Chereads / Gilangku (TERBIT) / Chapter 6 - 5. Penyesalanku

Chapter 6 - 5. Penyesalanku

i

Bel tanda istirahat kedua berbunyi memaksa guru menyudahi pelajaran saat itu. Semua siswa tampak gembira dan bergegas keluar. Di raut wajah mereka, aku bisa menebak, pasti perut mereka sudah keroncongan. Apalagi pelajaran sejarah barusan sangat membuat frustasi, menurutku.

Kenapa? Tentu saja karena membosankan.

Kelvin mendadak menghampiriku dan mengajakku pergi ke kantin. Aku bilang duluan. Tapi dia memaksa menunggu.

Aku membiarkannya. Dan mulai membereskan perlengkapan sekolah agar saat pelajaran terakhir nanti, sudah rapi. Jadi aku bisa memerhatikan dengan seksama.

Akhirnya, karena terlalu lama menanti. Kelvin beranjak dari duduknya dan meminta maaf namun tak kutanggapi.

Tak lama kemudian aku melihat dari sudut mataku, Gilang bangun dari tidurnya. Merapikan seragam dan menatapku tajam. Aku langsung yakin kalau dia akan mengajakku pergi berdua, karena memang tinggal aku dan dia di kelas.

Nyatanya tidak. Padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk menolak ajakannya.

"Kamu mau pulang?"

Aku tersentak kaget. Lalu tertawa sedikit karena menyadari tingkahku yang memang jelas terlihat sedang berkemas.

Beberapa detik kemudian aku berkata: "Ga."

"Oh, jadi mau ke kantin?"

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala yang bagiku sangat judes, terlebih karena aku tidak menoleh kepadanya. Harusnya itu cukup untuk membuat dia tahu bahwa aku sedang tidak ingin diganggu.

Heran, biasanya aku tetap bertingkah biasa jika ditanya orang lain. Terlebih olehnya. Lebih tepatnya, itulah kali kedua dia menanyakan sesuatu kepadaku. Tapi, entah mengapa hari itu, aku merasa seperti sedang berubah dalam menilainya.

"Aku ikut," katanya lalu bangkit dan membalik badan. Sangat terkesan menungguku.

Aku menyelerek resleting tas dan beranjak dari dudukku. "Ikut apa?"

"Ke kantin."

"Ga usah." Melangkah melalui meja-meja yang berderet.

"Kan kantin buat siapa aja." ujarnya dengan melangkah di sisiku.

Benar juga sih. Tapi aku ga mau ke kantin bareng kamu tahu! Nanti orang-orang ngira kita pacaran. Ya, kan?

Aku berhenti di depan pintu kelas. Memandang ke arah lain. "Biasanya juga kamu tidur terus."

Tanpa perlu menunggu jawabannya aku kembali menggerakan kedua kakiku.

"Lihat kamu jadi laper."

"Aku bukan makanan!" kataku ketus tanpa menatapnya.

"Tapi mirip bakpao."

Tak kurespons, karena ga penting.

Tapi dia berbisik, suaranya kudengar sangat pelan memanggilku: "Fi,"

Aku diam. Tak kutanggapi.

"Ada yang mau aku omongin,"

Mendengar dia bicara gitu, rasanya aku ingin langsung bilang padanya: "Dari tadi juga ngomong. Udah deh, ga usah basa-basi. Mau ngomong apa sih?"

Tapi, kata-kata yang keluar malah: "Iya,"

"Tapi ga sekarang."

Deg! Aku merasa situasi berubah seketika. Apakah ini waktunya? Apakah ini saat yang tepat buat dia nembak aku? Aduh, aku benar-benar gugup. Ga tau harus jawab apa selain nolak dia, atau mungkin bakal diem aja, soalnya kan belum kenal. Mungkin saat itu aku memang tidak sabar ditembak olehnya.

"Terus?"

"Ga tau nanti malem, apa besok, atau masih lama."

"Eh?"

Aku benar-benar bingung bagaimana harus menanggapinya. Sungguh mendengar itu rasanya aku marah, kesal, dan mau ketawa. Lucu sih tapi ngeselin, tahu!

Dan aku terus berjalan tanpa bisa menghentikan Gilang yang berada di sisiku.

Ketika hampir sampai aku berhenti karena melihat kerumunan siswa yang membludak di kantin. Rasanya aku harus memaksa perutku untuk menahan lapar sampai pulang sekolah.

"Kamu mau makan di luar?"

Aku kaget hingga memaksaku memandangnya.

"Ada tempat makan enak di seberang jalan, tapi agak masuk gang dikit."

Dengan cepat aku melengos dan meninggalkannya. Aku bergegas memaksa diri menuju masjid, berharap bisa melupakan rasa laparku.

Tapi, Gilang tetap melangkah di sisi kananku dan kembali berkata: "Nanti juga kamu ingin. Tunggu aja."

Tak kutanggapi. Bagaimanapun sebelumnya aku sudah berniat untuk menjauhi Gilang. Dan tentunya, aku tidak mau lebih dekat dengan orang malas sepertinya. Ga mau. Apalagi makan bareng. Sorry!

"Kamu tahu, semua siswa di sini itu sombong?"

"Kenapa?" tanyaku. Aku merasa dia sedang menyindir sikapku padanya hari itu.

"Siapa yang mau nyamperin satpam terus ngajak makan bareng?"

"Siapa?"

"Cuma aku."

"Oh."

Aku senyum tapi sedikit.

🌹🌹🌹

ii

Ketika sampai di depan masjid. Gilang mendadak pergi dan nyamperin satpam yang memang sedang melangkah ke mari.

Merasa penasaran, aku mencoba menguping.

"Mang Budi!"

"Iya Mas Gilang, kenapa?"

"Sudah makan?"

"Sudah kalau pagi, tapi siangnya belum. He he he."

"Mau makan bareng?"

Mendengar dia ngomong gitu, demi Tuhan, aku sangat-sangat kaget sekaligus tidak menyangka. Apa yang sebelumnya dia bilang ke aku benar-benar dilakuin.

Awalnya aku cuma menganggap Gilang hanya cari sensasi, tapi setelah mendengar jawaban pak satpam semua prasangka itu lenyap seketika.

"Loh, kok ngajak makan lagi? Ini sudah kesepuluh kali loh, Mas Gilang ngajak makan bareng, bayarin lagi. Kan Mamang yang ga enak."

"Ga papa Mang. Hari ini perayaan kelahiranku."

Hah?! Hari ini perayaan kelahiranmu? Kamu ulang tahun?

Rasanya ada sedikit penyesalan menolak ajakannya. Dan semua itu makin besar setelah mendengar Gilang kembali berkata.

"Tapi di warung mie ayam seberang ya Mang?"

Mie ayam! Hatiku berseru. Itu adalah salah satu makanan favoritku. Aduh, aku nyesel deh.

"Siap Mas, pokoknya kalau dibayarin mah, Mamang nurut. Tapi jangan lama-lama ya, kan Mamang lagi kerja. Nanti bisa dipecat kalau kelamaan ngilang."

"Beres."

"Itu juga Mas."

"Iya,"

"Jangan pedas-pedas yah, Mamang ga kuat pedas soalnya."

"Siap."

"Ga kayak Mas Gilang. Hih! Naruh sambal kok banyak banget."

"Kalau ga pedas, ga mantap Mang."

Benarkah Gilang suka pedas? Apa iyalah? Pasti ga sepedas levelku. Aduh-aduh, aku jadi makin ngiler.

Semua seruan hanya sampai di hatiku tanpa bisa kuungkapkan padanya hingga sekarang, sepuluh tahun ke depan.

Saat itu aku hanya bisa menahan rasa lapar sembari menunggu waktu shalat Dzuhur. Dan tanpa sadar, aku membuat janji: "Mulai sekarang, aku ga bakal nolak kalau diajak Gilang."

Setelah sadar, aku hanya bengong karena heran lalu senyum-senyum sendiri.

🌹🌹🌹

iii

Sepulang sekolah, aku melangkah menuju kost. Berjalan menyusuri trotoar seorang diri. Dari arah belakang, kudengar suara sepeda. Suaranya pelan, namun aku tahu itu berasal dari pedal sepeda nenek yang dikayuh.

Ketika sepeda itu sudah sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja menyamakan dengan kecepatanku berjalan. Dan tampak, dia datang lagi.

Siapa? Ya Gilang!

"Kamu mau pulang?"

Kujawab dengan anggukan kepala dan tanpa menoleh padanya.

"Aku ikut."

"Ga usah."

"Lah, kalau pelajaran selesai berarti boleh pulang, kan?"

Ih kesel! Iya kamu benar. Tapi maksudnya kamu ga boleh ikut aku pulang.

Diam. Aku, dia, diam. Ini lebih baik buatku. Meski lama kelamaan jadi terasa canggung.

Sebenarnya aku ingin bertanya di mana dia makan mie ayam sama satpam istirahat tadi. Tapi masa aku yang nanya, nanti dikira ngarep.

Ga bakal!

"Ini hari pertama kita pulang bareng."

Tidak kutanggapi karena ga penting. Jujur, aku juga sedang merasa sangat lapar dan risih diganggu-ganggu. Terlebih, aku pengin makan mie pedas. Aduh.

Tak lama kemudian Gilang kembali berkata: "Ada surat."

"Buat siapa?" tanyaku judes.

"Lutfi."

"Dari siapa?"

Gilang memberiku surat.

Aku meraihnya tanpa menghadapkan wajah padanya.

Sampai di pertigaan, aku khawatir dia akan mengikutiku sampai ke kost. Jika benar, aku akan sebisa mungkin berusaha melarangnya. Pokoknya jangan sampai terjadi!

Syukurlah tidak. Gilang pamit, dan berbelok ke arah sebaliknya.

Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah karena sudah bersikap judes kepadanya. Terlebih, hari itu, untuk pertama kali dia banyak bicara kepadaku daripada di hari-hari sebelumnya. Aku sangat ingat, dia cuma bilang: "Absen."

Dua kalimat lain yang lumayan panjang: "Guru piket nyuruh kamu masuk."; dan "Dasar Ratu Absen, mau telat sampai kapan?".

Aku yakin, pastilah dia sedih. Tentunya dia kesal. Aku juga akan merasakan hal yang sama kalau diperlakukan orang seperti aku kepadanya.

"Maaf Gilang."