Di usia 15 tahun, biasanya impian para gadis tentang mimpi masa depan akan dimulai. Dan di usia 15, pertama kalinya aku pernah memimpikan Guangzhou. Empat tahun kemudian, di kali pertama aku menginjakkan kaki di Guangzhou, kukira aku akan menjadi seperti wanita Guangzhou lainnya: kurus, stylish dan mandiri secara financial, masing-masing tenggelam dalam arogansi kecil mereka.
Mereka mengenakan rok panjang warna pastel dengan bubuk manik-manik yang berkilau, memiliki kuku yang diukir sempurna dan dicat dengan warna-warna lembut yang mengkilap. Terlebih lagi, mereka memiliki potensi besar.
Kukira aku akan menjadi seperti mereka, hingga tiga setengah tahun telah lewat dan waktu telah membuktikan bahwa tak ada apapun yang akan terjadi padaku. Kenyataan pahitnya bahwa aku bukan hanya tak menjadi seperti mereka, namun sama sekali tak mendekati.
Mereka percaya diri, cerdas sekaligus memiliki bentuk tubuh tingkat 'setan'. Dan aku tidak memenuhi satu pun syarat di atas. Aku pernah mengenakan crop top yang kupadu dengan jaket jeans, dan orang-orang mulai meliriki perutku yang tak benar-benar kurus.
"Hanya orang-orang yang memiliki otot di perut yang bisa mengenakan crop top," bisik Pepper Chen padaku sewaktu di kelas. Aku tak berani merekam ulang kejadian hari itu di kepala, tak bisa mengatakan betapa malunya aku.
Setelahnya, tak pernah sekalipun aku mengungkit tentang fashion. Tubuhku tak pernah terlahir untuk itu. Aku tak terlalu tinggi dan tak cukup kurus untuk menjadi stylish, dan aku tak punya kepercayaan diri seperti mereka.
Aku tak pernah terlahir untuk itu.
Di depan lorong kelas, Kevin Goh dan Melly Ho tengah berpelukan, tertawa lalu berciuman, membuat orang yang lewat menepi, malu atau bahkan memerah. Beberapa yang lain melirik atau mendengus kesal, seolah ingin meneriakkan bisakah-kalian-melakukannya-di-tempat-lain?
Apa rasanya dicium?
"Hanna,"suara Pepper menarikku kembali dari lamunan, "Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak ada," jawabku cepat.
"Tadi kau mengatakan 'Apa...' apa?" Pepper Chen tak menyerah.
"Tidak ada. Aku hanya...berbicara sendiri."
"Oh,"Pepper menampilkan ekspresi seolah tengah menatap orang kuper, dan aku mulai mengutuki diri mengapa tak memikirkan alasan atau sesuatu yang lebih pintar, seperti: "tengah melafalkan catatan" atau semacamnya. Tapi kemudian Pepper melepaskanku, kembali fokus pada laptop di depannya. Pepper duduk di samping depan, dan ia hampir mendengarku? Seluruh saraf wajahku memerah. Apa yang baru kukatakan?
Waktu tersisa lima menit sebelum kelas dimulai. Dan masih sekitar sepuluh tempat duduk yang kosong. Sebetulnya, ini bukan sesuatu yang aneh. Kelas bisa dengan ajaibnya penuh sebelum kelas dimulai. Suasana pagi seperti ini selalu terasa nyaman, segar namun belum benar-benar terbangun. Rasanya semua orang masih merindukan kehangatan selimut namun segar setelah shower pagi. Percampuran segar dan masih belum benar-benar terbangun.
Aku kembali fokus pada catatan di atas mejanya, tapi lima detik kemudian tanpa benar-benar bermaksud, tanpa sengaja aku melirik kembali ke lorong depan ruang kelas. Kevin Goh telah hilang dari pandangan, sementara Melly Ho berjalan masuk kelas dengan wajah merona bahagia dan kotak makanan di tangan kanannya, sementara satu kantong cemilan serta minuman ringan tergantung di tangan sebelahnya lagi. Ia masuk disambut dengan seruan "Waa" dari beberapa gadis lainnya, yang membuktikan bahwa sepasang itu merebut perhatian seisi kelas, bukan hanya aku.
"Kevin membuatkan sarapan pagi ini," Melly memamerkan kotak berisi pangsit di tangannya, dan berpasang-pasang mata menatapnya dengan iri.
"Hei," Samuel Tan memasuki kelas sambil merebut perhatian semua orang dari Melly Ho, "Aku punya voucher K-King, ada yang mau karaoke Jumat ini?" katanya sambil mengibaskan kupon di tangannya. Jumat, yang berarti esok malam. Beberapa orang sibuk mendaftarkan nama mereka, membuat sekumpulan pasukan yang mungkin siap menghancurkan K-King.
"Ah," seseorang menyadari sesuatu di voucher, "Potongan harganya hanya berlaku tengah malam."
"Itulah mengapa cuma 150 yuan." jawab Samuel santai.
"Kau gila. Tak ada yang mau nyanyi selama 5 jam tengah malam begitu,"Melly Ho memutar bola matanya.
"Makanya kuajak ramai-ramai," Samuel membela diri.
Meski kebanyakan terlihat seperti memprotes, tapi aku berani bertaruh, mereka tetap akan pergi. Mereka hampir selalu seperti ini. Sesuatu yang Samuel tawarkan kedengarannya gila, tapi sebetulnya tidak juga. Hal ini terlalu normal untuk Guangzhou.
Tapi siapa yang akan benar-benar menganggap ini gila? Sebetulnya, Papa dan Mama. Mama akan bilang "hal bodoh dan tak ada gunanya yang dilakukan anak muda zaman sekarang,"sedangkan Papa akan mengangguk dan bilang "Mamamu benar". Dan aku telah berjanji, membuat janji besar bahwa ia takkan pernah melakukan kesalahan-kesalahan bodoh yang akan merusak hidupku-- seperti, selamanya. Aku telah belajar, bahwa sekali saja kau melakukan kesalahan, dan hidupmu akan hancur. Ya, aku bukannya memiliki pedoman ini tanpa dasar, aku telah menyaksikan bukti nyata dalam hidup. Papa Mama hanya tak mau diriku terjerumus seperti anak-anak lainnya, dan mereka selalu benar.
"Hanna?" Samuel menangkap basah mataku yang tengah mengarah pada mereka.
"Eh," Bagus, dan sekarang semua orang melihat ke arahku. "A-aku tak bisa..."
"Kita pergi akhir pekan," bujuk Samuel.
"Aku ha-harus mengejar deadline bahan presentasi," suaraku terdengar seperti anak kambing yang mengembek pelan.
"Oh...oke," meski ia menampilkan ekspresi kecewa, Samuel masih tersenyum lembut, lalu membujuk yang lain. Meski begitu, aku tak yakin Samuel betul-betul kecewa. Mereka akan punya acara weekend yang meriah dengan atau tanpaku. Selama hamper empat tahun bersama dalam satu kelas, aku bahkan tak pernah ikut dalam acara apapun. Samuel hanya berbasa-basi. Mereka bahkan mungkin tak pernah sadar tentang kehadiranku.
Lagipula, aku takkan mungkin mengambil resiko. Aku takkan pernah mungkin hadir dalam acara karaoke gila tengah malam, meski kedengarannya...menyenangkan-- sepertinya. Aku akan kembali dan berkutat pada buku dan bahan presentasi saja untuk Senin depan.
Lima menit setelah kelas seharusnya dimulai, Laoshi Hou melangkah masuk dengan terburu-buru, pertanda bahwa ia sadar dirinya terlambat. Ilmu Jurnalisme. Sungguh, pelajaran paling membosankan diantara seluruh mata kuliah. Laoshi Hou akan menerangkan (yang sesungguhnya membaca kalimat di buku) dan yang bisa kau lakukan hanya memberi stabilo apa yang ia 'terangkan'. Hanna bahkan pernah mendengar seseorang mengeluh bahwa ia tak pernah mengerti seluruh isi pelajaran, dan ketika semua orang mengira hanya Hanna Choo dan Pepper Chen yang berantusias mencatat seluruh isi pelajaran, mereka tak tahu sebetulnya diriku sama membenci pelajaran ini sama seperti semua orang.
Kamis selalu terasa berat. Seisi kelas menghabiskan satu setengah jam yang lebih seperti setengah tahun hingga waktu habis. Dan ketika kelas benar-benar selesai, semua orang bagaikan kawanan kambing yang lepas dari kandang.Aku akan menghabiskan hariku dengan makan siang, perpustakaan, lalu kamar. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Hidup yang selalu penuh dengan pelajaran dan nilai. Apa daya, siapa suruh aku masuk ke Jinan University!
Aku berada di salah satu universitas ternama sepenjuru negeri, dan sudah berupa keajaiban bisa diterima di dalamnya. Jadi aku takkan membuat sedikitpun kesalahan. Aku bukan murid pintar seperti Samuel Tan atau siapa, tapi setidaknya, aku tak ingin jadi yang tertinggal.
Hidup seperti gelombang yang berputar terlalu tinggi dan terlalu rendah. Mengerikan. Karenanya, lebih baik berada di tengah-tengah. Orang-orang takkan pernah memerhatikan atau menghakimimu.
Jumat pagi terasa jauh lebih ringan karena Ilmu Periklanan jauh lebih menyenangkan dan berupa pelajaran pilihan. Setidaknya kau bisa menghela sedikit nafas lega, dibanding pelajaran tetap. Tapi perkara aku tak punya aktivitas lain selain belajar, hari dengan makan siang-perpustakaan-kamar.
Hidup tak pernah jauh berbeda. Aku baru selesai membuat catatan ringkasan minggu ini di atas kasur, dan terduduk diam. Dan sekarang aku tak tahu harus berbuat apa, dimana aku tak punya rencana lain. Bagaimana acara karaoke Samuel Tan dan yang lainnya? Sekarang pukul 21.30, seharusnya mereka belum berangkat. Jam promosi dimulai pukul 23.30. Bagaimana rasanya berada di sana? Bagaimana jika orang-orang diam-diam 'menyelundupkan' makanan ringan dalam tas sehingga mereka bisa bernyanyi, minum minuman ringan dan mengunyah cracker. Kedengarannya menyenangkan. Oh oke, aku memang tak pernah dan tak mungkin berada disana, tapi sepertinya seru.
Tanpa sadar aku menghela nafas panjang. Sekarang apa yang akan kulakukan? Mungkin aku bisa menonton beberapa acara hiburan di internet, atau mendengar musik...ah, dengan snack seperti latiao.
Ketika itu pula handphoneku berbunyi. Dan aku harus meraba benda yang tenggelam itu diantara lautan selimut.
"Hanna," suara Mama terdengar lembut, tapi ia selalu berbicara dengan nada rendah, yang membuatnya selalu terdengar tegas dan siap memerintah.
"Halo Ma."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku baru selesai...em," aku memindahkan tumpukan buku ke atas meja dan menjatuhkan diri di atas kasur, "Mengulang pelajaran." Dan aku tak berbohong.
"Apa kau punya bolpoin dan kertas sekarang?"
"Apa?"
"Bolpoin dan kertas. Aku ingin kau mencatat sesuatu," perintah Mama, sehingga aku terpaksa merenggangkan pinggang dan seluruh badanku untuk meraih acak sebuah buku di ujung meja, dan juga sebatang pena.
"156-8820-1-0-99."
Aku mengangkat sebelah alis, dan sebelum sempat sepatah katapun kuucapkan, Mama menimpali. "Itu nomor telepon Andreas Lee, ia seorang pengacara. Ia juga berdomisili di Guangzhou, jadi maksud Mama, kau bisa mengontaknya."
"Tapi untuk apa?" Untuk apa aku mencari pengacara? Aku bukan calon tahanan atau semacamnya.
"M-hm," Mama mengiyakan, lalu terdiam sejenak sebelum berkata: "Mama mengirimkan fotomu padanya. Dan anak itu bilang kau lumayan."
Untuk sesaat, sedetik terasa berlalu terlalu lambat dan kosong. Aku tak bisa memikirkan apapun. Rasanya seperti dunia di sekitarmu bergerak amat sangat lambat sehingga lebih seperti tengah mengapung, dan segala sesuatu dalam otakmu kosong. Tapi kemudian segala kembali normal, dan keheningan diantara saluran telepon mereka berdua.
"Ma-mama," aku tak bisa menahan untuk menelan ludah, "Menjodohkanku?"
"Ya, sudah waktunya bagimu..."
"Ta-tapi aku tak kenal orangnya…"
"Oh, Andreas Lee bukan orang asing. Ia dan Papamu sudah saling kenal beberapa bulan lalu. Dan lagipula, ia calon pengacara, Hanna. Lulusan gelar master di Pecking University. Kau bayangkan!"
"Aku dan Papamu tak sembarang memilih orang. Andreas jelas memiliki masa depan cerah dan tinggal tunggu waktu hingga ia-"
"Tapi aku tak mau," sekarang suaraku lebih terdengar seperti tengah merengek, lemah dan tak punya kuasa.
"DAN begitu kau lulus setengah tahun kedepan, kalian bisa menikah dan membangun rumah tangga."
Menikah? Mama bilang menikah?
Makan malam yang baru dicerna dalam usus, yang berupa mie seafood yang dibungkus aluminium foil dan selalu dapat posisi favorit utama dari seluruh makanan di universitas, sekarang rasanya menggelikan dan ingin kumuntahkan semuanya.