i
Sore itu di hari Minggu tahun 2018.
Aku duduk termenung menghadap rawa di tengah-tengah pematangan sawah. Burung berkicau ria bersama gosip orang-orang yang mungkin sudah melihat aku mematung lebih dari dua jam.
Telingaku banyak mendengar mereka membuat beraneka hipotesis yang kebanyakan adalah benar: "Palingan lagi galau."
Tapi tak ada satupun dugaan mereka atas penyebab dari kegalauan yang kurasakan benar. Secara umum mereka menebak kalau aku baru saja putus, atau diselingkuhi, atau ditolak, atau bingung bayar cicilan, atau bahkan bingung bayar hutang.
Itu tidak benar, dan tentu saja itu salah. Aku galau karena kekasihku menghilang. Bukan karena orang baru atau orang ketiga. Bukan karena hubungan yang berakhir. Bukan juga karena dia bosan denganku.
Dia, kekasihku, hilang, lenyap seperti baru saja menerima sihir yang luar biasa. Layaknya film fantasi yang sering kutonton. Dia, kekasihku, menghilang tanpa jejak seperti seorang agen rahasia yang sukar terdeteksi. Layaknya film detektif yang sering kami tonton.
Tapi bagaimanapun, di ujung kedua film tersebut, bahkan semua film yang dibuat oleh manusia di muka Bumi ini, selalu ada alasan dari kepergian: "Tidak lagi cinta, atau sedang menguji cinta." Dan hal itulah yang terus membuat otakku bekerja untuk mengulas kembali arsip-arsip memori masa lampau demi mencari tahu alasan kepergiannya.
Mungkin, kalau saja kisah pada game adventure—Assassin's Creed—yang sering kumainkan ada di dunia nyata, tentu saja aku bakal menggunakan Animus untuk terjun secara langsung ke masa lampau demi mencari tahu penyebab kepergian kekasihku yang terjadi hari ini. Sayangnya, itu hanya ada pada kisah fiksi, atau kenyataan yang belum diketahui.
Kalau saja ingatanku kuat, kalau saja ingatan pria sekuat wanita, dan kalau saja ingatan seperti hardware atau software. Aku, pasti sudah tahu alasan kepergiannya.
Namun, Tuhan menakdirkan ingatanku, ingatan para pria, lemah. Bahkan tak sekuat ingatan kerbau, yang selalu ingat siapa tuannya, yang selalu ingat arah ke mana mereka harus pulang, yang selalu ingat gerombolan mereka.
Ngomong-ngomong soal kerbau dan ingatannya, tentu saja itu membuatku iri. Tapi tidak untuk bentuk tubuh dan warna kulit. Ya, pastinya akan sangat mengerikan kalau ada manusia kerbau, kecuali di film Sun Go Kong. Manusia kerbau di film itu tampak gagah dan sangar, meski ujung-ujungnya jadi penjahat yang harus dibunuh.
Oke, lupain soal manusia kerbau. Ini kisahku yang sedang kehilangan seorang kekasih bukan kisah kera pengantar kitab suci.
Angin berdesir, memberi jalur udara bagi dedaunan dan bunga-bunga yang gugur, yang salah satu di antaranya jatuh dan hinggap pada tanganku. Kutatap ke arah Bunga Daffodil dengan mata malas. Kuning cerah, itu adalah salah satu warna yang dulu sangat kutakuti, dan untungnya phobiaku terhadap warna kuning telah berkurang seiring berjalannya hubunganku dengannya. Dia, kekasihku.
Aku masih menatap dalam bunga kelahiranku sambil sesekali membuka memori masa lampau.
Dulu, sekitar tujuh tahun yang lalu, di Bukit Cinta Purbalingga, aku akan sangat merasa kesusahan berada di sana karena di seujung jalan banyak tumbuh pohon bunga Daffodil. Membuat aku harus berulang kali merasa tegang akibat takut kepada warna kuning.
Tapi, selanjutnya, dengan sangat sabar Lutfi mengajariku untuk tidak lagi takut terhadap warna kuning. Memasak sayur-sayuran yang berwarna kuning seperti sayur putren, makan buah berwarna kuning seperti buah pir, memakai baju-baju kuning, dan masih banyak lagi yang dilakukannya; dengan maksud menghilangkan phobiaku.
Hal-hal yang dilakukannya itu cukup efektif, terlebih setelah dia memberitahu kalau Bunga Daffodil adalah salah satu bunga khas bulan kelahiranku—Maret—rasa takut akan warna kuning mereda, tidak se-hyper sebelumnya.
Menurutnya, setiap manusia mesti menyukai semua warna yang ada di dunia ini meski telah menetapkan satu warna yang disukai. Dan memang, aku setuju akan hal itu. Tentu saja, Tuhan menciptakan beragam warna dengan maksud tertentu. Jadi, sebagai makhluk yang beriman dan ber-Tuhan sudah sepatutnya menerima segala hal yang telah diciptakan oleh Sang Pencipta.
"Woy!" bentak pemuda mengejutkanku. "Ngalamun terus."
Aku menatap dia yang memandang ke arahku, "Oh, Zaqi." Lalu kembali kepada Bunga Daffodil. "Gimana kabar?"
"Kamu nanya kabar ke aku apa ke bunga?"
Aku menghela napas, kembali menghadap pria berwajah segi lima dengan kumis tipis dan jenggot pendek. "Ada kabar buruk."
"Aku tau." Dia menepuk pundakku dengan tangan kirinya. "Baim udah cerita tadi siang."
"Ah, kamu emang selalu updet." kataku lesu.
"Udah nyari ke mana aja?" Dia nanya.
"Kampus, pondok, Balaikemambang, Andhang Pangarenan, Terminal Bulupitu, Bioskop, alun-alun.... pokoknya semua tempat yang biasa buat kami main." Aku menjelaskan.
"Nitip selebaran juga?"
Aku ngangguk.
"Bendungan Kali Serayu, udah?" tanya Zaqi.
"Udah." jawabku.
"Keluarga yang di Wangon?"
"Udah. Sama, ga ada yang mau ngasih tau."
"Berarti emang ga diculik." ujarnya.
Aku ngangguk lagi, kali ini dengan napas berat.
"Emang ada masalah apa, sih?"
Aku menjawab tidak tahu dengan isyarat.
Zaqi menggumam. "Aku udah nelpon ke temen yang jaga pantai Cilacap, nanti kalau dia liat Lutfi, dia bakal langsung telfon aku."
"Makasih Zaq,"
Dia ngangguk. "Udah ngomong ke Hilmi? Dia kan di Jogja, siapa tau Lutfi ke sana."
"Udah. Ke Basuki juga udah."
"Oooh.... kerja di mana dia?"
"Bandung."
"Hmmm.... yang bagian Jakarta udah?"
"Udah, ke Galih sama Puryono sama temen-temen Paytrennya."
"Paytren?" Zaqi nanya.
"Iya, yang bisnisnya Ustadz Yusuf Mansyur, itu."
"Oh ya ya." jawabnya. "Jadi emang ga ada masalah apa-apa?"
Aku menggeleng.
"Lah, kok bisa ilang? Katanya kalian abis tunangan?"
Aku mengangkat tangan kiri, menunjukkan sebuah cincin yang melingkar pada jari tengah. "Aku beneran ga tau Zaq."
"Lutfi ga lagi deket sama cowok?"
Aku menggeleng. "Kamu tau sendiri kan, kami sering tuketan hp. Abis itu, kalau aku ga datang, dia ga bakal bisa keluar rumah."
"Ya.... siapa tau, dia lagi deket cowok lain makannya ngilang kayak gini."
Aku menghela napas. "Kalau emang dia lagi deket sama cowok lain, buat apa dia nerima lamaranku coba?"
"Ya, mungkin aja ga tega nolak kamu."
Aku mendengus. Berpikir kalau omongannya barusan ada benarnya.
"Temenin makan, yuk?" ajaknya.
"Ha?" Aku nanya memastikan.
"Iya, temenin aku makan."
"Ga selera." jawabku.
Tentu saja aku tidak selera untuk makan. Seluruh otakku masih dipenuhi kegelisahan atas kondisi Lutfi. Di mana dia? Apa dia sehat? Apa dia sudah makan? Apa dia sudah minum? Apa dia sudah mandi? Apa dia sudah berak? Dan sebagainya.
Oke, lupain pertanyaan terakhirku.
Manusia mana yang tetap selera makan sedangkan kekasihnya menghilang tanpa jejak, tanpa alasan yang jelas?
Ya, jika kau salah satu manusia yang bertipe tetap makan meski kekasihmu hilang, mungkin saja cintamu belum sungguh-sungguh kepadanya, atau mungkin saja cintamu sudah sangat serius tapi dirimu emang doyan makan. Dasar rakus!
"Ayolah, bentar tok. Kamu juga belum makan dari tadi pagi, kan?"
"Mamah cerita, ya?" Aku nanya.
Zaqi meringis, dan kembali mengajak aku makan.
Merasa risih dengan perlakuan Zaqi, aku bangkit dan memberikan alasan agar bisa lolos dari ajakannya. Dan tanpa kusadari alasan itu benar-benar konyol. "Eh bentar, Lutfi SMS kalau dia udah ketemu. Aku pergi dulu, ya?"
Aku tahu kalau Zaqi tahu kalau aku berbohong. Aku bisa menilai dari caranya berekspresi. Kening berkerut, alis diangkat, mata jijik—seperti melihat orang buang ingus tapi ga bisa lepas, dan bibir mengkerut. Ya, itu cuma pandanganku kepada Zaqi bukan maksudku menghina kalau mukanya jelek. Tidak. Tentu saja tidak. Mukanya tampan, kok, tapi sedikit.
Dan kekonyolanku baru kusadari setelah aku melajukan kendaraan bermotorku. Mana ada orang yang hilang menemukan dirinya sendiri? Ah, aku emang payah buat bohong. Tapi, ngomong-ngomong soal bohong rasanya aku ingat sesuatu.
🌹🌹🌹
ii
Sewaktu aku masih duduk di bangku kelas X-11 SMAN Purwokerto di mana aku bisa puas memandang wanita yang duduk tepat di sisi kananku. Aku melakukan kesalahan fatal dengan membohonginya.
"Kenapa belum ganti?" tanya Lutfi. Dia mengenakan kaos olahraga panjang berwarna biru muda dengan kerudung langsungan yang senada.
Aku senyum. "Penulis kan ga suka olahraga."
"Bohong."
"Ha?"
"Kamu kan dulu jadi ketua silat HMS."
"Kok, tau?" Aku nanya.
"Jelas. Apa sih, yang ga Lutfi tau? He he he," Dia jawab.
"Aku percaya." kataku.
"Ya udah, sana ganti dulu."
Aku menggeleng, lalu membenamkan kepala ke dalam tangan. Memposisikan diri tidur.
"Jangan tidur!" serunya menarik lenganku.
Aku bangkit dengan malas. "Aaah.... ga mau olahraga."
"Eleeeh.... ga mau olahraga, bajunya udah dipake duluan."
Aku tercekat mendengar omongannya. "Emang keliatan?"
Dia ngangguk. Menunjuk lengan baju olahraga yang melebihi lengan seragam OSIS. Kemudian menjewer telingaku.
"Aduh!"
"Makannya, ga usah bohong!" kata Lutfi sambil menepuk pundak kananku.
"Iya, iya. Maaf."
"Udah, pokoknya ganti dulu sana. Aku tunggu."
Aku bangkit dan melangkah perlahan menyusuri meja, keluar kelas.
"Tunggu!" panggil Lutfi menghentikan langkahku.
Aku membalik badan, menghadap ke arahnya.
"Kita ke UKS."
"Ha?"
"Kita ke UKS, sekarang!"
"Ah, iya."
🌹🌹🌹
iii
Di UKS aku diminta duduk di kursi.
"Lepas sepatunya." katanya memerintahku.
"Kenapa?" Aku nanya.
"Sepatunya lepas!" ujarnya dan menarik sepatuku sampai lepas. Lalu terkejut setelah melihat darah yang mentes ke lantai UKS dari dalam kaos kakiku. "Kenapa?" Dengan sangat perlahan Lutfi menarik kaos kakiku.
"Udah, ga papa."
Dia bangkit, mengambil kain dan baskom berisi air. Kemudian mencuci kakiku.
Aku merintih berulang kali menahan perih pada luka yang dibasuhnya. Itu masih baru, sangat baru. Dan belum sempat untukku mengobatinya agar tidak telat saat menjemput Lutfi tadi pagi.
Dan sakit itu makin berlipat saat Lutfi menekan kakiku kuat-kuat, berusaha mengambil benda yang menancap pada daging kakiku. Aku tidak bereaksi. Berusaha tidak bereaksi. Hanya memejam mata, menggigit bibir, dan berusaha tidak menghasilkan gerak sesentipun agar tidak menyusahkan dia.
"Beling," katanya sambil menunjukkan benda bening nan tajam itu ke arahku.
"Ah, ya...." Aku kehabisan kata-kata karena energi yang terkuras cukup banyak, sekaligus merasa bingung. Dari mana dia tahu.
Lutfi bangkit, dan membawakan baskom dengan isi air yang baru, lalu membasuh kakiku dari noda-noda darah. Kemudian melapisi sobekan kakiku dengan pensteril yang entah apa namanya. Menutup lukaku dengan kain dan mengikatnya dengan perban.
"Minum dulu," katanya sambil menyuapiku.
Aku menuruti perintahnya. Kupandang ke wajah wanita yang kucinta. Pandangannya lesu, bibirnya pucat, badannya juga terasa jauh lebih dingin. Seperti baru saja dia melakukan sesuatu yang sangat mengerikan baginya.
Ya, benar! Tentu saja melihat darah adalah hal yang mengerikan bagi seorang wanita, terlebih jika itu berasal dari luka orang yang dicintainya.
Ah, rasanya aku benar-benar payah karena telah membuatnya kerepotan begini.
"Maaf," kataku.
"Ga papa," katanya. Dia duduk di sisiku dan menggenggam erat tanganku.
Aku yakin, dia masih merasa takut atas kejadian barusan. "Minum dulu," pintaku sambil memberinya gelas minun yang tak habis kuminum.
Dia menurutinya, lalu menyimpan benda itu di atas meja.
"Makasih,"
"Sama-sama," jawabnya lemas.
"Kenapa bisa tau?"
Dia senyum. "Apa yang ga aku tau dari kamu?"
Aku senyum. Merasa sangat bahagia memiliki dan dimiliki olehnya.
"Lain kali, jangan bohong. Aku ga suka."
"Bohong?"
Dia ngangguk. "Bohong males ikut olahraga, ga suka olahragalah, inilah, itulah, padahal mau ngobatin luka."
"He,"
Lutfi menepuk pundak kiriku. "Dasar!"
"Sebagai bayarannya, nanti mampir." kataku berusaha bertanggungjawab.
"Harus!" tegasnya membuatku senang. Senang karena dia masih mau berlama-lama denganku.
"He.... mie ayam?" Aku nanya.
"Iyalah!" Dia jawab.
"Yang pedes?"
"Iya, sambelnya sepuluh sendok."
"Emang kuat?"
"Kuat dong, emang kamu?" Dia nanya tapi ngejek.
"Aaah.... Raja Tidur emang ga berkutik di hadapan Ratu Absen."
"He he he," Dia ketawa.
"He," Aku juga.
🌹🌹🌹
iv
Itulah kebohongan yang sangat kusesali, yang mana harus membuat Lutfi kerepotan dan hampir pingsan, yang mana kebohongan seperti apapun bentuknya tetap akan diketahui kebenarannya oleh Lutfi. Tapi, itu semua tidak berlaku jika tidak adanya dia di hidupku.
Maksudku, aku bisa berbohong karena tidak adanya dia, karena dia menghilang, dan karena aku harus tetap berusaha tegar di hadapan orang lain. Aku tidak ingin ada orang yang melihat aku menangis, apalagi menghapus air mataku selain Lutfi.
Aku sudah besar, pria dewasa berumur 21 tahun dan akan bertambah di pertengahan bulan Maret mendatang. Sudah sepantasnya seorang pria kuat, tahan banting, dan tidak gampang nangis.
Meski aku tidak yakin, sampai kapan aku bisa bertahan dalam kondisi ini, kondisi kehilangan kekasih tanpa kutahu penyebab kepergiannya.
Di atas motor yang melaju dalam kecepatan sedang, aku menatap ke arah bunga kelahiranku. Bunga Daffodil. Bunga yang banyak menyimpan kenangan masa lalu, masa-masa aku bersama dengannya, dia, kekasihku, Lutfi Nurtika. Yang kini entah di mana.
Dan tanpa sadar, air mata melintasi pipiku.
"Lutfi, kamu ke mana?"