Pelabuhan Istanbul, Turki.
Angin berdesir manja. Mengirimkan aroma musim kemarau kepada setiap insan di hamparan pelabuhan paling megah di negara ini. Selain dedaunan yang berjatuhan, siulan burung-burung, seruan kapal-kapal, gemuruh para pegawai yang menyeret kargo ke gudang-gudang terdekat, ada juga warna-warni dari pantulan cahaya mentari berjajar rapi dan membentuk setengah lingkaran yang tiada kutahu di mana ujung keduanya.
Aku menengadah kepala. Mengirup napas panjang. Berusaha merasakan udara dengan seluruh tubuhku—mungkin sudah kau rasakan beberapa hari sebelum aku tiba di tempat ini. Entahlah, aku tak tahu, pun tidak dapat menebak apapun tentangmu. Setidaknya kukatakan sekarang, kau mungkin lebih aneh dari zaman aku SMA dulu.
Aku ingat, ketika kau memanggilku dengan julukan Raja Tidur, itu cukup memalukan memang. Dan, mereka tidak salah akan hal itu, karena aku memang selalu tertidur setiap pelajaran dimulai, bahkan di luar waktu tersebut. Jadi, aku merasa tidak masalah dengan julukan itu.
Kembali aku memandangi ketujuh warna yang menghiasi langit biru. Sungguh, rasanya aku seperti pernah mendegar sesuatu tentang pelangi darimu. Terus kucoba mengingat kejadian sebelumnya, namun tiada hasil. Yah, entah kenapa laki-laki diciptakan lebih pelupa daripada perempuan.
Perlahan kakiku bergerak menuju sebuah kursi kosong yang menghadapkan tuannya pada pelantaran sang laut. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku duduk bersandar sembari mata tetap tidak beralih pada pelangi.
"Pelangi, yah? Datang dan pergi begitu cepat, tapi dinanti sangat lama."
Menghembus napas. Kembali otak menampilkan sosok khayalanmu.
"Apakah kau tidak sepertinya, yang hadir dan indahnya hanya sesaat?"
Aku tersentak, setelah mengingat kejadian itu.
🌹🌹🌹
Sembilan tahun lalu.
Ketika aku dan kau duduk berjejer di rawa Situ Bamban sembari aku menikmati segelas es kelapa, tidak denganmu karena kau sedang kedatangan tamu bulanan. Rambutmu yang bergelombang karena diterpa angin sore tak kalah indah dengan pemandangan saat itu. Meski aku yakin, bagimu, aku hanya peduli pada minumanku.
Sekitar lima menit kita terdiam dan menikmati pandangan masing-masing hingga tiba-tiba pelangi muncul.
"Lihat, ada pelangi." kataku.
Kau hanya mengangguk dan tersenyum tanpa menghadapkan wajah padaku dan itu membuatku tak bisa berkata-kata, setidaknya aku bingung memikirkan topik pembicaraan yang tepat. Dan, aku terlalu terbelenggu di dalamnya hingga membuat suasana kembali hening.
Tak lama, bahkan tidak mencapai sepuluh menit warna-warni itu telah pudar dan kembali seperti sedia kala. Menatapmu, mencoba berkata sesuatu namun kulihat bibirmu bergerak. Jadi, aku memutuskan untuk diam dan mendengarkan kalimatmu.
"Aku ga mau jadi pelangi."
"Kenapa?"
"Hadir dan indahnya cuma sesaat."
"Oooh.... jadi kamu pengin terkenal?"
Kau mendadak memandangku tajam dengan eskpresi jengkel, membuatku berpikir aku kembali melakukan kesalahan. Namun ketika aku mau meminta maaf, kau mendadak berkata: "Aku lebih baik jadi awanmu."
"Awan?"
Mengangguk kemudian menengadah kepala. "Awan emang ga seindah pelangi, tapi selalu ada."
"Kaya kamu mau nemenin aku?"
Tak ada jawaban, yang kulihat kau hanya tersenyum. Melihat senyummu itu sungguh membuat jantungku tidak lagi bekerja normal.
Angin kembali berhembus seakan mengiringi nuansa romantis untuk kita, atau hanya bagiku seorang. Entahlah, aku tidak tahu apa-apa tentang perasaan yang disembunyikan. Tapi, sebenarnya aku lagi-lagi terbawa perasaan setelah kau mengatakan kalimat itu.
"Atau jadi angin juga boleh. Mengudara, untuk selalu menemani dan mendampingimu setiap waktu."
Aku tersentak hebat. Hanya terus terdiam saking bahagianya. Bahkan membiarkanmu melangkang cukup jauh hingga aku menyusulmu dengan motor matic warna merah dan memberimu tumpangan pulang.
🌹🌹🌹
Yah, itu memang kenangan indah. Hanya dengab membayangkannya saja membuatku makin dan semakin menaruh rasa yang teramat besar. Bagaimanapun, diriku ini memang tipe yang tidak akan menyatakan cinta jika orang yang disuka tidak memiliki rasa serupa. Lebih singkatnya, aku takut ditolak.
Ngomong-ngomong soal ditolak, aku jadi makin penasaran dengan semua hal yang terjadi padamu. Aku sungguh tidak menyangka jika kado ulang tahunku adalah buku diarymu. Sebuah harta yang bahkan tidak boleh kudekati bahkan dari jarak sepuluh meter selama sembilan tahun sebelumnya. Tapi, entahlah. Ini pemberianmu, dan aku belum pernah membukanya hingga aku menyusulmu ke Turki, negara yang sangat ingin kau kunjungi.
Tangan merogoh saku atas, meraih hadiahku. Tampak buku kecil berwarna pink khas untuk cewe remaja. Kubuka pengaitnya perlahan dengan 1001 perasaan berkecambuk dalam dada. Di otakku hanya terus mengulang pertanyaan, "Apa ga masalah kalau aku membacanya?" Tapi terus kulakukan hingga buku terbuka pada halaman pertama.
Jantungku makin berdetak hebat ketika kulihat tulisanmu yang begitu rapi nan menawan namun tetap tampak tegas seperti parasmu. "Akhirnya, akan kuungkap sebuah rahasia yang tidak pernah kutahu tentangmu."
Dermaga besar, 30 Maret 2019
Rizky Gilang Kurniawan
Lelaki yang terus merindukanmu,
Lutfi Nurtika.