Aku tak pernah menyangka dalam suatu masa hidupku akan pernah satu kelompok dengan Katie Leung. Kami tidak saling mengenal, tidak satu kelas, dan tampaknya hidup kami tak pernah memiliki garis yang akan menghubungkan kami. Tapi ini terjadi, di suatu Selasa pagi dalam kelas Laoshi Han, ketika ia mengacak nomor siswa dalam aplikasi di laptopnya, dan seisi kelas melihat pembagian nomor masing-masing di layar pancar depan kelas. Kelas Laoshi Han sendiri adalah kelas lainnya selain milik Profesor Zhong yang juga berupa kelas besar, menggabungkan tiga kelas sekaligus dalam satu ruangan melingkar besar.
Nomorku berupa nomor terakhir yang dimasukkan dalam kelompok, dan semua orang menatap iri pada nomor keberuntungan itu. 201909013. Untukku sendiri, pengalaman ini akan menguras segala daya jantungku untuk berdetak cepat. Jujur aku tak pernah mengharapkan hal ini sebelumnya. Katie Leung adalah spesies wanita yang saking sempurnanya, kau akan mulai meragukan apakah manusia pada dasarnya berbeda jenis. Ia punya pinggang setipis HVS, bokong kecil dan kaki jenjang yang bisa membuatnya melangkahi gunung. Terlebih lagi, wajah barbienya itu membuatnya terkenal seantero sekolah. Tak hanya fisik, segala sisi dalam dirinya memang dimaksudkan untuk memiliki hidup yang tak biasa. Keluarganya memiliki pundi-pundi yang tak terbatas, yang membuatnya selalu tampil dengan high heels bermerk serta jaket kulit.
Aku tak pernah berbicara dengannya sebelumnya, ataupun mahasiswa lainnya yang setipe dengannya. Kukira ia takkan mempedulikan keberadaanku, tapi nyatanya ia cukup baik. Ia mengulurkan tangan dan menanyakan namaku, tanpa repot-repot mengenalkan nama miliknya, seperti seolah aku memang sudah semestinya mengetahuinya. Dan meski aku tak mengenalnya sebaik yang seharusnya, aku tahu namanya.
Kami butuh menyelesaikan sebuah proposal untuk program malam kebudayaan universitas, dan tentu saja ini hanya perumpamaan. Kami bukannya belum pernah membuat proposal di tahun-tahun pertama kuliah dan ini bukan hal baru, hanya saja Laoshi Han cukup psikopat untuk membuat kami harus mengumpulkannya sebelum akhir pekan, dan siapapun itu akan menahan nafas mendengarnya.
Kami berkumpul di Kamis siang, setelah Katie Leung dan teman-temannya terlalu sibuk di dua hari sebelumnya untuk mempersiapkan diri mereka yang akan tampil di acara yang tak kuketahui, sehingga kami harus menghabiskan Kamis cerah dan melaluinya penuh tekanan. Waktu kami hanya tersisa setengah hari untuk menyelesaikannya dan meletakkannya di meja Laoshi Han keesokannya.
Kami telah duduk selama hampir tujuh jam di kelas dengan laptop di hadapan masing-masing, dan mata kami mulai kelelahan. Aku tak berbohong kalau pinggang dan leherku pegal, sehingga aku mulai mencoba mengerjakannya sambil berdiri, dan hari di luar jendela sudah gelap.
"Bagaimana kalau kita selesai sampai disini untuk hari ini?" usul Cai Hong, menunjukkan bahu dan lehernya yang menderita.
"Setuju," timpal Dessy Liang, dan mereka berdua menatap pada Katie Leung dengan penuh harap. Bagaimanapun, kata-kata Katie Leung yang berlaku. Segala ide dan keputusan ada di tangannya. Bahkan sebelum ia selesai mengutarakan pemikirannya, semua orang akan setuju dengannya. Sebagai anggota, aku hanyalah orang yang diharapkan menunggu keputusan dan pembagian tugas dari mereka.
"Ah," Katie Leung menengadah dari laptopnya, "Aku juga lelah, otot lenganku mulai kram," keluhnya.
"Kalau begitu kita istirahat dulu malam ini," bujuk Cai Hong.
"Ya, tapi aku takut kita takkan menyelesaikannya tepat waktu. Kita punya satu hari yang tersisa."
Diam-diam aku meliriki mereka melalui layar laptopku, dan mendapati mereka tengah menatapiku. Untuk sesaat aku terkesiap, namun kemudian Katie Leung menatapku dengan lembut.
"Hanna, kau bisa membantu kelompok kita?" ucapnya penuh harap. "Kami ingin sekali mengejar projek kita, tapi…kau tahu."
Katie menunjukkan leher dan bahunya yang kelelahan.
"Emm, Ya, aku ju-…," aku ingin mengatakan diriku merasakan kelelahan yang sama.
"Ya? Kau akan membantu kita?" tanyanya kegirangan, "Terima kasih, Hanna!"
"Hanna, kita sudah menyelesaikan hamper setengahnya. Sisa setengah isi pasti takkan sulit diselesaikan. Kami yakin kau bisa," timpal Cai Hong.
"Eh…ya," aku mengerjap beberapa saat, mereka salah mengartikan maksudku, "Aku akan semangat," kataku pada akhirnya.
Akhir cerita, mereka meninggalkanku dengan sisa lima belas halaman yang perlu diselesaikan. Kegiatanku tak sebanyak mereka. Gadis-gadis bak model itu—selalu punya kegiatan yang tak ada habis-habisnya yang tak pernah kumengerti. Jadi mungkin tak ada salahnya aku yang dipilih untuk menyelesaikan tugas ini.
Mungkin butuh lembur beberapa jam mala mini dan terbangun awal sekali di esok hari untuk benar-benar menyelesaikannya. Jiayou, Hanna! Lagipula aku akan segera tamat setengah tahun ke depan, dan semua penderitaan mengenai skripsi dan proposal akan berakhir.
Kemudian aku memutuskan tak ingin sendirian di kelas kosong pada jam –jam malam seperti ini, sehingga sebaiknya aku melanjutkan sisanya di kamar. Lagi pula, aku butuh kopi dingin untuk menemaniku malam ini.
Aku berjalan ke lantai satu arah mesin penjual minuman sebelum membawa beberapa kaleng minuman dingin untuk pulang, dan ketika itulah terdengar gema suara para wanita yang kukenal. Mereka berbicara, tertawa dan baru saja mengambil minuman yang jatuh dengan suara "Pong" di mesin, lalu berjalan ke arah pintu.
"Mudah sekali anak satu itu," tawa Cai Hong.
"Kalau ia tak semudah ini, kita masih akan duduk di kelas," Katie Leung memperingatkan, "Kalian harusnya bersyukur."
"Itu sebabnya tak ada yang peduli padanya. Hidup bagai kaleng kosong."
"Aku akan semangat!" mereka menirukan suaraku, kemudian meramaikan seisi gedung kosong yang gelap ini dengan suara tawa mereka.
Bayangan mereka berlalu di pintu, kemudian masuk dalam sebuah BMW merah yang segera menghilang dalam pandangan. Aku menekan tombol mesin beberapa kali, sebelum kaleng dingin itu jatuh. Aku hendak meraihnya, namun peganganku tak cukup kuat sehingga kaleng itu terbanting jatuh dan menggelinding di lantai, semburan kopi di dalamnya yang bocor menodai sepatu putihku.
Aku tak apa-apa ketika orang kelas tak pernah menganggapku, dan aku tak menangis ketika Mama menyuruhku untuk menikah, aku tak mengeluh ketika Pepper memandangku dengan sebelah mata, dan aku tak keberatan ketika mereka memintaku untuk mengerjakan sisa dari projek kami.
Tapi kopi kaleng sialan ini telah melewati titik yang bisa kuterima, dan aku mulai terisak.
Aku akan semangat. Mereka bergantung padaku, kan?
Tapi kemudian tangisku mulai menjadi, air mata mengalir menuruni mata, pipi dan daguku. Yang mereka bicarakan bukan diriku, kan? Mungkin aku salah dengar?
Katie Leung lemah lembut, ia tak mungkin sedingin itu. Pasti aku salah dengar.
Aku tak pernah tahu apa pendapat orang-orang tentangku. Dan itukah kata mereka? Tapi aku berusaha membantu!
Aku membenamkan wajah di selimut begitu sampai di kamar, masih terisak. Guangzhou tak pernah jadi kota yang bersahabat, sebaliknya, Guangzhou lebih berupa kota yang dingin.
Diriku yang berusia 15 tahun pasti akan menertawaiku yang sekarang. Apa yang akan ia pikirkan ketika mengetahui masa depan dirinya berupa bongkahan diri yang lemah dan kaku, tak dipandang semua orang di kota metropolitan?
Semuanya jauh dari yang pernah kubayangkan. Aku tak menjadi seperti wanita-wanita Guangzhou lainnya, karena aku tak terlahir seperti mereka. Mereka seperti memiliki gemilang yang melekat di tubuh mereka, dan aku tidak.
Aku benci hidupku.