i
Pagi itu, selepas pulang dari masjid untuk melaksanakan shalat Subuh, aku melihat notifikasi di ponsel pintarku. Itu adalah email dari Lutfi Eka, teman aku dan Lutfi sewaktu kuliah.
Kubuka isi pesannya.
"Aku belum ketemu Lutfi sampe sekarang, nanti kalau aku ketemu sama dia. Aku bakal hubungi kamu lagi. Oya, ini nomor-nomor temen kelas PGMI-A yang aku punya."
Di bawahnya tertera tiga puluh nama dengan nomor-nomornya.
Segera aku membalas pesan: "Makasih buat bantuannya." Kemudian menyimpan nomor teman-teman sekelasku dulu. Lalu mengirimkan pesan yang sama, dengan maksud menanyakan apakah mereka pernah bertemu dengan Lutfi belakangan ini, dan kalau mereka ketemu Lutfi aku meminta mereka untuk segera mengabariku, SECEPATNYA!!!
Kebanyakan dari mereka membalas dengan singkat: Oke.
Dan sebagian besar, khususnya yang wanita, menanyakan apakah ada masalah dan lain sebagainya. Tapi aku cuma menjawab: "Kami lagi main petak umpet."
Konyol memang, tapi aku yakin dengan jawaban itu mereka tidak akan lagi bertanya banyak hal kepadaku. Tentu saja, mereka akan malas menanyakan kejadian sebenarnya kepadaku dan akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi sebenarnya. Dan memang, bagiku, menjelaskan kepada mereka satu per satu hanya akan membuang-buang waktuku untuk mencari informasi kepada teman yang lain. Lagi pula, Lutfi Eka sendiri sudah paham tentang permasalahanku, semoga saja dia menjelaskan kepada mereka, teman sekelasku dulu di bangku kuliah.
Aku mengganti pakaianku, dan mulai memanaskan mesin motor. Hari ini, aku harus benar-benar dapat informasi tentang Lutfi, entah bagaimanapun caranya.
Selain karena rasa rindu, khawatir, dan takut yang berkecambuk tidak keruan dalam dada; dua hari lagi, kami—aku dan Lutfi—harus menghadiri rapat yang diadakan di Jakarta. Itu adalah rapat untuk membahas buku baru kami, yang sampai detik ini aku masih belum bisa memutuskan kisah seperti apa yang akan kubuat.
Kata editor lamaku, Pak Zurri, rapat itu bakal diikuti oleh pimpinan penerbit, pimpinan pemasaran, dan Direktur perusahaan. Jadi, aku sangat dilarang untuk membuat kekacauan dengan sengaja tidak hadir, atau datang tanpa membawa hasil.
Dia juga mengatakan, karena kontrak yang sudah kutandatangani, bagaimanapun aku harus bisa menyelesaikan buku kolaborasiku dengan perusahaan dua bulan mendatang. Jika tidak, aku harus bersiap mengganti rugi dengan membayar denda sampai Rp. 50.000.000,-.
Ah, aku merasa angka nol itu kebanyakan. harusnya tiga saja, jadi sama dengan harga pop ice di warung pinggir jalan.
Awalnya, aku pikir, jatah membuat buku selama dua bulan adalah hal yang mudah, dan sering kulakukan, terlebih dengan adanya Lutfi sebagai editorku, isi buku yang kubuat jadi lebih menarik dan cepat selesai digarap.
Namun sekarang, kenyataan itu berubah seperti kemustahilan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan tidak akan bisa kutiru di masa depan.
Menghilangnya Lutfi tanpa jejak membuat hidupku benar-benar kacau. Bukan hanya masalah pekerjaan, tentunya juga masalah hati yang sudah kalian baca pada dua bab sebelumnya.
Ponsel pintarku berdering, menampilkan sebuah nomor baru. Awalnya aku berpikir itu adalah nomor tukang tipu yang sedang marak dibicarakan orang-orang. Menelpon pagi-pagi atau malam-malam, ngasih tahu kalau dapat hadiah istimewa dan harus mengirim uang muka sekian ratus ribu atau sekian juta ke nomor rekening yang disebutkan. Jadi aku merejectnya.
Namun, nomor itu kembali menghubungiku, dua, tiga, dan empat kali. "Ini maling berani amat." gerutu hatiku.
Pada telfonnya yang kelima aku menerimanya.
"Halo," sapaku.
"Kenapa dimatiin terus?!" seru suara di sana.
"Siapa, ya?"
"Najib,"
"Oooh.... iya Jib. Kirain yang telpon tukang tipu."
"Makannya, lain kali dipastiin dulu. Jangan main ngereject telfon!"
"Maaf, maaf. Ada apa? Tumben telfon." Aku nanya.
"Aku dapet kabar dari Ferizal, katanya kamu abis tunangan, apa bener?"
"Iya," jawabku.
"Pst! Sembarangan banget yakin, masa aku ga diundang?!" Dia menggerutu.
"Tunangan cuma sama keluarga. Nanti kalau nikahan, pasti aku udang."
"Janji, loh?!" desaknya.
"Iya," jawabku cepat. "oya, Jib—"
"Aku tau," serobotnya. "Ferizal udah cerita semuanya."
Aku menggumam. "Tau darimana dia?"
"Dewi. Tohirin juga udah tau. Aku nelpon kamu cuma buat mastiin, bener ga kalau Lutfi ilang."
"Bener," kataku lesu.
Kudengar dia menghela napas. "Aku bakal nyari di sekitar Cilacap sampai Pangandaran. Nanti kalau aku liat, aku bakal telfon lagi."
"Makasih, Jib."
"Tohirin sama Irkham katanya mau nyari lagi di sekitar Purbalingga. Ferizal juga mau muter-muter Patikraja."
Aku merinding, merasa sangat terbantu dengan pertolongan mereka, teman masa-masa aku menjadi seorang santri di Pondok Pesantren Al-Qur'an Al-Amin, Purwokerto yang diasuh oleh Dr.K.H. Ibnu Mukti, M.Pd..
"Hari ini, kamu mau nyari ke mana?"
"Cilacap, kayaknya."
"Ga usah!" ujarnya. "Cilacap ada Dewi. Temen-temenku juga beberapa ada yang kerja di pantai-pantai Cilacap."
"Oh gitu, emang Dewi belum balik ke NTB?" Aku nanya, mencoba antusias, sekaligus mengurangi rasa bersalahku merepotkan mereka.
"Belum, lagi nyari calon kayaknya. Ha ha ha...." Dia tertawa. Tapi bagi telingaku, tawa itu hanya mencoba untuk mencairkan suasana. "Ya udah, pokoknya kamu ga usah ke Cilacap, apalagi ke pantai-pantai, udah banyak yang mau ke sono."
"Iya, makasih Jib."
"Ya sama-sama Bro. Teman kan emang harus saling bantu."
Sekali lagi, hatiku tergugah mendengar omongannya.
"Ya udah, gitu aja. Aku pamit ya?"
"Iya,"
Aku menutup telfon setelah menjawab salam Najib.
Hatiku merasa sedikit lega, karena teman-teman lamaku mau menyusahkan dirinya untuk membantuku mencari di mana Lutfi berada, meski aku merasa sangat tidak enak membuat mereka kerepotan.
Tapi bagaimanapun, sekarang ini, aku memang membutuhkan pertolongan mereka, karena sejatinya manusia diciptakan dengan jiwa sosial, yakni membutuhkan keberadaan orang lain. Sekalipun mereka bersifat introvert, atau bergolongan darah AB.
Sebagaimana diriku yang dari awal adalah manusia bersifat introvert dan memiliki golongan darah AB, tetap membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup ini.
Dulu, sewaktu SD, saking takutnya dengan orang lain, saat guru kelas waktu itu melakukan absen demi mengenal siswanya satu persatu, saat giliranku tiba, namaku dipanggil, aku langsung menangis dan berlari keluar kelas secepat mungkin untuk segera berlindung di balik pelukan Mamah. Itu bukti, bahwa aku membutuhkan orang lain untuk tempatku berlindung.
Aneh memang, tapi hal itu benar-benar terjadi.
Berlanjut ke masa SMP. Aku dikenal sebagai siswa kagetan, karena selalu terkejut saat namaku dipanggil. Dan hanya sedikit memiliki teman dekat. Ya sedikit, cuma satu. Namanya Andi Wibowo, anaknya Bapak Saliyo. Itu yang kuingat dari dulu sampai sekarang. Semoga dia tidak benci kepadaku. He....
Meski menjadi ketua ekstrakurikuler pencak silat, aku tetaplah diriku yang introvert. Sangat membenci ketika harus menjelaskan dan menunjukkan beragam gerakan dasar kepada anggota-anggota baru.
Pernah suatu ketika aku harus menunjukkan gerakan kuda-kuda di depan seluruh siswa SMPN 2 Wangon demi memamerkan ekstrakurikuler pencak silat saat acara MOS. Dan saat itu, saat seluruh mata terpusat kepadaku, aku diam mematung sampai kemudian pingsan karena saking takutnya dilihat banyak orang, karena saat itu tidak ada Mamah yang bisa kupeluk untuk berlindung.
Bukan cuma itu, tapi masih banyak kisah konyol lainnya. Dan sepertinya aku tidak perlu bersombong dengan kekuranganku.
Namun bagaimanapun, aku yang seorang introvert, yang seorang AB tetap membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup ini. Seperti aku yang sangat membutuhkan Lutfi dalam hidupku, demi membuatku nyaman, demi memperlancar urusan pekerjaan, dan demi mendapatkan keturunan. He....
Aku mengunci pintu rumah, kemudian menjalankan motorku menuju Ajibarang, rumah Lutfi. Berharap kalau dirinya sudah kembali ke rumah.
"Semoga kau sudah pulang, sayang."
🌹🌹🌹
ii
Aku sampai di rumah putih bertingkat milik Bapak Chudori yang terletak di Jl. Masjid Miftahul Huda Gerumbul Kalilepa Desa Pancurendang Kecamatan Ajibarang.
Aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Sekali, dua kali, dan tiga kali. Tetap tidak ada jawaban.
Aku menyerah, lalu duduk di teras dengan kepala menunduk. Menghiraukan setiap orang yang berlalu lalang di depanku.
Bukan maksudku untuk dengan sengaja tidak mencoba untuk bertanya kepada mereka. Saat aku baru saja melihat ke arah mereka, mereka buru-buru pergi dengan tangan melambai sambil menunjukkan ekspresi takut.
Apa yang terjadi? Gosip apa yang sudah menyebar di kalangan mereka? Apa mungkin mereka benar-benar disuruh tutup mulut untuk menyembunyikan keberadaan Lutfi? Tapi kenapa?
Aku bangkit, menghadap rumah yang banyak memberikan kenangan untukku bersama Lutfi, yang mana seluruh pemilik rumahnya menghilang tanpa jejak.
Apakah ini memang sihir? Ataukah ada ruang rahasia? Atau memang ini adalah sebuah ujian yang harus kuselesaikan?