Tiga setengah tahun lalu ketika surat penerimaan JNU sampai di tanganku, Papa dan Mama bahkan tak terlalu senang. Mereka tak senang ketika putri mereka harus berangkat ke Guangzhou.
"Kota besar selalu punya perangkap untuk anak-anak muda," ungkap mereka.
Mama menatapku dengan mata membulat selama beberapa lama, sebelum akhirnya mengatakan "Oh" dengan ekspresi tak terbaca. Sedangkan Papa tampak jauh lebih ceria, menyipitkan matanya lalu berkata: "Sejak kapan kau pernah mendaftar di Jinan?"
Selanjutnya yang terjadi adalah rapat keluarga. Tak ada perayaan atau bahkan ucapan selamat untukku. Semenjak aku bisa mengingat, Papa dan Mama pernah rapat dua kali sebelum mereka mengadakan yang ketiga kali ini. Pertama, ketika mereka berdua memutuskan untuk membeli Toyota hijau tua dari hasil pengiritan biaya bulanan selama setahun terakhir. Kedua, ketika nenek dilarikan ke ICU karena demam panas mencapai 39.5 celcius, dan mereka berdua meninggalkanku untuk tinggal sendirian selama seminggu sementara mereka berjaga di rumah sakit.
Rapat hanya diadakan ketika sesuatu teramat mendadak terjadi atau ketika mereka harus merogoh segepok uang dalam jumlah luar biasa. Yang tak pernah terpikirkan, sebuah surat dari Jinan membuka rapat ketiga. Kukira kami akan makan malam di restoran untuk perayaan atau semacamnya, tapi nyatanya Papa dan Mama duduk di hadapan tepat di depanku, lebih memilih melotot daripada menyelamatiku.
Tapi apa salahnya? Toh, sementara Jinan University bukan universitas sembarang yang mungkin telah menguras peruntunganku seumur hidup untuk diterima di dalamnya. Tapi Papa dan Mama bahkan tak terlihat senang. Nyatanya, mereka tak pernah senang ketika segala berhubungan dengan Guangzhou. Ya, alasannya karena Jinan terletak di Guangzhou.
"Apa yang membuatmu berpikir untuk kuliah di Guangzhou?"
Karena Guangzhou adalah kota impian. "A-aku...aku kira Jinan universitas bagus, jadi..."
Mama mengerang, dan hampir menelanku hidup-hidup. Aku tak pernah tahu mereka anti pada Guangzhou.
Tapi kemudian jawabannya terungkap.
"Aku tak bisa bayangkan kau jadi seperti Pei Lin," suara Mama lebih seperti berbisik.
"Hanna takkan seperti itu," Papa mengelus bahu Mama, merangkulnya dalam pelukan. Dan itu jawabannya, alasan mengapa mengapa kami perlu mengadakan rapat. Alasan mengapa Mama hampir menelanku dengan bola matanya. Alasan mengapa mereka membenci surat penerimaanku.
Tapi pada akhirnya mereka setuju. Mau tak mau mereka harus setuju, dimana mereka tak mungkin menolak Jinan. Mereka tak akan pernah bisa menolak universitas bergengsi seperti itu. Dan Mama murka karenanya, murka karena aku telah memojokkan mereka sehingga tak punya kesempatan untuk memilih 'Ya' atau 'Tidak'.
Mereka akhirnya setuju, tapi hanya ketika aku mengucap janji takkan membuat kesalahan, seperti sesuatu yang akan mempermalukan nama keluarga di Jinan, atau menurunkan nilai, atau bahkan terlihat seperti Pei Lin.
Pei Lin adalah wanita terpandai, tercantik, sekaligus sahabat terbaik yang pernah kukenal—dulunya.
Setelahnya, tinggal di Guangzhou adalah satu-satunya impian yang pernah tercapai, dan bukan berarti aku tak punya keinginan lainnya, seperti: menjelajahi kota malam Guangzhou, menghabiskan sore di Beijing Road, atau ikut karaoke rute tengah malam misalnya. Terkandang lagi, aku hanya ingin diperhatikan. Aku ingin seperti Melly Ho atau gadis-gadis lainnya. Meski aku tahu itu takkan mungkin.
Aku membayangkan hidup yang normal dan sederhana, seperti melamar dan mendapat pekerjaan tetap, lalu melanjutkan hidup di Guangzhou. Aku akan melamar di suatu perusahaan besar, dan menjadi karyawan nantinya.
Saat ini, bel yang terpasang di sudut-sudut lorong berbunyi, dan ketika itu aku tahu aku fix terlambat. Aku masih tak bisa mengatur nafas yang rasanya mengepul dalam paru-paru setelah melewati empat lantai anak tangga. Ya, aku tahu aku butuh olahraga.
Bayang-bayang punggung Profesor Zhong yang tengah melalui lorong menghilang setelah melalui pintu kelas. Dan bahkan setelah aku tiba di depan pintu, tak ada yang memperhatikan. Bahkan Profesor sekalipun. Aku menyelinap di ujung ruangan, mencari bangku kosong di belakang. Tempat duduk tak mudah kau dapatkan ketika terlambat, apalagi di kelas besar tiap hari Senin.
Satu bangku kosong akhirnya menyambutku, yang paling terpojok dan hitungan dua baris dari belakang.Bisa kulihat Pepper dua baris di depan, yang berarti ia gagal merebut bangku. Pepper selalu paling antusias duduk di barisan VIP dalam kelas, dan ketika ia bahkan duduk di barisan belakang, berarti anak-anak kelas yang lain tak ada yang dapat tempat duduk bagus. Orang-orang sekelas terpencar dalam kelas besar seperti ini, ya, persentase minimum untuk dapat barisan depan ketika total tiga kelas digabungkan dalam satu kelas besar-- khusus Profesor Zhong.
Profesor telah selesai mengatakan sesuatu di depan kelas ketika aku tiba di pintu, lebih seperti kata-kata pembuka. Dan sekarang, semua orang sibuk mengeluarkan buku serta pena. Aku lebih berharap namanya dipanggil sewaktu-waktu, untuk maju dan menyelesaikan presentasi. Jangan salah, bukannya aku suka berdiri dan berbicara di depan-- aku benci itu, tapi lebih baik Profesor mengakhiri penderitaan tanpa akhir ini, setelah aku menghabiskan tiga malam untuk menyiapkan bahan presentasi.
Tapi tidak, selama dua jam aku menunggu, selama itu pula Profesor menjelaskan teori-teori dasar "Teknik Menulis". Sampai kata-kata "Kelas hari ini sampai disini" keluar dari bibirnya, tak ada satu orang pun yang maju. Seisi kelas membereskan buku-buku mereka dan bubar.
"HANNAH!" sebuah suara dari depan memanggil.
Dan ketika aku menengadah, Pepper berdiri tepat di depan, dan ia terlihat kesal. "Aku memanggilmu sedari tadi," ia memprotes.
"Sorry, a-aku tak dengar," dan aku tak berbohong.
"Ya, sedangkan semua orang di barisan terakhir ini mendengar suaraku,"Pepper mendengus. "Jadi," ia berterus terang, "Aku ingin pinjam catatanmu. Aku tak benar-benar mendengar, orang sebelahku bermulut ember dan aku hampir gila sepanjang pelajaran," ia mengeluh,menatapku penuh harap. Pepper hampir tak pernah mengajakku berbicara, dan saat-saat seperti ini sangat jarang.
Aku mengeluarkan catatan yang baru saja kuselipkan dalam tas, dan ia membolak-balik halamannya dengan cepat.
"Kau juga sama saja,"keluhnya.
Ya, entah mengapa saraf dalam kepalaku terus berdenyut, dan aku tak fokus seperti biasanya. Terserah kalau catatanku tak lengkap. Dan lagi-lagi, aku menyelipkan catatanku kembali.
"Kau diam sekali hari ini," katanya. Pepper memperhatikanku, dan ini seperti keajaiban dunia.
"Aku?"
"Ya,"Pepper mengangguk, "Ada apa?"
Ia tak pernah terlalu santai untuk menanyakanku, dan perhatiannya kali ini menyentuhku. Aku belum pernah merasa diperhatikan oleh siapapun beberapa tahun terakhir ini.
"Mamaku menjodohkanku, ia ingin aku menikah setelah lulus." Suaraku akhirnya jatuh dan keluar dari tenggorokan, dan menggantung di udara. Sebagai gantinya Pepper menatapiku dengan mata bulat-bulat, mulut menganga.
"Wow!" semburnya dengan tawa.
"A-apa…"
"Aku tak tahu kau punya pasangan!" ujarnya riang dengan mata berbinar, seolah baru saja mendapat bahan baru untuk ia bicarakan.
Aku menatapnya, berharap bisa membungkam mulutnya. Penyesalan selalu datang terlambat, dan untuk pertama kalinya, aku ingin menangis.
*
"Hanna, kau tidak apa-apa?"
Ini ketiga kalinya seseorang menanyakan hal yang sama. Bukannya melankolis, tapi jarang ada orang yang mengajak berbicara, terutama kalau kalian asing. Ya, sejujurnya dua malam terakhir memang jadi malam yang didominasi insomnia. Aku berbaring sambil memejamkan mata selama berjam-jam, dan tak sekalipun benar-benar tertidur. Aku bahkan mulai memimpikan hari-hari meninggalkan Guangzhou ketika sempat tertidur satu atau dua jam.
Kelas siang akan segera dimulai, "Bacaan Pilihan Jurnalisme," dan biasanya selalu jadi kelas favorit, kalau bukan hari ini. Selain kelas Profesor Zhong, sisanya adalah kelas normal yang hanya berisi dua puluh dua manusia di dalamnya, dan kau tak perlu berebut tempat duduk.
Ada baiknya mencuci muka sebelum kelas benar-benar dimulai, semoga bisa mengusir penat. Untuk saat ini, tak ada hal yang benar, segalanya terasa salah. Aku melalui deretan meja dengan laptop dan tumpukan buku di atasnya, namun lupa dengan keberadaan satu anak tangga kecil di depan kelas. Sehingga yang berikutnya terjadi adalah, diriku menubruk sebuah tubuh yang tegap dan keras.
Samuel Tan.
Aku pasti sedang sial karena aku tak pernah tersenggol anak tangga kelas sebelumnya, dan terlebih lagi orang yang kutubruk ternyata membawa minuman yang sekarang tumpah ke ujung kaosnya, tepi meja dan lantai.
"Maaf, maaf," aku berusaha berkata. Segalanya berantakan, dunia mulai berputar dalam kepalaku.
"Kau tak apa-apa?"
"Eh, tak apa-apa," dan permasalahan utamanya adalah ujung kaos, meja dan lantai yang basah, "Kopimu tumpah semua, biar aku..."
"Benar-benar tak apa, Hanna." Samuel mencengkram kedua lenganku dengan lembut, meyakinkan bahwa seolah benar-benar tak ada yang perlu dicemaskan, "Kau tenang saja."
"Kalau begitu biar aku membereskan ..."
Samuel mengangkat tangannya, pertanda penolakan. Dan aku akhirnya terdiam, menuruti kemauannya.
"Hei Hanna, kau tak apa-apa?" Samuel mengulang pertanyaannya.
"Ya," dan aku berusaha meyakinkannya.
"Karena kau kelihatannya pucat pasi."
Dan benar saja—aku bahkan lebih dari itu. Setelah membiarkan Samuel membersihkan kekacauan itu seorang diri, aku berlari ke toilet. Dan tebak apa yang kutemukan di cermin? Wajah sepucat mayat dan sepasang kantong mata bagai biji kacang hitam tergantung di bawah mataku. Mungkin aku bisa menakuti diri sendiri kalau bercermin tengah malam.
Kubasuh beberapa kali dengan air yang mengalir dari keran, tapi kemudian menyadari kalau tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkannya dan berpura-pura tak tahu.
Apa yang bisa kulakukan? Mendadak segalanya terasa salah. Ruang, tempat dan waktu, segalanya terasa salah. Hidup ini terasa salah.
Padahal segala sesuatu berjalan benar. Aku kuliah di universitas ternama, nilai semua mata kuliah yang stabil, selalu menyelesaikan projek tepat waktu, dan...hampir tak punya kesenangan. Tapi aku tak punya teman dekat, tak pernah menghabiskan malam minggu selain mengerjakan tugas, tak pernah mencari pasangan...
Segalanya terasa kacau, dan perasaan lelah merayapiku. Bukan letih secara fisik, namun mental dan pikiran.
Kau menjalani hidup dengan keyakinan penuh, bahwa ini jalan yang benar. Tapi sampai pada akhirnya, ini bukan sesuatu yang kau inginkan. Ini bukan sesuatu yang ingin kau rasakan setelah bertahun-tahun hidup dengan cara yang sama.
Aku langsung menuju kamar apartemenku seusai kelas, tak lagi singgah di perpustakaan atau cafe untuk membaca buku. Aku melewati deretan mobil di parkiran ketika berjalan, dan mengambil langkah besar-besar berharap bisa menembus ruang dan tiba ke tujuan dalam hitungan detik.
Dibalik SUV hitam gagah, seorang gadis dengan kaos putih dengan jeans tengah beragrumen dengan wanita tengah baya, yang bisa ditebak dengan mudah adalah ibu dan anak.
"Tapi semua orang akan datang nanti malam," Ibunya berusaha membujuknya.
"Justru karena semua orang akan datang, makanya aku tak ingin hadir!" jawabnya jengkel.
"Tak ada alasan, Melanie. Aku mengharuskanmu hadir."
"Mama," ia mendesah, "Please."
Kelihatannya hampir semua ibu mendapat posisi tertinggi di keluarga. Mendadak aku prihatin pada gadis itu, teringat percakapan seperti apa yang kumiliki dengan Mama selama ini. Aku tahu bagaimana rasanya diperintah tanpa dimengerti.
"Mama, aku tak bisa," gadis itu memelas dengan putus asa.
Bagaimanapun ia menolak, ibunya tak ingin mengerti. Sebaliknya, ibunya semakin bersikeras. Seolah aku tengah menonton bayanganku dengan Mama disana, sehingga timbul rasa dalam diriku untuk membantunya.
Aku melirik ke tumpukan buku dalam pelukanku, dan brosur teratas adalah Undangan Seminar Pembelajaran Melalui Teknologi. Undangan seminar yang tak ada habis-habisnya, dan tipe acara yang tak akan ada pengunjungnya.
Brosur ini mereka bagikan di depan lorong seusai kelas, dan aku mengambilnya hanya untuk menghentikan mereka untuk mengikutiku. Aku melirik brosur ini sekali lagi, dan diam-diam menyelipkannya di kaca depan mobil.
Gadis itu sadar akan kehadiranku, melirik sekilas ke arahku dan kertas yang kuselipkan diantara kaca depan dan tangkai penyapu hujan.
Aku tak punya keberanian yang cukup untuk maju ke depan dan menyelamatkannya langsung, sehingga aku berharap brosur murahan ini mampu membantunya. Ia menarik kertas itu, dan langsung mengerti apa yang kumaksud.
"Aku benar-benar tak bisa pergi, Mama," ujarnya.
"Ada apa denganmu?" bentak ibunya kesal.
"Dengarkan dulu," ia menunjukkan kertas di tangannya, "Aku punya seminar malam ini, Ma."
Ibunya berhenti mengomel, dan memperhatikan kertas yang ia tunjukkan dengan tidak senang. Aku beranjak dan tak mendengarkan sisanya, tapi kemudian aku mendengar ibunya mendesah dan pergumulan mereka tak lagi terdengar.