Rintik hujan semakin mereda diikuti dengan aktifitas pejalan kaki yang kembali berlalu lalang. Beberapa peneduh kembali melangkah ke tujuan mereka.
Menjulurkan tangan memastikan tak ada lagi buliran air yang terjatuh "sepertinya sudah benar-benar reda" ujar Eugene. Ia masih tak menatap tepat ke wajah Michelle. Ia rasa wajahnya bisa saja mendidih oleh rasa panas yang menjalar.
"sebaiknya kita pulang saja" ucap Michelle. Ia yang pertama kali melangkah keluar dari tempat mereka berteduh. Sedangkan Eugene mati-matian menahan senyuman ketika melihat cardigan nya seakan membuat tubuh Michelle tenggelam. Sungguh menggemaskan.
"kau mau diam saja disini ?" ulang Michelle. Entah perasaannya saja atau gadis jangkung ini tampak aneh dari biasanya. tingkah lakunya seperti anak kecil yang mencuri sebuah permen. "serius kau mau disini sampai malam ?"
"iya iya, ayo pulang" Eugene berjalan mendahului Michelle. Ia tak ingin berada satu meter dengan gadis itu. Ada sebuah sengatan listrik ketika ia bertemu pandang dan bersentuhan dengan Michelle.
Kebisingan dari beberapa kendaran yang berlalu lalang menjadi sebuah simfoni mengisi kekosongan dari rasa canggung yang terbuat begitu saja. Memilih bungkam seribu bahasa, Eugene terduduk tanpa ada interaksi dengan gadis di sampingnya. Hanya menyibukkan diri menatap jalanan yang terlewati, Langit masih mendung seperti menahan kembali buliran air yang siap terjatuh kapan saja.
Seperti biasa mereka berhenti tepat di halte. Tempat perpisahan mereka, Michelle masih bersikeras pulang sendiri. Apalagi dengan sikap Eugene yang seperti menghindarinya.
"Kau simpan saja" satu kata setelah sedari tadi hanya berdiam diri. Eugene menolak saat Michelle mulai melepas Cardigan yang ia pakai.
"tapi kau akan kedinginan"
"Kau bisa mengembalikannya besok" Eugene mengeluarkan Boneka Llama dan buku catatan milik Michelle dari dalam ranselnya. Seperti janji Eugene kemarin ia akan mengembalikan buku kecil itu pada Michelle. "Aku pulang dulu, kau juga jangan terlalu lama di luar"
Mengangguk dan Michelle hanya dapat menatap punggung Eugene masuk ke dalam bus. Michelle langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, sebisa mungkin tak menatap punggung Eugene. Sesaat tadi kembali kenangan menyakitkan itu datang lagi. Seberapa keras pun ia mencoba menghalau. Seperti sebuah Boomerang yang akan selalu kembali walau kau berkali-kali melemparnya.
Michelle meremat kuat boneka di tangannya, menghirup napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan nya perlahan.
"apa aku tidak usah pulang saja yah" monolognya sembari menatap boneka yang tentu saja tak akan membalas ucapannya.
.
.
'Blup Blup Blup~'
Menenggelamkan hampir separuh wajah serta tubuhnya. Berendam air hangat sedikit membuat Eugene rileks. Sebenernya bukan tubuh yang lelah, tapi jantungnya yang tak berhenti berdebar.
Dirinya di buat bingung harus memaki atau bersyukur kepada hujan yang datang tiba-tiba. ini salahnya juga yang lupa membawa payung.
perlahan tangan Eugene meraba pipinya sendiri. Ia pikir tak akan bisa tidur nanti malam. kembali pipinya memanas saat ingatan bersama Michelle melintas.
"Tadi itu..."
"Jangan bilang kau jatuh cinta padanya ?"
"YAAK KAU ?!" Eugene berteriak Seperti sebuah kebiasaan saat bertemu dengan gadis mungil yang dengan santai duduk di closet sebelahnya. "beraninya kau masuk kesini sembarangan !" Eugene menutupi tubuhnya dengan busa. Menatap tajam pada Anastasya seakan mengatakan —'pergi atau ku bunuh kau'— Walau itu sia sia.
Ana tersenyum jahil melongok kan wajahnya lebih dekat dengan Eugene. "Mau apa kau ?! Cepat pergi !" Hardik Eugene garang.
"Jawab dulu pertanyaan ku tadi" Ulang Ana. Ia seperti tuli atas hardikan Eugene. Gadis berambut sebahu itu menggerakkan matanya gelisah seakan berusaha mencari jawaban atau mungkin alasan mengelak.
"hahaha tidak mungkin.." entah sejak kapan Eugene berubah menjadi dungu seperti keledai. Kemana Eugene yang selalu lugas mencari alasan klasik. Kini ia terdengar seperti remaja pubertas yang sedang menutupi kebenaran perasaannya dengan tawa canggung.
"bagaimana kau bisa jatuh cinta disaat yang tidak tepat seperti ini, kau tahu kan alasanmu berubah menjadi perempuan adalah karena kau yang tak bisa mengatur perasaan mu" Ana melipat tangannya di depan dada berusaha menyadarkan kembali kecerobohan Eugene di masa lalu.
"ini kan karena mu yang seenaknya merubah ku jadi wanita" Eugene menumpahkan kekesalannya pada Ana. Karena memang jika Ana tak memberikan pilihan yang sulit tentu ia tak akan berubah jadi wanita.
"lalu kau ingin jadi anjing ? Baiklah—"
"Tidak ! Tidak jadi ! lupakan saja !" menggelengkan kepalanya dengan gelisah. Tak lucu kan jika saat ini juga ia menggonggong dan memiliki ekor.
"hahaha aku hanya bercanda" Eugene sungguh berpikir malaikat maut itu punya selera humor yang sangat tidak lucu, dirinya sudah panik bukan main dan Ana hanya menganggap itu sebuah candaan. "Memang kau yakin dia akan menyukaimu ? kau kan sudah jadi wanita sama dengan Michelle"
"tapi kan Michelle tak suka laki-laki" Ujar Eugene dengan semangat. Seperti yakin bahwa dugaannya tepat.
"Lalu menurut mu dia akan menyukai perempuan ? menyukai dirimu ?"
Eugene tak bisa berkata-kata lagi. Ucapan ana tepat membantah perkataannya. dirinya sendiri tak yakin apakah perasaan miliknya benar-benar perasaan cinta, tak yakin jika Michelle akan tertarik dengan wanita, tak yakin jika gadis itu akan balik menyukainya. Nyatanya Michelle satu-satunya gadis yang selalu membuatnya penasaran.
Terlebih lagi ketika ia tak sengaja membuka buku catatan milik Michelle. Tak bermaksud lancang hanya saja buku itu tak sengaja terbuka saat ia mengambil pena di dalan tasnya. terjatuh dan terbuka begitu saja. Awalnya Eugene tak tertarik, ia bukan tipe orang yang suka mengurusi hidup orang lain. Namun satu kalimat dalam buku itu sedikit membuatnya penasaran.
'pengap, jangan tinggalkan aku di dalam ruang gelap itu lagi ini sangat sesak'
"apa maksud tulisannya itu" berkali-kali ia memutar otak menemukan jawaban, namun nihil. Entah tulisan itu memang tak bermakna atau ia yang terlalu bodoh.
"kau yang terlalu bodoh Eugene, astaga lihat wajahmu yang di paksa berpikir. sepertinya aku melihat kepulan asap yang keluar dari kepalamu.." Ana menunjuk-nunjuk dengan heboh.
"kapan kau akan berhenti membaca pikiranku dasar cebol" cerca Eugene kesal.
"hahaha maaf, habis lucu sekali" Eugene mendengus untuk kesekian kalinya. Ia rasa tengah berbicara dengan anak kecil, apalagi jika melihat tubuh mungil ana.
"aku tak tahu ini berhasil atau tidak.." ana menggantungkan kata-katanya. seperti memancing rasa keingintahuan Eugene. Gadis berambut sebahu itu menatap lekat Ana, menerka apa yang akan malaikat maut itu lanjutkan.
"mungkin saja ini ujian "
"maksudmu ?" Eugene menautkan alis, agak kesal sebenarnya dengan kebiasaan Ana yang selalu menghentikan penjelasan.
"Mungkin saja ini Ujian agar kau bisa menghargai wanita dan mencintainya dengan tulus" Ucap Ana penuh keyakinan. Walau begitu sulit bagi Eugene untuk percaya.
"dan aku akan jadi laki-laki lagi kan ?" ini adalah pertanyaan penting pagi Eugene.
"entahlah~ mungkin saja~" jawab Ana dengan nada sing a song. Terdengar menjengkelkan apalagi tak ada kepastian di dalam jawaban yang gadis mungil itu berikan. semuanya terlihat abu-abu. Dan Ana menghilang tanpa permisi lagi.
Eugene menenggelamkan wajahnya seraya berteriak frustasi. Apa mungkin ia benar-benar hanya menjalankan karma dari perilaku buruknya ? atau mungkin ada maksud lain seperti sebuah tugas atau misi ?
"Michelle tak suka laki-laki dan ia tak tertarik pada perempuan ? apa yang di maksud ia sama sekali tak bisa jatuh cinta pada siapapun ?" Eugene kembali bermonolog sendiri. Matanya menerawang jauh mengingat perilaku Michelle selama ini.
"atau mungkin, aku harus membuat Michelle bisa jatuh cinta lagi ?" menggigit kuku jarinya demi mengurangi kegelisahan. Eugene kembali berpikir, ada berbagai kemungkinan tapi dari semua itu hanya satu pertanyaan yang sampai sekarang tak ia tahu jawabannya.
"apa yang membuat Michelle tak menyukai laki-laki ? ataukah ada hubungannya dengan kalimat di bukunya ?"