i
Aku sampai rumah ba'da 'Isya.
Di rumah, aku langsung mendapati wajah Mamahku yang tetap tidak berubah: cemas.
"Gimana? Lutfi udah ketemu?"
Aku menggeleng lesu. Kemudian membaringkan tubuhku di atas sofa.
"Tadi ketemu Zaqi?" tanya Mamah.
"Iya. Mamah yang nyuruh, ya?" Aku nanya balik.
"Iya. Siapa tau kamu jadi mau makan."
Aku menggumam. "Kok, Mamah bisa tau aku lagi di rawa?"
"Lutfi pernah cerita ke Mamah, katanya selain Menganti, di sana tempat yang istimewa buat kalian." jelasnya berargumen sambil menaruh segelas teh hangat di atas meja. "Minum dulu, kamu ga boleh sakit. Besok harus nyari lagi, kan?"
Aku ngangguk, menuruti perintahnya.
"Udah minta bantuan sama siapa aja?" Mamah kembali menyambung topik sebelumnya.
"Temen-temen yang pernah ngajar di MTs Lumbir, Mah." jawabku.
"Temen pondok, udah?"
Aku menggeleng. "Ga ada yang bisa dihubungi. Mungkin udah pada ganti nomor."
Kudengar Mamah menghela napas berat. "Kamu yang sabar, ya? Insha Allah, masih ada jalan."
Aku ngangguk.
"Ada buah di kulkas, Mamah baru beli tadi. Dimakan, buat ganti energimu yang udah pada ilang."
"Makasih Mah," kataku sambil mencoba senyum.
"Mamah itu kenal Lutfi udah lama, selama kamu kenal sama dia." Mamah mendekat lalu mengelus kepalaku. "Mamah yakin, Lutfi pergi bukan karena orang lain."
Aku memberi isyarat setuju.
"Kalau Mamah jadi Lutfi," katanya sambil melangkah menuju kursinya. "pasti lagi ngasih ujian."
"Ujian?" Aku nanya.
"Iya," angguknya sembari duduk. "ujian seberapa kuat cintamu sama dia."
"Cintaku udah kuat, kok, Mah."
"Kamu kalo lagi dibilangin jangan langsung ngeyel!" tegasnya.
"Maaf Mah,"
"Pantesan aja Lutfi pergi, kamu susah dibilangin soalnya."
Aku makin termenung dengan kepala lebih menunduk.
"Liat Mamah! Mamah yang lagi ngomong, bukan lantai!"
"Iya Mah," Aku menuruti titahnya dengan penuh rasa bersalah. Rasa bersalah atas segala kesalahan yang dulu pernah kuperbuat kepada Lutfi.
Aku tahu, aku sudah cukup berubah belakangan ini. Tapi aku yakin, luka yang pernah kulakukan padanya akan terus membekas meski sekuat apapun aku mencoba menghapusnya dengan ingatan kebahagiaan.
Seperti halnya kertas yang telah diremas-remas, sekeras apapun kau mencoba untuk merapikannya seperti semula akan tetap terlihat bekas remasannya.
"Gilang," panggil Mamah.
Aku menghadap wajah Mamahku yang menatap tajam ke arahku. "Kau ingat, kau pernah salah apa aja sama Lutfi?"
Aku ngangguk.
"Sebutkan."
"Tapi, Mah...."
"Sebutkan! Mamah bilang," bentaknya.
Aku menelan ludah. "Colong-colongan online malem-malem...." kataku terbata-bata.
"Apalagi?!" serunya.
"Chatan sama cewek lain,"
"Oalah.... dasar kembaran Bapakmu!"
"Bapak juga gitu, Mah?" Aku nanya sekaligus mencoba mengalihkan topik. Rasanya sangat tidak enak bukan mengumbar kesalahan sendiri kepada orang tua?
"Ga usah ngeles! Apalagi?!" bentaknya bersikukuh mengorek habis segala kesalahanku kepada Lutfi.
Aku mengatur napas, menuruti titahnya. "Bentak, marah, ngeyel, ngambekan, nyerahan."
Kulihat Mamah menggeleng kepala dengan napas berat, kemudian mengembuskannya perlahan. "Jadi, kau sudah ingat semua salahmu, kan?"
Aku ngangguk.
"Menurutmu, dengan kamu minta maaf terus berubah jadi lebih baik, itu cukup?"
Aku tercekat mendengar kalimatnya barusan. Memang aku menganggapnya demikian. Kesalahan bakal lunas setelah berhasil berubah total dan meminta maaf.
"Itu ga cukup! Wanita itu suka diperjuangkan, suka dikejar-kejar."
Sekali lagi, aku merasa hatiku tergugah mendengar omongan Mamah.
"Nah, jadi kamu harus bisa itu perjuangin hubunganmu sama Lutfi. Kejar dia sampai dapat. Cari ke mana pun sampai ketemu. Anggap aja, sekarang giliranmu buat nebus semua salah-salahmu dulu."
Aku mengangguk.
"Ya udah, Mamah pulang dulu. Kasihan adekmu sendirian di rumah. Bapakmu juga kayaknya bentar lagi mau pulang."
Aku ngangguk lagi, lalu mengantarkan Mamah ke depan rumah dan menunggunya sampai pergi menggunakan kendaraan pribadinya: sepeda motor.
Setelahnya, aku masuk ke kamar untuk kemudian mencari-cari berkas tentang hal-hal yang disukai wanita, seperti apa yang sudah Mamah bilang. Tapi aku memang merasa perlu informasi lebih daripada sekadar memerjuangkan, mengejar, dan mencari. Sepertinya juga aku pernah membuat buku semacam itu.
Dan sekitar 5 menit aku mengorek-orek rak buku pribadi—isinya cuma buku-buku buatanku—aku menemukan dua buah buku dengan judul yang sama: "Muslimah Sejati".
Salah satunya adalah cetakan pertama, dan yang lain jelas cetakan kedua.
Aku menyimpan kembali buku cetakan kedua, lalu mengambil posisi duduk di sisi ranjang, dan mulai membaca buku Muslimah Sejati cetakan pertama yang pernah kubuat sebagai hadiah khusus untuknya. Dia, Lutfi.
🌹🌹🌹
ii
Di ruang kelas X-11 SMAN Purwokerto, tahun 2010.
"Bangun!" seru Lutfi sambil memukul meja, memaksa aku untuk segera menjauhi kayu itu.
Aku bangkit dengan mata malas. Mengucek mata, menguap, membasuh wajah dengan kedua telapak tangan, membenarkan seragam sekolahku, lalu menghadap ke arahnya.
"Udah janji diingkari!" ujarnya ketus.
"Maaf banget, tadi malem ngejar deadline."
"Deadline, deadline. Aku udah bilang, nulis novelnya siang atau sore, jangan malem."
"Lah, kemarin kan abis ngerjain tugas."
"Tugas? Tugas apaan?" Dia nanya.
"Masa lupa?" Aku nanya balik.
"Apa, sih? Aku ga ngerasa kemarin kamu ngerjain tugas. Lagian, kemarin ga ada PR, kok."
"Ada,"
"Apa?" tanya Lutfi.
"Apanya?" Aku ikutan nanya.
"Gilang!" bentaknya.
"He," Aku ketawa.
"Ngomong, ih...."
Aku meraih tas di sisi kiri meja, membuka resletingnya dan mengambil sebuah buku bersampul wajah kartun wanita berhijab. Lalu menyerahkannya ke Lutfi.
"Buku baru?" tanyanya.
Aku ngangguk setuju.
"Muslimah Sejati," katanya membaca judul buku. Kemudian membuka isinya.
Aku cukup khawatir ketika dia diam di bagian kata pengantar. Aku takut barang kali dia tidak setuju kalau buku itu khusus aku persembahkan kepadanya yang mungkin saja nanti bakal jadi ketua keputrian. Dan kekhawatiranku tidak berlaku setelah melihat wajahnya berubah: senyum.
"Jadi ini khusus buat aku?"
Aku ngangguk.
"Makasih," ucapnya dengan senyum pada wajah cantiknya.
"Sama-sama, semoga cocok dan semoga suka."
Dia ngangguk, melanjutkan membaca isi buku meski sekilas-sekilas. Lalu kembali menatap aku. "Aku suka, isinya tips-tips tentang wanita. Ada yang berdasarkan Al Qur'an dan hadits, ada yang berdasarkan kesehatan, ada yang berdasarkan psikolog. Aku suka."
"Alhamdulillah,"
"Kok bisa bikin beginian?"
"He,"
"Sumbernya dari mana?"
Aku memandang ke arahnya dalam dan melempar senyum.
Merasa mengerti maksudku, dia bertanya memastikan. "Aku?"
Aku ngangguk.
"Masa?"
"Iya,"
"Aku ga suka kamu bohong, lagi."
Aku meraih ponsel pintar dari dalam saku ransel biru kehitaman milikku. Menekan-nekan tombolnya hingga menghasilkan bunyi. Itu adalah rekaman percakapan aku dengan Lutfi.
"Ih!" Dia merebut ponsel pintarku. "Ngapain coba direkam?"
"Buat pengingat,"
"Apa coba maksudnya?!"
"Omonganmu itu penting, mesti dicatat biar ga mubazir."
Dia menggumam dengan ekspresi sebal.
Aku ketawa melihat tingkahnya yang mirip bocah TK.
"Tapi, aku suka, he he he...."
"Alhamdulillah, semua kerja keras terbayar lunas." kataku.
Dia ngangguk. Kembali membaca buku buatanku. "Jadi, novel Assassin-nya belum selesai?" tanyanya tanpa menghadap wajah ke arahku.
"Belum, soalnya bikin buku itu dulu."
"Berapa lama bikin ini?"
"Dua minggu,"
Lutfi menatapku terkejut. "Cepet amat?"
"Iya, ga nyangka bikin buku begituan ternyata gampang." kataku bingung sendiri.
"Ya iyalah. Novel yang kayak Assassin itu katamu butuh banyak materi. Bahasanya juga tinggi, sulit dipahami buat orang umum. Kayak cuma buat penggemar berat novel." jelasnya berargumen.
Aku ngangguk setuju. "Makannya dikasih deadlin lama. Tapi tetap aja, aku harus nyetorin minimal lima bab setiap bulannya."
"Semangat, ya?" kata Lutfi akhirnya. "Aku suka kok kamu bikin novel Assassin, kan ngungkap sejarah kemerdekaan Indonesia juga."
"Serius?" Aku nanya memastikan.
Dia ngangguk. "Tapi lupa judulnya, he he he."
Aku mendengus. Namun bilang juga: "Assassin's Creed - Resistance."
"Oya ya, yang perlawanan kan?" Dia nanya namun matanya sibuk membolak-balikkan buku Muslimah Sejati.
"Iya," Aku jawab.
Sekitar dua menit kami saling diam, Lutfi mendadak meminta aku untuk membaca bagian yang dia tunjuk.
"Baca," pintanya.
Aku meraih buku itu, lalu membacanya. "....pertengkaran, tidak selalu menjadi perusak hubungan. Kadang kala, pertengkaran juga memberikan bumbu-bumbu baru dalam percintaan, membuat hubunganmu dengan pasangan makin berwarna. Namun, hal yang lumrah dilakukan pria saat bertengkar adalah menyerah, padahal itu adalah sesuatu yang paling dibenci wanita.—"
"Denger ga?" Lutfi nanya menyerobot.
"Ha?" Aku nanya balik.
"'Menyerah adalah sesuatu yang paling dibenci wanita.' Jadi, kalau nanti ada masalah apapun, kamu ga boleh nyerah, oke?"
Aku terkekeh mendengarnya. "Iya,"
"Janji?" pintanya sambil menjulurkan jari kelingking.
Aku segera melingkarkan jari kelingkingku pada jari kelingkingnya, tanda janji disetujui sambil berkata: "Aku janji!"
Lutfi kembali senyum, dan memintaku untuk melanjutkan membaca.
"Pertengkaran yang terjadi dalam suatu hubungan, wanita akan meluapkan kemarahannya selama lima menit, dan selebihnya adalah ngambek.—"
"Nah, nah, nah...." ujar Lutfi kembali memotong kalimatku. "Itu kamu yang bikin, loh."
Aku menyeringai. Merasa bingung dengan buku buatanku sendiri. Memang, aku sering tidak percaya dengan buku-buku yang sudah kubuat kalau itu adalah buatanku. Maksudku, isinya sangat bagus. He.... memuji diri sendiri.
Tapi, aku yakin, kalian yang sudah baca karya Danu Banu pasti setuju denganku. Pokoknya kalau tidak setuju berarti kalian cuma Iri! He....
"Di situ juga ditulis, kalau wanita suka diperjuangkan, suka dikejar, suka dimanja, suka diberi perhatian, dan suka diberi kejutan." tambah Lutfi. "Dan, setiap ada masalah apapun, wanita ga salah. Yang salah lakinya, karena ga bisa jaga situasi biar tetep harmonis."
"Terus, kalau wanitanya salah?" Aku nanya.
"Ya tetep, yang salah lakinya, ga bisa ngasih tau yang bener duluan, sih, jadi wanitanya salah." Dia menjelaskan.
"Gitu, ya?"
"Iya, dong!" ujarnya bersemangat.
Sedang aku cuma garuk-garuk kepala.
"Sekarang, kamu harus bawa buku ini. Nanti aku beli bukunya sendiri."
"Lah.... kan ini surprice buat kamu."
"Yang lebih penting malah kamu! Kamu harus kuasai tuh semua isinya, biar bisa jadi suami idaman."
Aku terkejut mendengar kalimatnya barusan. Dan karena melihat aku terkejut, Lutfi juga melakukan hal serupa. Seakan baru sadar apa yang sudah dibilang olehnya.
"He," Aku ketawa.
"He he he," Lutfi juga.
🌹🌹🌹
iii
Mengingat memori masa itu, sungguh hatiku merasa ngilu, mengingat bahwa aku tidak bisa melakukan segala hal yang sudah kutulis, yang mana tulisan itu dapat dibaca orang-orang dari berbagai kalangan.
Aku malu kepada diriku sendiri yang masih belum mampu menjadi suami idaman, sebagaimana keterangan dalam buku Muslimah Sejati yang telah kutulis.
Dan, mungkin saja, sesuai apa yang Mamah bilang, hal itulah yang membuat Lutfi pergi, hal itulah yang membuat Lutfi memberiku ujian, hal itulah yang harus kutebus secepatnya dengan terus berjuang mencari di mana dirinya, dengan terus mengejar-ngejar informasi di mana dirinya, dengan terus mencari keberadaan dirinya.
Aku merintih, bersama buku Muslimah Sejati. Merasakan kerinduan yang menggebu, kekhawatiran yang memuncak, dan kegelisan yang tiada menentu.
Kini, aku berpindah ke meja kerjaku. Menyiapkan selembar kertas dan bolpoin di mana di sisinya tetap ada buku Muslimah Sejati. Aku menatap tajam barisan biru di dalam kertas, kemudian mulai menarikan pena di atasnya, hingga membuat sebuah puisi:
"Pergi"
Berlalu, lenyap, hilang
Tak lagi datang, tak lagi kembali
Meski menunggu sekian lama
Rumus hidup memang begini
'Jika berjumpa, bersiaplah berpisah'
Apakah kau begitu?
Meski kau adalah kekasihku?
Kepergianmu sangat menyakitkan
—Gilang, 2018