.
Bapak itu nenerimanya. "Oooh.... ternyata sampeyan yang lagi nyari orang."
Aku bingung. Darimana dia tahu?
"Itu, loh, Mas, udah banyak orang yang cerita kalo ada pemuda yang lagi nyari pacarnya yang ilang padahal baru tunangan." Dia menjelaskan.
Aku terkekeh. Gosip di Indonesia emang cepet banget nyebarnya. "Oh, gitu ya, Pak?"
"Iya, Mas. Ya sudah ini dibawa saya saja. Nanti saya minta ke petugas buat diperbanyak."
"Ga usah, Pak. Saya masih nyimpen banyak." kataku sambil menunjukkan isi tas yang dipenuhi selebaran.
"Ga perlu, Mas. Itu nanti Mas taruh aja di tempat yang lain. Di sini, ini saja sudah cukup."
"Ga papa, Pak?" Aku bertanya memastikan.
"Iya." jawabnya.
"Makasih banyak, Pak." ucapku sambil menyalami tangannya.
Pria itu mengangguk dan membalas tanganku. "Nanti kalau saya atau temen-temen saya, atau pedagang, atau petugas ada yang liat, pasti bakal langsung ngubungin Mas."
"Iya Pak,"
"Masnya lanjut aja ke tempat yang lain. Kalau hari Senin biasanya upacaranya lama. Sampai jam delapan seperempat, Mas."
"Oh gitu. Ya sudah, Pak, saya permisi."
"Iya Mas, hati-hati di jalan. Jaga kesehatan. Semoga tunangannya cepet ketemu."
Aku mengangguk. Lalu menjalankan motorku ke arah lain. "Aku harap tukang parkir tadi benar-benar mau membantuku."
Kejadian yang sama juga terjadi saat aku bertanya kepada petugas Small World, Small Garden, Balaikemambang, Andhang Pangarenan, dan Terminal Bulupitu. Seakan hilangnya Lutfi telah menjadi topik hangat yang sedang marak dibicarakan oleh warga Banyumas. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang melihat atau tahu akan keberadaan Lutfi.
Bahkan, teman-teman yang berpencar mencari Lutfi mulai dari pantai, hutan, bukit, gunung, pedesaan, kota, pusat rekreasi, pusat perbelanjaan—memberi kabar yang sama: "Aku masih ga liat Lutfi. Besok aku coba nyari lagi."
Aku benar-benar merasa payah dan putus asa. Tidak tahu lagi ke mana harus mencarinya.
"Lutfi, ke mana sebenarnya kamu?"