Sekar sudah sampai di rumahnya. Dia lelah sekali. Bukan perjalanan jauh yang membuatnya kelelahan tapi paksaan dua orang lelaki yang memaksa mengantarnya pulang walau sudah ditolaknya mentah-mentah.
Dan mereka berakhir dengan kucing-kucingan, sebab Sekar waspada saja kalau sampai diikuti orang yang bernama Rega. Jadilah ia mampir dulu ke rumah Dewi untuk mengelabuhi lelaki itu.
"Loh, ibuk kok udah pulang?". Sekar terkejut mengetahui kalau Rossi sudah keluar dari rumah sakit padahal dokter bilang pulangnya masih lusa.
"Nggak betah lama-lama di rumah sakit, udah sehat juga". Jawab Rossi yang sedang menghidangkan makanan di atas meja makan. "Sekar makan dulu tapi jangan lupa cuci tangan". Kebiasaan Sekar yang jorok, lupa cuci tangan klau sudah di hadapkan dengan makanan favoritnya.
"Iya... iya... ibu masak apa?".
"Tumis cumi sama udang tepung". Makanan kesukaan Sekar. Memang Rossi sudah tahu kalo hari ini Sekar akan pulang. Makanya memasak udang dan cumi. Sekar langsung mengambil piring, menaruh nasi dan lauk tak sabar ingin menikmati hidangan yang tersaji di depannya.
"Gimana lamaran adik sepupumu, lancar?". Tanya Rossi yang mulai menarik kursi.
"Yah lancar bu, calon suaminya ganteng dan mapan". Sebenarnya Rossi ingin mendengar jawaban Sekar yang lebih panjang. Lamaran saudaranya kemarin siapa tahu bisa membuat Sekar punya keinginan untuk menikah.
"Kar, kamu kapan dilamar laki-laki". Kunyahan Sekar mendadak berhenti. Selalu itu yang ibunya tanyakan 'kapan menikah'. Pertanyaan yang cukup mengganggu Sekar. Ia merasa tersindir karena di usianya yang matang belum juga menikah.
"Ibu...".
"Sudah, ibu sudah tahu kamu mau jawab apa. Kamu sadar nggak? Kar, kalau kamu itu perempuan idaman laki-laki. Kamu cantik, mapan, baik, santun. Kenapa kamu tak ingin cari pendamping hidup?". Anak-anak teman Rossi banyak yang menanyakan dan tertarik dengan Sekar. Setiap di comblangkan, disuruh ketemu. Alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan.
"Karena Sekar punya kekurangan bu....". Jawab Sekar pilu. Apa yang ia ungkap adalah suatu kebenaran. Rossi paham apa yang dimaksud dengan kekurangan itu, baginya alasan Sekar hanya mengada ada.
"Kalau pernah melahirkan anakย kamu sebut sebagai kekurangan, kecacatan, ibu gak suka Sekar. Bukan salah kamu melahirkan di usia dini tanpa suami. Lagi pula di luar banyak kok gadis yang sudah gak perawan lagi, malah ada yang pernah menggugurkan kandungannya. Mereka masih bisa menikah, punya keluarga. Berhenti menganggap kamu tak berharga. Di mata ibu, kamu wanita hebat. Mungkin anak seusia kamu dulu kalau tahu hamil karena di perkosa. Mereka tak akan berpikir dua kali untuk melakukan aborsi tapi kamu? Kamu berjuang melahirkannya". Sekar mulai menangis, inilah kelemahannya jika selalu diingatkan tentang putra yang ia pernah lahirkan. Putra yang baru beberapa jam ia pandang dan harus berpindah ke tangan orang lain.
"Tapi apa bedanya Sekar dengan gadis yang melakukan aborsi. Sekar memberikan putra Sekar pada orang lain bu". Rossi menghembuskan nafas berat, digenggamnya tangan Sekar erat-erat. Rossi tahu betapa lukanya hati Sekar. Dia di hantui dosa dan rasa bersalah namun apakah tindakan Sekar menyerahkan anaknya agar masa depan mereka bisa berlanjut, di kategorikan hal yang salah.
"Kamu melakukan demi kebaikan kalian berdua. Jangan salahin kamu, ibu juga turut andil disini. Ibu yang mengusulkan untuk memberikan anak kamu". Pada saat itu Rossi berpikir itulah jalan terbaik untuk masa depan keduanya. Membiarkan anak tumbuh tanpa pekerjaan mapan dan status jelas, itu sangatlah beresiko. Lebih baik
"Berhenti berpikir kamu itu kotor. Sekar putri ibu suci, sesuci hatinya. Oh, iya ibu baru ingat kemarin ibu nemu paperbag isinya baju anak-anak. Itu pasti buat anak Yashinta kan?".
"Iya bu, tolong ibu kasihkan ke tante Yash sama bandeng oleh-oleh Sekar dari Semarang". Rossi memandang putrinya lekat-lekat, ia tahu Sekar memendam kerinduan yang teramat dalam kepada putranya.
"Kenapa nggak kamu kasih sendiri? Sekalian kamu ketemu Reyhan, pasti kamu kangen sama dia". Kalau itu Sekar lakukan ia akan menyakiti dirinya sendiri. Mendengar Reyhan memanggilnya dengan sebutan "mbak" bukan mamah rasanya sakit. Bagaimanapun juga Sekar adalah ibu kandungnya, ibu yang melahirkan Reyhan.
"Nggak bu, Sekar sibuk. Ibu aja yang kasihkan". Lelah dengan pembicaraan ini, Sekar beranjak pergi. Memundurkan kursi yang tadi ia duduki. Nafsu makannya menguap hilang, makanan yang awalnya lezat kini terasa hambar.
"Kar, Reyhan sudah berumur 10 tahun. Sebentar lagi dia akil balig, Yashinta akan bicara sama anak itu kalau Reyhan bukan anak kandungnya karena Yashinta punya Najwa sekarang. Bagaimanapun juga mereka bukan mahram". Mendengar perkataan Rossi, Sekar berhenti melangkah.
"Ini Kesempatan kamu untuk dekat dengan Reyhan, setidaknya kalau dia tahu kamu ibu kandungnya. Dia gak akan merasa terbuang. Kamu selalu ada di dekatnya". Walau tak bisa menjadi ibunya, Sekar masih bisa jadi kakak sepupu yang baik, kan?
"Sekar takut, Reyhan benci sama Sekar. Bisa nggak tante Yashinta gak usah bilang kalau Sekar ibu kandungnya Reyhan. Biar anak itu gak tahu sekalian karena Sekar gak sanggup bu. Lihat putra Sekar tahu, bagaimana dirinya bisa ada dan lahir. Sekar takut ia membenci kenyataan itu". Inilah sisi rapuh Sekar, ketakutannya dibenci putranya dan selalu menyalahkan dirinya sendiri. Air mata yang menggenang tak bisa ia tahan lagi, Sekar menangis menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Lambat laun, kalau Reyhan sudah dewasa dia juga akan mengerti. Cukup Sekar kamu selama ini menyalahkan dirimu sendiri. Kamu cuma korban dari kebejatan lelaki itu". Sekar jadi ingat bahwa dirinya sudah bertemu kembali dengan si pemerkosa, Sarega Wira Atmaja. Bagaimana kalau lelaki itu tahu, kalau mereka punya anak??
Merebutnya?? Rasanya tak mungkin, seingat Sekar orang yang bernama Rega itun pria yang tak bertanggung jawab dan bajingan tengik yang tak akan mungkin bisa menjadi ayah yang baik.
Tapi bukankah darah lebih kental daripada air. Wajah Reyhan sekilas memang perpaduan Sekar dan Rega tapi mata coklat terang dan warna rambut ikal yang senada dengan matanya warisan milik Rega.
๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ๐ธ