Chapter 27 - Suatu Sore di Sunbucks

Jam telah menunjukkan pukul enam sore. Hari ini Lisa pulang lebih awal daripada biasanya. Oscar menyuruh wanita itu untuk segera pulang demi menjaga kesehatan dirinya dan anak yang sedang dikandungnya. Lisa masih dapat merasakan sisa – sisa bercintanya beberapa jam lalu. Rasa nyeri mulai terasa diantara kedua kaki Lisa. Mungkin bercinta di saat hamil bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Namun Lisa tidak dapat menahan hasratnya untuk menyatu dengan Oscar. Sebesar apapun Lisa menahan dirinya untuk tidak kelepasan, pada akhirnya ia tetap jatuh di pelukan pria itu.

Sore itu, Oscar masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia tidak keberatan membiarkan Lisa pulang lebih awal. Kesehatan sekretarisnya itu menjadi prioritas utamanya disamping rapat dan berkorespondensi.Pria itu melemparkan salam kepada Lisa yang tengah meninggalkan ruangannya.

Koridor gedung Petersson Communication sore itu lumayan sepi. Hanya beberapa karyawan dan karyawati saja yang masih duduk serius menatap layar monitor. Lisa menyusuri koridor menuju lift.

Sesampainya di depan pintu lift, Lisa menekan tombol turun, menunggu pintu lift itu terbuka. Sesaat kemudian setelah lift itu terbuka, ia berpapasan kembali dengan Andien.

"Hey Lisa! Tadi gue mau nunggu di depan ruang presdir. Ayo kita nongkrong sebentar di Sunbucks!"

"Boleh juga!" jawab Lisa dengan riang. Sudah lama ia dan sahabatnya itu tidak nongkrong bareng di kedai kopi itu. Dahulu saat mereka masih satu departemen, setiap pulang kantor jika sedang tidak ingin berpesta di Sky Lounge, Sunbucks selalu menjadi tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu bertukar cerita sembari menunggu jalanan ibu kota yang tidak pernah sepi itu mereda.

Andien mengeluarkan kunci mobilnya dari balik tas jinjing yang ia himpit. Pintu mobil kemudian terbuka dan kedua sahabat itu masuk dan melesat keluar dari area parkiran. Perjalanan dari gedung perkantoran Petersson Communication ke Sunbucks terdekat hanya memakan waktu lima belas menit paling cepat dan dua puluh menit paling lambat. Malam itu jalanan lumayan ramai, sehingga mobil yang Andien kendarai terjebak macet.

Lisa menyandarkan kursi mobil Andien ke belakang, ia menyandarkan punggungnya yang pegal. Sesekali ia menghela napas panjang dan meletakkan kedua tangannya dibawah kepalanya dengan santai.

"Eh Ndien, memangnya kalau lagi hamil nggak boleh ngeseks ya?" celetuk Lisa.

"Lo ngeseks lagi sama Pak Presdir!?" pekik Andien kaget. Ia mengalihkan pandangannya ke Lisa dengan cepat dan kembali lagi melihat ke depan.

"Iya sih, aslinya gue nahan diri tapi beliau sendiri juga mau. Gue nggak kuat Ndien, auranya terlalu kuat untuk ditolak." gumam Lisa.

"Benernya nggak masalah sih, toh juga lo masih hamil muda. Yang jadi masalah itu napa harus di kantor dan di jam kerja pula sih!?"

"Nah itu masalahnya Oscar ini orangnya susah ditolak Ndien! Kayak, dari dalam diri gue sendiri itu memang menginginkannya tapi akal sehat gue berkata tidak. Tapi ya ujung – ujungnya kejadian juga!"

"Idih - idih parah lo Lis! Terus gimana itu yang ada di dalam perut lo? Aman nggak?"

"Ya soal itu sih gue rasa aman – aman aja."

Setengah jam kemudian mereka sampai di kedai kopi Sunbucks. Kedai kopi yang konon bagi para pecinta kopi adalah kedai kopi jadi – jadian. Pasalnya, Lisa dan Andien memang bukan penggila kopi seperti mereka – mereka yang lebih memilih minum kopi di kedai kopi independen dan tidak ternama. Andien dan Lisa hanya penikmat kopi jadi – jadian tanpa kafein dengan kandungan gula yang sangat tinggi. Bagi mereka, kopi seharusnya tidak pahit dan menyedihkan.

Antrian di kedai kopi terkenal itu sangat panjang, mereka berdua nyaris berdiri di luar pintu masuk kedai. Untung saja sore itu langit sedang cerah dan tidak ada info mengenai hujan akan turun. Andien meminta Lisa untuk mencarikan tempat duduk dan meminta Lisa untuk tidak ikut antri. Andien tidak ingin Lisa terlalu lelah karena antri panjang, bisa – bisa janin yang dikandungnya bermasalah.

Setelah hampir sepuluh menit antri dan memesan minuman. Andien datang dengan membawa cappucino hangat dan matcha latte untuk Lisa. Diterimanya gelas plastik berwarna hijau itu, kemudian Lisa menyesapnya dengan cepat. Rasa hausnya sudah tidak tertahankan lagi.

"Sejak lo hamil, lo jadi sering haus ya Lis?"

Lisa tersenyum simpul sambil menyedot minumannya dengan sedotan. Benar juga, sudah beberapa hari ini nafsu makannya bertambah dan rasa hausnya kian meningkat. Sudah separuh gelas ia habiskan dalam sekali tenggak.

Andien masih meniup gelas cappucino nya sambil menatap sahabatnya itu. Ia kemudian menggeser kursinya lebih dekat dan bertanya, "Jadi lo mau cerita apa tadi Lis?"

"Oh, itu tentang presdir kesayangan kita!"

"Idih kesayangan lo aja kali! Hahaha!"

"Serius gue Ndien. Tadi inget nggak sewaktu di kantin gue disuruh Pak Dani ke ruangannya Oscar? Gue dikasi uang untuk membayar denda pajak rumah sama dia!"

Andien terperanjat dari tempat duduknya. Bingung harus bereaksi senang atau khawatir. Namun ia lega ada yang membantu Lisa. Meskipun itu bukan dirinya.

"Bagus dong Lis! Lo sekarang nggak perlu pusing harus minjem uang ke Damar atau siapa lah! Gimana ceritanya kok bisa dipinjemin?"

"Gue nggak dipinjemin Ndien. Beliau bener – bener ngasih uangnya ke gue ! Dan jumlahnya pun lebih dari yang seharusnya!"

"Gila lo Lis! Beruntung sekali lo jadi simpanannya presdir!" goda Andien.

"Idih, gue bukan simpanannya kali! Sebenarnya, beliau ngelamar gue buat jadi istrinya."

"Alamak! Kalau lo menikah dengan pak presdir berarti kerjaan lo?"

"Nah itu Ndien, gue udah diberi waktu seminggu buat memikirkan apakah gue menerima lamarannya atau tidak! Kalau gue menolak lamarannya, berarti anak yang gue bawa sekarang ini nasibnya bakal suram. Kalau gue terima, berarti gue harus keluar dari kerjaan gue yang sekarang dan gue tidak mau itu terjadi Ndien!"

Andien menjitak kepala sahabatnya itu dan berkata, "Lo goblok Lis kalo nggak mau nikah dengan presdir! Maksud gue ayolah, bukannya masalah finansial lo pasti benar – benar terjamin? Dia kaya Lis! Gue yakin uang di dompetnya pasti dollar!"

"Duh tapi kan gue masih mau kerja Ndien. Gue nggak mau tergantung sama orang lain apa lagi sama suami!"

"Halah Lis, realistis aja deh. Dengan kerjaan lo yang sekarang ini, sanggup nggak lo buat membayar semua hutang keluarga lo? Biaya berobat ibu lo dan uang kuliah si Bella contohnya?"

"Iya sih gue nggak bisa membayar itu semua hanya dengan gaji yang gue terima..."

"Ya sudahlah tunggu apa lagi? Terima aja lis lamarannya!" tukas Andien dengan semangat.

"Masalahnya gue belum berani cerita ke Ibu soal ini.."

"Lo tenang aja Lis, selesaikan dahulu urusan pajak rumah lo yang kena denda itu. Selanjutnya lo kan bisa cerita ke pak presdir soal pernikahan lo?"

"Iya sih, belum lagi masalah surat cerai yang masih digantung oleh ayah gue. Gue tidak sanggup menyewa pengacara handal untuk menyelesaikan masalah itu!"

Lisa meletakkan gelas plastik yang sudah kosong itu. Tangannya dilipat, kepalanya agak menunduk.

"Mana tadi pagi gue melihat ayah di busway. Gue jadi ingat betapa pria itu sangat kejam terhadap ibu. Seketika gue inget surat cerai dan ingat kalau gue nggak bisa menyewa pengacara. Ah! Pusing gue Ndien!"

Andien menggenggam salah satu tangan Lisa dengan erat, ia memancarkan aura positif dari balik wajahnya seraya berkata, "Lisa dengerin gue, sepulang dari Sunbucks lo harus bilang ke Ibu lo kalau kamu akan membayar denda pajak rumah. Kemudian setelah masalah pajak selesai, barulah kamu cerita soal Oscar. Percayalah sama gue Lis!"

Lisa menatap sahabatnya dengan tatapan bahagia dan lega. "Beruntung gue punya temen baik kayak lo Ndien!"