MENGAPA aku menyimpan kaos dan kemeja jadul selama bertahun-tahun lamanya? Kenapa aku bahkan punya kaos putih yang sebetulnya tak terlalu putih lagi, dan kemeja kotak-kotak model zaman purba.
Aku tengah membongkar tumpukan isi lemari yang lebih seperti kapal pecah, dan hampir tenggelam diantaranya. Aku mengepel lantai, membongkar lemari, membongkar isi laci,membuang kertas-kertas bekas yang selalu kutumpuk sebelumnya di bawah meja, dan menggosok toilet. Hari ini lebih seperti hari bersih-bersih, dimana sudah saatnya aku membuang segala sesuatu yang tak benar-benar kubutuhkan.
Kaos yang warnanya pudar, celana kelonggaran, kemeja yang tak pernah kupakai serta kotak hitam berisi teddy bearkecil di dalamnya. Teddy bear itu menggemaskan dan lembut, namun mengingatkanku sesuatu yang tak ingin kuingat, sesuatu seperti Pei Lin. Karenanya kumasukkan kotak hitam itu dalam tumpukan koper dan benda-benda yang tak akan kusentuh.
Kalau aku ingin memulai hidup baru, aku perlu merombak ulang dari berbagai sisi, seperti jeans panjang dan kaos kebesaran yang tak pernah kusuka. Kenapa aku bahkan memakai mereka selama bertahun-tahun sebelumnya?
Karena aku tak pernah sekurus Jennifer Hong atau Katie Leung, tak punya pinggang ramping atau kaki jenjang seksi.
Tapi dengan memulai sesuatu yang baru, berarti melangkah ke jalan yang tak pernah kau coba sebelumnya. Dan mengingat kalau waktu ternyata punya batas, seperti mengingat kau takkan hidup selamanya, dan batas waktumu hampir habis, kau mulai memikirkan apa yang sebenarnya betul-betul kau inginkan.
Dan setelah kau telah bergumul bertahun-tahun tentang apa yang dipikirkan orang-orang tentangmu, sama seperti gula yang telah terlalu lama kau masak dalam panci, ia akan berubah jadi cairan lengket yang membuatmu geli. Sekarang, apa kata orang kelihatannya tak terlalu penting lagi. Jadi semenjak Kamis lalu-- setelah mendapatkan gaun kuning dan teman-temannya, aku mulai mengenakan pakaian yang benar-benar kuinginkan.
Aku mulai mengenakan terusan berwarna merah muda cerah yang menampilkan lekuk-lekuk tubuhku, dan aku menyukai terusan itu. Terlebih lagi, aku memadukannya dengan pita biru-merah yang kuikat di leher.
Dan begitu kau memutuskan untuk berubah, dunia berubah untukmu. Kemudian aku memadukan rok jumpsuit dengan kemeja super besar kotak-kotak biru-putih-merah, dan orang-orang mulai melirik ke arahku di kelas.
Biasanya nyaliku akan menciut dan mundur, tapi kali ini aku belajar untuk tak mempedulikan mereka. Sama seperti ketika mereka tak peduli padaku. Dan belajar untuk melepaskan hal satu ini telah membuatku jauh lebih bahagia.
Ini adalah langkah pertama yang pernah kulakukan, sesuatu yang benar-benar kulakukan untukku. Dan sekarang rasanya lebih jelas tentang apa yang kuinginkan, sehingga sudah waktunya merombak isi kamarmu. Sama seperti ketika kau memutuskan untuk membuang hal-hal yang tak kau inginkan dalam hidupmu.
Saat ini sesuatu di dalam tumpukan baju yang hendak kubuang bergetar. Butuh waktu lima detik untuk menyadari bahwa itu adalah getaran handphone yang tenggelam di dalamnya. Dan butuh setengah menit lainnya untuk mengais, mencari harta dalam gunung.
Di hari Minggu seperti ini, jarang ada yang mencari. Ya, anak-anak kelas mungkin akan keluar dan bersenang-senang, tapi jarang ada yang pernah mencariku. Apa mungkin Samuel Tan yang lagi-lagi punya voucher promosi K-King?
Mama.
Tapi aku terlanjur memencet tombol hijau.
Setelah terakhir kali kami berbicara, aku tak pernah tahu apakah kami masih bisa saling memahami satu sama lain. Dan setidaknya aku tahu apa yang akan ia katakan dan untuk apa ia menelepon.
"Hanna," suara dari seberang terdengar tergesa-gesa, seperti Mama tengah berjalan melalui jalanan ramai sehabis berbelanja.
"Kau belum mencari Andreas Lee," lanjutnya, tak memberiku kesempatan bahkan untuk menyapa kembali, "Sudah lebih dari seminggu semenjak aku menyuruhmu dan masih belum juga kau kerjakan. Kau terlalu lamban."
Mama menekankan kalimat terakhir, hampir membentak.
"Aku tak mau," jawabku, lebih seperti berbisik, ketika kekosongan mengisi pembicaraan diantara kami.
"Apa maksudmu?" Bentaknya kesal.
"Aku tak mau dijodohkan. Aku tak berpikir perlu kenalan dengan Andreas Lee. Dan terlebih lagi, aku tak mau menikah." Aku berhasil mengatakannya. Aku berhasil. Baru saja. Rasanya seperti melepaskan uap panas yang telah menggepul dalam dadamu selama beberapa minggu terakhir.
Lalu hening. Mama tak menjawab, dan tak ada yang berbicara diantara kami. Dan hal yang paling kubenci di dunia adalah menunggu. Menunggu tak pernah lebih menyiksa dari apapun, bahkan hanya untuk satu menit. Aku yakin mukaku pasti sudah membiru dan mati kehabisan nafas kalau Mama tak kunjung bicara, karena ternyata aku menahan nafas sembari menunggu kalimat dari Mama. Tentu saja aku tak sengaja.
"Jadi apa maumu?" suara dari seberang sedingin es, dan itu artinya Mama marah. Jangan salah, ia bisa jadi sedingin-dinginnya ketika dalam mood jelek.
"Jadi apa maumu,",ulang Mama.
Dan mendadak aku tak bisa memikirkan apapun. Jadi apa mauku?
"A-aku...tak tahu," kuakui.
"Kau tak tahu?" Bisa kubayangkan wajah Mama di depanku, dengan tanpa ekspresi namun tatapan setajam silet yang bisa menembus ke dalam lapisan-lapisan dirimu. Bahkan aku merasa setiap kalimat Mama menancap hingga ke dalam daging-daging di dalamku meski hanya melalui telepon. Dan di setiap saat-saat seperti ini, aku merasa malu atas betapa dungu diriku.
Aku tak bisa berhenti mengutuk diri atas bagaimana aku tak pernah memikirkan alasan sebelumnya untuk membantah.
"Katakan padaku, Hanna-- selain memegang buku pelajaran, apa ada hal lain yang bisa kau lakukan?"
"A-aku...," dan aku tak bisa menyelesaikan kalimatku.
"Anak Jinan University namun tak punya rencana masa depan. Bagus sekali," sindir Mama. Dan tanpa menunggu jawaban atau penjelasan apapun, Mama memutuskan sambungan.
Aku tak memikirkan hal itu sebelumnya. Apa yang kuinginkan? Bagaimana bisa Mama tiba-tiba menanyakan hal seperti itu, sedangkan ia dan Papa tak pernah peduli pada apa yang benar-benar kuinginkan selama dua puluh tahun terakhir.
Dan lagi, mereka berdua tak pernah percaya pada tentang apa yang benar-benar bisa kulakukan. Buktinya, mereka ingin aku menikah setelah lulus! Ini menyakitkan, dimana kau telah berkuliah di universitas ternama dan orangtuamu masih tak percaya kalau kau bisa melakukan sesuatu.
Tapi-- hei, bagaimanapun aku lulusan Jinan, setidaknya pasti ada perusahaan yang mau menerimaku, kan? Aku menelan ludah. Seolah garam ditabur diatas luka, tapi didalam diriku tak bisa menyangkal kalau Mama benar.
Seorang mahasiswi berusia 22 tahun yang akan segera lulus, dan masih tak tahu jalan yang akan diambilnya.