Chereads / Gilangku (TERBIT) / Chapter 5 - 4. Dia Gilang

Chapter 5 - 4. Dia Gilang

i

Pagi sekali, aku sampai di sekolah pukul enam lebih seperempat. Waktu yang sangat awal bagi siswi yang selalu telat sepertiku.

Setelah meletakan tas dan buku-buku paket di atas meja. Aku bergegas menuju kantin sebelum banyak siswa yang nongkrong di sana.

Sampainya, aku langsung memesan nasi goreng dengan tambahan sambal serta segelas teh hangat. Memang, waktu itu aku belum sempat sarapan karena saking bahagianya bisa sampai lebih awal di sekolah.

Oya, saat itu aku sudah pindah sementara di kost khusus putri, tiga blok ke Utara dari Masjid Agung. Ya, sesuai isi pesan RT.

Sungguh, aku tidak menyangka, puluhan kost aku datangi bersama Ayah di hari Sabtu kemarin, tapi tidak ada yang cocok. Kebanyakan masih membolehkan tamu pria masuk, tak sedikit juga kost bebas. Sekali kami menemukan kost khusus putri, tempatnya jorok dan tidak keurus.

Dan ketika harapan mulai habis, karena sudah mengelilingi hampir se-Purwokerto dan mendekati waktu Maghrib. Ayah meminta untuk beristirahat dan shalat di Masjid Agung, di dekat SMAN Purwokerto.

Selepas shalat, entah bagaimana, kulihat Ayah sedang membaca selembar kertas di teras depan masjid, dan ternyata itu adalah surat dari RT.

"Kak, ini katanya ada kost khusus putri, dekat sini lagi. Kok, Kakak ga ngasih tahu dari awal?"

"Itu cuma surat iseng, Yah."

"Surat iseng dibawa-bawa." jawab beliau membuatku tak bisa berkata-kata.

Kakinya melangkah menuju gerbang masjid. Lalu kepalanya menengak-nengok seperti mencari sesuatu, dan kemudian kembali padaku. "Benar kok, ada papannya, Kak."

"Ta-tapi, Yah?"

"Cek dulu, ya?" kata Ayah sembari menyerahkan surat itu padaku.

Memang, aku sangat tidak enak karena membuat beliau kelelahan hingga sebegitunya. Jadi aku menyerah, dan mengikuti kemauan Ayah.

Sampainya, tiada disangka, semua sesuai harapanku. Pemilik kost yang juga tinggal di tempat itu, khusus pria hanya boleh bertamu di teras—memang Ibu kost sudah janda, dan tentunya selain dekat dengan masjid, tempatnya juga tidak jauh dari sekolahku sekarang. Hanya butuh waktu sekitar tujuh sampai sepuluh menit dengan berjalan kaki untuk sampai SMA.

Aku mendapatkan kamar paling dalam, sirkulasi udaranya bagus, pencahayaan juga cukup, bahkan bisa dibilang sangat cerah karena ada dua jendela besar. Kasurnya pedek, tanpa kaki. Sesuai harapanku. Disediakan juga almari, meja dan kursi untuk tiap kamar.

Di sana ada dua kamar mandi yang bersih. Ada juga tempat menyuci yang pengairannya berasal dari sumur dengan atap dari genteng kaca, jadi selalu terang. Selain digunakan untuk menyuci, tempat itu juga bisa untuk menjemur pakaian. Jadi tidak perlu takut kena hujan dan sebagainya.

Semua aman.

Pokoknya persis seperti rumah pada umumnya. Jadi bisa dibilang, secara tidak langsung aku menjadi anak asuh ibu kost untuk sementara waktu dengan memberikan biaya penginapan yang juga terjangkau.

Beberapa waktu kemudian, ketika aku selesai makan, Gyan muncul dan duduk di depanku. "Tumben berangkat gasik? Gasik banget malah."

"He he he."

"Dapat tebengan apa?"

"Engga!" seruku agak malu-malu. Aku juga tidak mengerti kenapa waktu itu aku bertingkah begitu. "Aku sekarang ngekost."

"Oh gitu. Di mana?"

"Dekat Masjid Agung."

Gyan gangguk. Memalingkan wajah sesaat. "Bu, nasi goreng satu." Kembali memandangku. "Kenapa ga dari dulu?"

"He he he."

"Pasti ga ada yang cocok?"

"Ya ga gitu juga sih,"

"Terus, sekarang udah nemu yang pas?"

Mengangguk semangat.

"Kapan-kapan aku boleh main?"

"Nanti juga boleh."

Gyan tertawa mendengarnya. Aku yakin, saat itu tawanya memang senang karena aku membolehkannya mampir.

"Eh, ngomong-ngomong yang duduk di sampingku siapa sih namanya?"

"Loh, kok, malah nanya aku? Kan kamu yang duduk bareng."

"Yah...." ujarku sembari menggaruk-garuk kepala dengan senyum malu-malu.

Gyan menghembus napas. "Namanya Gilang."

"Oh,"

Itulah harinya, hari aku tahu namanya.

Kata Gyan, dia itu siswa yang salah masuk pas habis pembagian kelas. Bukannya masuk ke kelas X-11, dia justru masuk ke kelas XI-10.

Oh, ya, ya. Aku tidak ingat kejadian itu. Waktu dia masuk, mungkin aku sedang sibuk oret-oretan. Juga, aku tidak tertarik dengan perkenalan. Tapi, akhirnya aku tahu namanya.

Aku jadi makin yakin, kalau Gilang cuma siswa malas yang tidak bisa memerhatikan. Meskipun aku percaya, dia tidak seperti yang kuduga.

Lagi pun kalau benar begitu, aku tidak peduli. Aku tidak mau ikut campur dengan masalah pribadi orang lain. Kalau dia malas dan akhirnya tidak naik kelas, ya itu urusan dia. Tapi sebenarnya, aku memang sedikit khawatir.

Dan, aku harus menjauh darinya. Jangan sampai dia membuatku terbawa penyakit malasnya itu. Aku tidak ingin membuang-buang waktu berhargaku untuk lebih mengenal siswa malas sepertinya.

Pokoknya, mulai saat itu juga, aku berniat tidak akan lagi melirik ke arahnya. Dan tidak terlalu menggubris kiriman surat darinya, jika itu adalah bagian dari usahanya untuk mendekatiku. Meskipun semua suratnya. Ralat. Kedua suratnya itu berguna untukku.

Tapi aku harus menjauh. Bukan aku jahat, tapi karena aku tahu itu harus.

Kalau dia mau jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu seperti apa ayahku. Harusnya dia mundur daripada merasa kecewa karena cinta yang tak sampai.

Bukan maksudku berharap dicintainya. Tidak begitu!

🌹🌹🌹

ii

Di lapangan upacara, di tengah-tengah barisan siswa berseragam OSIS dengan tambahan jas abu-abu dan topi sewarna. Mataku diam-diam menyapu pandang demi mencari keberadaan Gilang. Aku berharap tidak ada orang yang menyadari tingkahku saat itu. Meski aku sendiri sebenarnya bingung, untuk apa juga mencarinya.

Mungkin sekadar ingin lihat. Boleh, kan?

Namun, hingga upacara selesai, pria itu, Raja Tidur, tak berhasil kutemukan. Di mana dia? Tanya hatiku. Jangan-jangan ketiduran di kelas? Atau mungkin, dia ga sekolah?  Aku tidak tahu.

Aduh, ngapain juga kupikirin?! Emang, apa pentingnya buat aku?

🌹🌹🌹

iii

Bubar upacara, aku bersama Gyan menuju ruang kelas X-11 sembari membahas seleksi LCC yang akan dilaksanakan hari Kamis depan.

Sampai di kelas, aku tidak bisa menahan rasa terkejutku setelah melihat pria di pojok kiri tengah tertidur. Aku yakin, Gyan pasti sedikit takut karena ekspresiku yang tiba-tiba berubah kesal.

Menghentakan kaki keras ke arahnya, lalu membanting diri ke atas tempat dudukku. Seketika menghasilkan suara: brug!!!

Gilang bangkit lalu mengucek mata kanannya, kemudian menguap sembari melebarkan kedua tangannya—hampir mengenai wajahku, sungguh aku makin sebal kepadanya. Meski aku tahu kebanyakan orang pasti akan bertingkah begitu ketika bangun tidur. Tapi bagiku, seharusnya dia tidak melakukannya hingga hampir mengenaiku.

Selanjutnya, pria itu memandangku sambil mengedipkan mata berulang kali. Lalu, kembali tidur.

Mataku tercekat saking kagetnya atas perilaku Gilang. Rasanya, aku ingin sekali teriak di telinganya: "Bangun, Raja Tidur!"

Tapi, aku hanya diam dan menghembuskan napas kesal.

Menit berlalu, siswa lain mulai duduk di kursi masing\-masing. Aku melirik ke arah pria itu, lalu berbisik. "Kamu ga ikut upacara?"

"Hmmm...." Dia bangkit dan memandangku. "ikut kok." jawabnya dengan mata sayu, namun terus berusaha menatapku.

"Kok tadi ga ada?"

Mendadak matanya terbuka lebar. Tegas dan tajam, membuat jantungku berdegup kencang entah kenapa.

"Kamu, ngapain nyariin aku?"

Hah? Suaranya pelan tapi lebih dahsyat dari halilintar. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Memang ada benarnya dia bertanya demikian. Untuk apa coba aku kepoin urusannya?

Dan, saat itu aku hanya bisa diam memandang wajah tampannya hingga diselamatkan oleh salam guru, membuat Gilang kembali pada aktivitas rutinnya. Tidur.

Save. Hatiku bersyukur lega.

🌹🌹🌹

iv

Sewaktu istirahat, di perpustakaan, aku duduk sendiri di sudut ruangan sembari membaca buku bergambar. Ya, mirip majalah, tapi tentang kesehatan.

Mudah-mudahan bisa membuatku melupakan kejadian memalukan sebelumnya. Mudah-mudahan aku tidak terus memikirkannya. Dan, mudah-mudahan dia tidak mengingatnya.

Selang beberapa waktu Ateg muncul dan duduk di depanku sembari berkata, "Hai."

Aku mengangguk lalu melempar senyum. "Hai. Makasih buat yang waktu itu." kataku setengah berbisik. Memang di perpustakaan ga boleh berisik.

"Maksudnya?" Dia nanya.

"Surat yang kamu kasih."

"Oooh.... iya ga masalah."

"Gara-gara surat itu, aku jadi dapet kost yang cocok."

"Oh, syukurlah. Kamu ngekost di sana?"

Aku jawab dengan anggukan

"Wah, kita satu kost dong," katanya dengan senyum merekah.

"Apa iya?"

Dia gangguk. "Kamu dapat kamar nomor berapa?"

"Aku ga tau sih nomor berapa, tapi pokoknya yang paling ujung."

"Wah, kamar kita sebelahan."

"Benarkah?"

Kembali dia mengangguk kegirangan. "Oya, namaku Ayu Teguh. Ateg saja."

Aku menjabat tangannya. "Lutfi Nurtika. Panggil saja Lutfi."

Aku senang mendapat teman baru, meski aku belum paham bagaimana sifat asli Ateg. Tapi aku merasa dia wanita yang baik dan ramah. Mungkin nanti aku punya kebiasaan yang sama dengannya.

"Kamu pindah kemarin, ya?"

"Iya. Tapi, aku ga lihat ada kamu kemarin."

"Oooh.... aku mudik. He he he."

"Oh, gitu."

"Iya, tapi nanti pulang ke kost kok. Mudiknya tiap Sabtu-Minggu. Soalnya bosen di kost, ga ada teman. He he he. Eh, sekarang ada kamu. Mungkin nanti aku bakal ga pulang-pulang. He he he."

Aku senang mendengarnya. Sepertinya Ateg memang wanita yang baik. "Ngomong-ngomong, surat yang kamu kasih, itu dari siapa sih?"

"Eh, aku belum ngasih tahu dari siapa sih?"

Menggeleng. "Kamu cuma bilang, 'dari teman SMP-ku.'"

"He he he. Berarti aku lupa. Maaf."

"Iya ga papa."

"Itu dari Gilang, teman kelasmu."

"Oh,"

Aduh! Gilang lagi, Gilang lagi. Memang salahku sih, nanya soal pengirim surat itu dari siapa, padahal aku sudah tau. Dari RT, Raja Tidur. Iya, Gilang si Raja Tidur.

Ateg mengangguk dengan tetap tersenyum. "Dia juga duduk sama kamu, kan?"

Aku kaget sesaat dan berkata terbata-bata. "Eh, yah.... iya. Tapi aku ga tahu namanya. Soalnya di kelas, dia tidur terus."

Ateg kettawa entah kengapa. Rasanya seperti aku baru saja melawak. Tentu tidak!

"Dia mah, emang gitu orangnya, aneh."

"Oooh.... eh, Gilang pas SMP gimana sih?"

Loh, kok aku malah kepo sih? Aduh, sepertinya ada yang konslet di otakku.

"Hmmm...." Memalingkan wajah dengan ekspresi seperti orang sedang berpikir, lalu kembali menatapku. "Dia pintar, senang banget bantu orang. Sampai-sampai, mereka jadi pada baper." tambahnya dan kembali tertawa.

"Gitu,"

"Iya. Tapi aku sih engga."

Mulai saat itu, aku mengira Gilang cuma anak yang suka bikin baper orang lain. Jadi, aku tidak akan terjerat dalam jebakannya.

Ga akan!

Aku juga masih kurang percaya kalau dia pintar. Boro-boro belajar, tiap hari tidur terus. Tapi aku setuju satu hal, kalau dia itu aneh.