Pukul 21.35.
Aku lelah. Tenaga dan airmataku telah terkuras selama beberapa jam terakhir, dan aku mulai berhenti terisak. Langit-langit dan dinding kamarku putih polos, sunyi dan aku benci bagaimana ruangan ini mengingatkanku pada hidupku yang kosong dan kaku. Jadi aku bangkit, meraih mantel hitam panjang dan tanpa berpikir panjang, keluar dari kamar. Aku butuh angin segar, dan melihat kota malam selalu jadi keinginan yang tak pernah terpenuhi selama ini kan? Jadi mengapa tidak.
Gemerlap cahaya lampu dari segala arah begitu ramai, sehingga malam tak pernah terlalu larut untuk ukuran kota megapolitan seperti Guangzhou. Dan lagi, keramaian tak pernah sirna. Di sepanjang jalan, kau bisa banyak menemukan para karyawan yang baru pulang setelah lembur dan tengah mencari makanan ringan, ibu yang membawa anaknya pulang dari berbelanja, atau kelompok anak muda yang baru saja keluar dari toko pakaian dan semacamnya.
Dan ketika aku menatap ke langit yang memerah setelah pancaran sinar lampu dari para pencakar langit, aku memikirkan bagaimana selama ini aku telah menghancurkan hidupku. Jujur saja, kalau aku adalah salah satu dari Cai Hong atau Dessy Liang, mungkin aku akan sama menertawakan diriku sendiri. Meski mungkin aku takkan meninggalkan anggotaku untuk mengerjakan proposal sendirian.
Aku melewati deretan etalase kaca yang memajang patung dengan gaun dan topi lembut, dan mulai memikirkan betapa aku hampir tak pernah berbelanja seperti para gadis lainnya.
Di pojok deretan toko, sebuah restoran kecil dengan cahaya kuning hangat memancar dari dalam. Itu adalah restoran yang selalu membuatku penasaran selama bertahun-tahun berjalan di area ini. Pojokan kecil bernama BOB'S, dan terkadang ia tampak seperti restoran kecil, terkadang lagi lebih seperti pub. Tanpa ragu aku mendorong pintu kacanya, dan ternyata ini adalah restoran musik. Mereka memiliki panggung kecil yang sekarang kosong tanpa orang, begitu juga dengan deretan meja yang tersedia, kosong hampir tanpa pelanggan. Hanya satu wanita berjas yang tampak lelah dan tengah menatap tab di atas mejanya, sambil merilekskan diri dengan minuman dan musik.
"Ada yang ingin Anda pesan?" seorang pelayan menghampiri, membawa menu yang ia letakkan di atas meja setelah aku duduk untuk beberapa saat.
Sebetulnya, di restoran sekecil ini hanya terdapat dua pelayan, dan aku tak yakin keduanya benar-benar pelayan. Mungkin mereka adalah pemilik sekaligus pelayan disini. Seseorang tengah mencuci gelas-gelas kosong, dan satunya lagi tengah menawarkan menunya padaku. Ia bahkan tidak memakai seragam, melainkan kaos polos santai dengan jeans, namun ia mengenakan topi yang menutupi setengah wajahnya.
"Aku ingin itu," bisikku dengan suara serak. Aku bahkan tak melirik menu yang ia bawa, tapi menunjuk pada gelas dengan cairan merah berkilau yang menggoda di atas meja di ujung ruangan milik wanita yang berupa pelanggan satu-satunya sebelum aku datang.
Aku ingin mencoba sesuatu yang belum pernah kucoba sebelumnya. Aku benci hanya pernah memesan teh atau minuman soda di setiap kali makan diluar. Aku gerah.
"Itu Martini,"pelayan itu mengingatkan.
"Ya, aku mau itu," aku menjawab dengan yakin tanpa tahu apa itu Martini.
Pelayan itu menatapku, terdiam sebelum akhirnya mengatakan: "Kadar alkohol di dalamnya mungkin takkan cocok untukmu."
"Tapi aku mau itu," aku bersikeras. Aku belum pernah mendapatkan apa yang benar-benar kuinginkan sebelumnya, dan sekali ini, aku hanya menginginkan minuman yang benar-benar kuinginkan.
"Aku selalu berpikir…semua orang selalu terlihat bersinar. Dan aku tidak. Aku hanya ingin berkilau sama seperti semua orang lainnya."
Aku tak tahu apa yang benar-benar kukatakan, tapi lagi-lagi ujung mataku mulai basah. Dan nyatanya, pelayan ini mendengarkanku dengan seksama. Meski mungkin ia akan mengira diriku gila. Tapi pelayan itu hanya mengangguk, dan pergi tanpa berkomentar apapun.
Ini pertama kalinya aku pernah ngotot .
Jangan salah, aku tak bodoh. Aku hanya akan mencicipi seteguk cairan bernama Martini itu, lalu meninggalkannya di meja. Tapi aku menginginkan sesuatu yang benar-benar kuinginkan, bukan apa yang selalu dikatakan orang-orang.
Di luar jendela, seorang wanita tengah baya berjalan menelusuri trotoar dengan gaun panjang biru tua yang berkibar di ujung kaki, dipadu dengan rambut hitam-pirang (yang dicat) disanggul di belakang dan terlihat seperti rol yang berkilau. Gaun birunya indah, berkibar bagai lembaran kelopak bunga yang ringan dan lembut di setiap langkahnya berjalan.
Melihatnya aku teringat pada sepatu yang dipakai Jennifer Zhang, sepatu kets yang pernah kuinginkan ketika dipajang pertama kalinya di etalase toko-toko tahun lalu. Perempuan selalu punya sesuatu yang menonjolkan diri mereka, sesuatu yang menunjukkan jati diri.
Pelayan itu datang dengan sebuah gelas di atas nampannya. Cairan bening bersoda dengan warna jingga berkilau di dasarnya.
"Ini bukan minuman yang kumau," keluhku.
"Ini memang bukan martini," pelayan itu meletakkan gelas tersebut di atas meja, "Tapi cocktail."
"Aku bukannya me-..."
"Ini memang bukan Martini, tapi minuman ini lebih enak rasanya dan...berkilau," pelayan itu menunjuk ke dalam gelembung yang berkilau di tengah cairan.
Aku memerhatikan buih-buih kecil di dalam gelas, dan mereka terlihat seperti butir-butir mutiara yang berkilau.
"Kuberi setengah harga," pelayan itu bersikeras.
"Te-terima kasih," jawabku setelah terdiam beberapa saat. Aku tak mendapatkan apa yang kupesan, tapi minuman satu ini tampak jauh lebih menarik disbanding sesuatu bernama Martini itu.
"Kenapa kau tak menjadi sinarmu sendiri?" Pelayan itu bertanya tiba-tiba.
"Karena…aku tak terlahir untuk itu. Aku tak bisa."
"Coba kau pikirkan kembali kata-katamu."
Aku tak pernah kalimat seperti ini akan muncul dari mulut seorang pelayan. Ia lebih terdengar seperti guru SMA-ku ketika di kelas.
"Kapan terakhir kali kau berbuat sesuatu untuk dirimu sendiri?"
Pertanyaannya membungkamku. Aku tak punya jawabannya. Kapan terakhir kali aku pernah membelikan sesuatu untuk diriku sendiri? Kapan aku pernah melakukan sesuatu yang benar-benar keinginanku? Kapan aku pernah mulai memikirkanku sendiri?
Pikiran tentang gaun biru wanita tadi dan sepatu milik Jennifer Zhang kembali terlintas dalam pikiran, aku membutuhkan sesuatu seperti itu untukku sendiri.
Ya, aku butuh sesuatu untuk diriku sendiri.
*
Dahulu sebelum aku mengerti apa-apa tentang dunia, aku pernah menjadi anak perempuan yang giat ngomong, yang takkan bisa menahan diri untuk diam per sepuluh detik, tak ada yang bisa menang berdebat denganku. Aku mengumpulkan pasukan teman-teman kelasku ketika SD kelas satu, dan menjadi Ratu yang memerintah kerajaan. Di usia enam tahun aku pernah naik ke atas panggung untuk pentas di hari ulang tahun sekolah dengan memakai gaun putih berkilau dengan sayap di belakangnya, lalu menyanyikan Selamat Ulang Tahun seorang diri.
Sejak kecil aku selalu menjadi anak yang paling menarik perhatian guru karena kecerdasannya, mulutnya yang tak pernah beristirahat serta kepercayaan diri tinggi. Aku selalu menjadi apa yang kumau, tanpa berpikir panjang. Dan karenanya, aku selalu mendapatkan apa yang kumau, meski Mama tak pernah senang dengan anak perempuannya yang tidak menunjukkan tanda-tanda lemah gemulai. Masa kecilku terisi dengan petualangan penuh warna, meski pada akhirnya Mama mulai bersikap keras.
Aku tak ingat sejak kapan aku mulai kehilangan diriku.
Sinar matahari pagi menyilaukan, matahari telah begitu bersinar begitu tinggi ketika aku tersadar dari mimpi yang rasanya kosong.
Pukul 10.30.
Kantong mataku masih tetap pada tempatnya, hanya saja jauh lebih baik daripada yang kuingat terakhir kali. Aku beruntung karena hari ini Sabtu, dan kau bisa menghabiskan waktu sepuasnya untuk berguling di ranjang.
Aku bisa saja berbaring sepuasnya. Tapi tidak, aku bergegas menuju kamar mandi, menyirami kepala dengan air dingin, meraih jeans dan kaos yang telah kubenci selama bertahun-tahun, tapi tak punya pilihan lain dalam lemari. Jadi, aku hanya berharap bisa mengakhiri kebencian ini dengan menambah beberapa helai pakaian jenis lain sebagai koleksi.
Untuk pertama kalinya, aku memoleskan foundation dan lipstik pink pucat. Aku pernah membeli sebotol foundation yang ternyata tak pernah digunakan setelahnya, dan lipstik yang berupa hadiah undian acara perayaan natal di supermarket.
Aku tahu apa yang kuinginkan, setidaknya untuk hari ini.
Jadi,omong-omong. Aku memutuskan untuk berjalan di antara deretan toko di Beijing Road. Ya, kedengarannya aneh-- Beijing Road di tengah kota metropolitan Guangzhou. Tapi itulah yang terjadi, entah bagaimana kota-kota besar disini selalu menamakan suatu daerah dengan nama kota lain.
Oke, kembali ke Beijing Road. Aku pernah kesini sebelumnya, satu dua kali-- sementara hampir semua anak muda di Guangzhou akan datang tiap akhir minggu. Ya, surga belanja untuk para kelas menengah. Mereka punya Semir, Baleno, Nike, Adidas, 361o, Zara, Li-ning, Sixty Eight, Meters Bonwe dan sisa toko-toko kecil lainnya yang mungkin belum pernah kau dengar. Di sudut dinding sebuah toko buku dengan susunan bata merah yang klasik, mereka memasang sebuah papan kuning dengan tulisan hitam dengan quotes yang berbunyi:YOU ONLY LIVE ONCE.
Sejujurnya, aku tak bisa membedakan antara Zara dan Semir. Kedua toko tampak ramai dan menarik, sehingga aku memasukinya dengan asal, dan di pintunya tertempel ZARA, tapi kemudian harga yang tertempel dalam label mengejutkan serta mengusirku jauh-jauh.
Aku kembali ke jalanan deretan toko, dan sehelai gaun kuning krimson selutut yang dipakai sebuah patung menghentikan langkahku. Itu adalah tipe gaun yang pernah kuimpikan semenjak beranjak remaja, memikirkan bahwa gaun seperti ini yang akan kupakai ketika besar nanti-- sebelum aku memutuskan jeans dan kaos oblong adalah makananku sehari-hari.
Jadi aku berjalan memasuki toko kecil tanpa merk itu, dan pintunya berbunyi "ding" begitu langkah pertama dipijakkan. Gaun kuning itu masih memikat, dengan kedua tali tergantung di bahu, potongan dada berbentuk hati, bagian pinggang yang cerutannya seolah berbentuk kupu-kupu, dan bagian bawah yang terdiri dari dua lapisan dibiarkan jatuh bebas.
Simpel, polos dan memikat.
"Yang satu ini harga promosi", gadis muda yang merupakan satu-satunya yang berjaga mendekatiku.
"Berapa harganya?"
"Delapan puluh."
Harga yang cukup adil, sebenarnya.Tapi aku perlu mempraktekkan sesuatu, ada tiga aturan pasti yang selalu diajarkan Mama setiap kali berbelanja.
Pertama, jangan pernah menunjukkan ekspresi tertarik meski betapa kau tergila-gila menginginkan benda tersebut. Maka aku menjatuhkan tanganku yang tengah mengelus renda gaun tersebut, mengalihkan tatapanku dari gaun hingga ke perempuan pendek itu.
Kedua, potong setengah dari harga yang mereka buka.
"50", aku memberanikan diri. Oke, 50 bukan setengah dari 80, tapi tetap saja. Ini adalah percobaan pertamaku. Aku belum pernah menawar harga selama beberapa tahun terakhir.
Perempuan muda itu tersenyum, tatapannya sinis, seolah mengatakan: "Yang benar?"
"Itu tak mungkin. Untuk gaun seperti ini, 80 harga mati," jawabnya sinis. Dan ia tampak acuh tak acuh.
Ketiga, berjalan pergi seolah kau tak lagi tertarik membelinya.
Maka aku berjalan ke pintu yang diantarkan dengan tatapan mengejek gadis itu, sebelum akhirnya ia berteriak: "60!"
Menang telak.
"Kuberi harga 60, dan itu benar-benar harga terendah," gadis itu membujuk, berjalan menghampiriku.
"Oke, 60 tak masalah."
"Ini harga yang tak pernah kuberikan pada siapapun. Jangan pernah beritahu siapa-siapa, bilang kau beli dengan harga normal," bisik gadis itu. Dan aku mengangguk dengan pasti.
Sepuluh menit kemudian, aku menghela nafas puas dan memerhatikan betapa cerah matahari siang ini, sementara gaun itu tergantung di lengan kananku penuh kemenangan.