Chereads / Rahasia Sekar / Chapter 3 - Bab 3

Chapter 3 - Bab 3

Sekar mengamati wajah bahagia sepupunya, Laras. Nampak jelas bayangan wajah Laras yang ayu di dalam kaca rias. Sepupunya itu memakai kebaya baby pink dipadukan dengan make up natural. Sungguh paras Laras seperti bidadari yag turun dari surga, cantik dan juga anggun. Beruntungnya calon suaminya nanti.

"Sekar, kamu baru dateng nduk!?". Tanya ibu Laras sekaligus buleknya. Wanita yang masih cantik di usianya yang menginjak angka 50 tahun. Wanita yang dulu mengambilnya saat kedua orang tua Sekar meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Wanita yang sabar menghadapi Sekar yang tak banyak bicara saat pertama datang kemari.

Kecelakaan orang tuanya meninggalkan trauma. Sampai kini Sekar bertanya-tanya, kenapa hanya dia yang selamat dalam kecelakaan itu padahal kalau di suruh memilih. Sekar pilih mati saja dari pada menjalani siksa kehidupan yang tak ujung ceritanya seperti ini.

Waktu itu umur Sekar baru 12 tahun, bahkan di masa- masa pubernya ibunya telah tiada. Sekar sebatang kara karena ia juga tak punya saudara. Jadilah ia dibawa oleh paman dari pihak Ayahnya. Hidupnya lebih baik sebelum kejadian naas itu datang. Mengingat kenangan getir itu ia menggelengkan kepala. Memang jalan menuju kesuksesan, harus di lalui setelah memijaki pecahan beling.

Sekar ingat pertama kali ia bertemu Laras. Waktu itu usianya baru 10 tahun. Laras gadis kecil tercantik yang pernah dia lihat. Tawanya yang khas menghiasi masa kecil mereka. Gadis itu selalu menanyakan ini-itu, selalu makan menunggunya pulang bahkan karena hidup mereka dulu tak begitu berkecukupan. Laras rela membagi makanannya untuk di makan berdua.

"Baru aja nyampek bulek?".

"Ayo makan dulu kamu pasti laper". Khas orang Jawa Sekali bibinya ini kalau ada tamu pasti di suruh makan. Dan keramahan tamahanya tak pernah berubah. Beda dengan dirinya yang berubah dingin sejak kepindahannya ke Jakarta. Memang kerasnya ibu kota merubah karakter seseorang.

"Sekar mau ketemu paklek dulu". Sekar berjalan menyusuri rumah yang tak terlalu besar itu dan dengan mudah ia menemukannya pakleknya yang sedang memakai beskap di dalam kamar. Sungguh tampan dan gagah. Teringat Almarhum ayah, beliau pernah memakai pakaian sejenis itu saat acara wisuda Sekar saat SD. Mengingat Kenangan indah itu sudut matanya berair. Jangan pernah menangis Sekar, di hari bahagia Laras.

"Paklek dah ganteng. Jangan ngaca terus! ". Wiryo yang sedang membenarkan letak kerah beskapnya langsung menengok melihat keponakannya datang.

Dia si manis Sekar, anak titipan kakaknya. Terakhir Sekar pulang saat lebaran. Senyum itu sama dengan milik kakak lelakinya, sosok yang begitu Wiryo rindu tapi tak dapat ia jangkau lagi. Ia memeluk erat sosok yang dulu sempat menghilangkan dan muncul 5 tahun terakhir ini.

"Kamu sehat tow nduk?".

"Alhamdulillah sehat paklek, kabar paklek gimana? Masih suka ke sawah?". Keluarga Laras memang bukan golongan orang kaya hanya punya rumah sederhana dan satu sawah turun temurun untuk digarap. Dulu sekali Sekar hanyalah anak kampung yang tiap sore tugasnya menggiring bebek ke kandang dan memunguti telurnya dipagi hari.

"Ya kalau nggak nyawah paklekmu ini mau makan apa?".

"Makanya pindah ke Jakarta tinggal sama Sekar. Ngapain di Semarang kalo Laras saja bakal diboyong ke Jakarta sama suaminya". Wiryo hanya tersenyum. Bukan pertama kali Sekar menawari dirinya untuk hijrah ke Jakarta tapi dimasa tuanya dia butuh ketenangan dan Jakarta bukan kota yang tepat untuk sebuah kehidupan yang tentram dan damai .

"Nanti kalo Paklek pindah, sawah yang ngurus siapa? Bebek-bebek paklek gak bisa diajak pindah juga. Mau naik pesawat pasti langsung dicekal di bandara". Tawa Sekar membahana. Inilah yang ia suka ketika bertemu keluarganya membuat Sekar lama bangkit kembali dan banyak di hiasi tawa.

"Paklek udah tua, harus banyak bergerak supaya gak cepat sakit. Yah paling ndak kalo garap sawah sama ngangon bebek bisa bikin sibuk dan sehat. Kenapa ndak?". Sekar sepertinya memang harus menyerah membujuk pamannya untuk pindah Tapi dia juga punya sesuatu untuk diserahkan.

"Sekar ngerti kok, tapi terima ini ya?". Sekar menyerahkan amplop tebal coklat yang berisi uang tunai untuk membantu meringankan biaya pernikahan sepupunya.

"Paklek ndak bisa nrima ini Sekar ". Wiryo berusaha menolak . Ia malu tak pernah memberi Sekar apapun tapi malah menerima uangnya. Dulu ia hanya bisa memberikan kesengsaraan mengingati ekonomi keluarga mereka yang sangat sederhana.

"Sekar gak terima penolakan pokoknya. Ini buat bantu- bantu biaya pernikahan Laras". Sekar cukup tahu bagaimana keadaan ekonomi keluarga pakleknya yang sederhana tapi mereka bukanlah orang yang suka memanfaatkan keadaan atau kebaikan orang lain. Mereka tetaplah orang kampung yang sederhana dan jujur, tak ada yang ditutup-tutupi apalagi memakan yang namanya gengsi.

"Paklek gak pernah kasih kamu apa apa Sekar. Paklek cuma bisa nyekolahin kamu sampai Tamat SMA. Itupun kamu nyambi kerjo. Paklek isin (malu) kalau sampai menerima uang ini". Tampak raut haru tersirat di wajah Wiryo yang sudah dipenuhi kerutan. 11 tahun lalu Sekar meninggalkan Semarang merantau ke Jakarta. Kuliah dengan biaya sendiri dan sukses sebagai arsitek. Itu yang Wiryo tahu tapi ada hal lain yang memaksa Sekar harus meninggalkan kota kelahirannya dengan terpaksa. Sesuatu yang tak bisa Sekar bagi pada keluarganya.

"Jangan begitu paklek, paklek hanya keluarga yang Sekar belum punya. Ini uang gak seberapa dibanding dengan jasa paklek yang sudah merawat Sekar". Apapun alasannya ia tak menerima penolakan. Ditaruhnya amplop itu ditelapak tangan pakleknya dengan paksa. Bagi Sekar uang itu tak seberapa dibanding pengorbanan pakleknya yang rela banting tulang untuk menghidupinya dulu.

💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐

"Loe gak bilang kalo calon bini loe orang Semarang". Tanya Rega pada Damian yang sedang memakai kemeja batik bermotif Mega mendung. Kawannya itu nampak bahagia. Selalu tersenyum sambil bersiul di dalam cermin. Memang orang lamaran akan seperti itu, Rega dulu juga pernah merasakannya.

"Loe gak nanyak, bukannya loe dulu sempat Kuliah disini? Sampe berapa semester?". Kenapa dari semua pertanyaan itu yang harus ditanyakan. Seolah membuka kenangan kelam rega saja. Dia pernah tinggal di sini 12 tahun lalu bersama sang nenek tapi saat neneknya meninggal dia kembali lagi bersama orang tuanya. Semarang ia anggap sebagai tempat pengasingan.

"Cuma sampe semester 3. Yang Loe bawa kesini siapa aja Damik?". Tanyanya.

Aneh saja karena tak melihat orang tua Damian disini hanya beberapa kerabat dan satu orang tua.

"Cuma loe, assistant gue, opung sama beberapa temen kita".

"Ortu loe?"

"Masih di Medan, mereka datang saat resepsi pernikahan gue".

Tak berapa lama mereka sudah siap menuju ke rumah calon istri Damian Panjaitan. Mereka menaiki Mobil yang sudah disewa sebelumnya.

Saat mobil itu berhenti karena lampu merah. Pandangan Rega mengunci pada satu titik ke sebuah restoran cepat saji. Kenangan masa-masa kelamnya berputar seperti roda. Di sana dulu dia sering mengamati seseorang lebih tepatnya mengintai seorang perempuan.

''Kenapa loe? Laper ga ". Tanya Damian yang heran ketika melihat mata Rega terfokus pada restoran yang berada diujung jalan.

"Nggak, 11 tahun banyak yang berubah. Dulu itu restoran sebuah cafe". Rega menerawang jauh melihat ke 12 tahun silam. Saat ia masih mahasiswa baru. Ia sering mengunjungi cafe itu sekedar untuk nongkrong dan bersenang-senang dengan temannya.

"Udah kita istirahat aja. Perjalanan kita masih jauh". Mereka mulai memejamkan mata. Perjalanan Mereka masih jauh mengingat rumah calon istri Damian berada di Semarang selatan berbatasan dengan Ungaran. Mereka sampai setelah hampir menghabiskan waktu 1 jam dijalan.

Rumah calon istri Damian masih kental dengan suasana pedesaan. Masih ada sawah, kerbau, kambing dan kebun sayuran. Jangan lupakan juga tanah berbecek yang pasti dibenci orang kota. Beberapa kali Rega harus rela menyincing celananya agar tak kena cipratan lumpur.

"Mari nak Damian masuk, udah ditunggu kedatangannya".

"Oh Iya pak''. Mau tak mau rombongan Damian mengikuti langkahnya yang lebar. Rega berdecak sebal kenapa tadi dia gak pakai sandal saja. Karena sepatu nya sudah lengket dengan lumpur.

"Damik, loe dapet orang kampung ya?". Disikutnya perut Rega sampai memekik. Perkataan Rega memang pelan tapi membuat Damian kesal.

"Calon istri loe yang mana?".

"Yang pake baju pink, namanya Laras . Cantik kan??". Jaman sekarang semua perempuan kan cantik. Maklum teknologi kecantikan sudah maju. Yang hidungnya pesek bisa jadi mancung, yang kulitnya hitam bisa suntik supaya putih, belum lagi berbagai teknologi meniruskan wajah.

"Lumayan". Ucap Rega malas- malasan sedang Damian memperhatikan opungnya yang mewakili keluarganya untuk melamar Laras . Meminta Laras kepada kedua orang tuanya sesuai adat jawa. Memberikan beberapa barang seserahan dan tak lupa menyematkan cincin emas di jari manis Laras menandakan bahwa gadis cantik itu sudah resmi di pinang orang.

Hiruk-pikuk, tepuk tangan para tamu undangan yang jumlahnya tak banyak. Membuat suasana yang tadi tenang menjadi ramai. Rega jadi ingat lamarannya dulu yang begitu romantis dan mewah, sesuai keinginan Calista. Tentu dengan skenario yang tersusun rapi. Apakah dulu caranya salah, harusnya kan melamar anak gadis itu kan kepada kedua orang tuanya tapi Rega tidak. Mengingat pernikahannya yang gagal ia hanya bisa tersenyum tipis. Mungkin dari awal caranya salah.

Lamunan Rega harus terhenti saat makanan dihidangkan. Makanan yang sederhana tapi dengan rasa luar biasa. Saat ia mengunyah makanan pandangannya terpaku pada seorang perempuan berkebaya biru yang baru muncul dari arah pintu belakang. Wanita cukup yang cantik dan anggun mampu membuatnya tersenyum culas.

"Damik, cewek yang pakai kebaya biru itu siapa?". Damien hanya menggelengkan kepala. Mata keranjang Rega terlalu jeli kalau melihat perempuan cantik.

"Beresin dulu status loe, baru jalin hubungan lagi".

"Alah Damik, cuma kenalan doank!". Damian hanya bisa menarik nafas. Kalau loe gak mau kenalin, gue tanya aja sama calon bini loe".

"Iya... Iya... loe jangan ngomong macem-macem sama bini gue".

Rega dan Damian mulai menghampiri Laras. Saling mengobrol Ringan dan melempar candaan. Rega kira Laras gadis yang membosankan tapi ternyata tidak. Dia begitu cerdas dan komunikatif, pantas saja Damian memilihnya.

"Oh yang Ras, yang tadi pake kebaya biru itu siapa?". Damian yang mendengar mulut lancang Rega bersuara menyikutnya keras- keras. Sudah di bilang untuk bersabar dulu namun tetap saja ngeyel.

"Itu kakak sepupu aku, mbak Sekar".

"Sekar". Rega menggumamkan nama itu pelan lalu mengangkat sudut bibirnya sedikit.

Di lihat dari jauh, orang yang dibicarakan mereka keluar dari ruang tengah menghampiri Laras.

"Mbak Sekar sini." Laras menarik tangan sepupuku karena ingin mengenalkan Sekar pada Damian dan juga Rega. "Ini kenalin calon suami aku mas Damian." Sekar menjabat tangan Damian lalu tersenyum.

"Yang Ini mas Rega, temen Mas Damian."

Mendadak oksigen di sekitar ruangan jadi tipis, Sekar sesak nafas. Kilatan-Kilatan kenangan buruknya muncul bagai kaset rusak. Tangannya mendadak kaku. Keringat Dingin keluar, sorot matanya gelisah.

Rega duluan yang menyambut tangan Sekar. "Hai sweet heart, kita ketemu lagi. Apa kabar kamu?"

Suara itu berhasil membuat Sekar mati berdiri. Dia Kehilangan keseimbangan dan berpegang kuat pada pilar, tubuhnya lemas. Nyawanya seperti tercabut dari raga. Raut wajahnya pucat pasi. Ia bertemu lagi dengan orang Itu, orang yang merusak masa depannya 11 tahun lalu. Di malam hujan gerimis, orang ini yang merampas hal berharga yang di jaganya setengah mati.