Chereads / Nusa Antara / Chapter 3 - Rakai Pikatan 2

Chapter 3 - Rakai Pikatan 2

Rakai Pikatan berada pada ruang pustaka kerajaan. Atau museum buku. Atau rumahnya.

Ia berjalan menyusuri rak – rak buku. Kumpulan rak tersebut terbagi berdasarkan susunan buku – buku. Rak sejarah berisikan buku – buku sejarah kerajaan nusantara. Tentu saja Kerajaan Medang tidak termasuk dalam sejarah tersebut. Medang masih berusia sangat muda, belum genap tiga puluh tahun, dan merupakan penyatuan dari kerajaan – kerajaan kecil dari Dieng hingga Kalasan. Dari rak sejarah tersebut yang paling menarik perhatian Mpu Manuku adalah Kerajaan Sriwijaya. Berdiri sejak abad enam masehi, Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi salah satu kerajaan maritim terbesar di nusantara. Jarang sekali kerajaan tersebut kalah dalam perang karena memiliki angkatan laut yang sangat kuat. Dimanakah lawan dapat bersembunyi, jika pulau sudah dikepung? Semboyan yang sangat terkenal dari Kerajaan Sriwijaya. Selain itu pengaruh agama Buddha juga berhasil ditanamkan pada banyak tempat di nusantara.

Kerajaan Medang belum memiliki semboyan. Rakai Pikatan berpikir apa semboyan kerajaan yang cocok bagi Kerajaan Medang. 'Kerajaan panutan adalah kerajaan yang membebaskan rakyatnya untuk menganut suatu agama'. Ah, buruk. 'Kekuatan dan kekayaan berasal dari kebudayaan beragama'. Kurang cocok.

Seorang anak muda berusia belasan membuka pintu dan melangkah masuk ruang pustaka kerajaan. Berambut lurus dan memiliki tinggi sekitar satu setengah depa, ia membuka percakapan dengan Rakai Pikatan, "Mpu Manuku, pertemuan kerajaan akan diselenggarakan sepuluh menit lagi. Raja berharap engkau segera menuju ke ruang pertemuan kerajaan."

"Baik Mpu Tantular, aku akan segera menuju ke sana." jawab Rakai Pikatan.

Mpu Tantular merupakan cendekiawan termuda di Kerajaan Medang. Ia memiliki masa depan yang cerah. Pada usia lima belas tahun ia didaulat untuk memiliki gelar mpu, dan pada tahun pertama ia berhasil menguasai bahasa sansekerta beserta seluruh aksaranya. Selain aksara Jawa, ia juga sedang mempelajari aksara parahyangan, atau dikenal dengan aksara sunda. Bukan tidak mungkin ia akan menggantikan Mpu Galuh sebagai pemimpin kalangan cendekiawan di Kerajaan Medang. Untuk saat ini Mpu Manuku ditunjuk oleh Mpu Galuh untuk menjadi guru sementara Mpu Tantular. Aku yakin, ia akan lebih pintar dariku suatu saat nanti.

Mpu Tantular melihat Mpu Manuku menutup buku sejarah Kerajaan Sriwijaya. "Sedang mempelajari sejarah Kerajaan Sriwijaya, Mpu Manuku?" tanya Mpu Tantular.

Mpu Manuku tidak menjawab pertanyaan itu. Anak ini memiliki pemikiran yang bagus dan rasa tahu yang tinggi. Namun kau belum sepertiku, Tantular. Belum saatnya. Sebaliknya Rakai Pikatan berkata, "Ayo ikut aku ke ruang pertemuan, barangkali akan ada yang engkau pelajari."

Rakai Pikatan melangkah keluar ruang pustaka kerajaan menuju ruang pertemuan. Tidak berjarak terlalu jauh, hanya dua puluh depa dari ruang pustaka. Dari jarak dua depa di depan pintu Rakai dapat mencium bau tuak yang sangat menyengat. Dia minum – minum lagi. Namun sebenarnya orang itu tidak dapat disalahkan. Ruang pertemuan memang tidak memiliki pengaturan pertukaran udara yang baik. "Cukup perhatikan yang terjadi dan jangan mengeluarkan sepatah kata pun," pinta Mpu Manuku kepada Mpu Tantular. Mpu Tantular mengangguk tanda mengerti.

Memasuki ruang pertemuan, ia melihat bahwa Samaratungga sedang duduk di meja besar berbentuk bulat. Di depannya terbentang peta Pula Jawa. Di sampingnya mengelilingi meja berturut – turut hadir sang panglima kerajaan, Joko Wangkir, sang panglima angkatan laut Mpu Panca dengan bau tuaknya yang khas, serta sang penasihat kerajaan, Jasabhana. Muka musam raja menyambut kedatangan Rakai Pikatan.

"Selamat datang putra mahkota, silakan duduk di kursi kosong di samping Jasabhana."

"Baik, paduka raja."

Raja mulai berkata – kata, "Kami baru saja bertukar pikiran mengenai adikku, Balaputradewa. Percayalah, kesimpulan yang dihasilkan tidak akan menyenangkan hati. Semua yang hadir disini hanyalah mengingatkan kekuatan perang Kerajaan Sriwijaya. Mereka melupakan kenyataan bahwa aku dan Balaputradewa adalah adik kakak. Bahkan hubungan darah ternyata tidak berarti di hadapan mereka."

"Bukannya kami tidak percaya fakta bahwa kau adalah adik Balaputradewa, ya paduka raja, namun kami melihat Kerajaan Sriwijaya secara keseluruhan. Dalam lima tahun terakhir, kerajaan – kerajaan besar di nusantara telah lenyap dari permukaan bumi nusantara, yang mulia, bukan hanya Pulau Sumatera. Ke mana perginya Raja Malaka dan Tumasik saat mereka mengepung dataran delta Malaka?" Joko Wangkir dengan muka serius menjawab respon raja. Rakai Pikatan memperhatikan sang penglima pasukan. Berusia dasa lima, tidak memiliki tubuh kekar dan tegap, dan dengan wajah sedikit lugu, Rakai Pikatan yakin bahwa bukan kemampuan bertempur yang membuatnya terpilih menjadi pemegang posisi tertinggi di pasukan Kerajaan Medang. Melainkan kemampuan analisis dan taktiknya dalam berperang.

"Kau mengatakan ini karena kau tidak melihatku hidup bersama mereka, panglima! Bagaimana mungkin seorang adik dan seorang ayah tega menghanguskan darah daging mereka sendiri?" Raja menjawab tantangan dari Joko Wangkir.

Kali ini Jasabhana yang bersuara. Dengan suaranya yang ringan ia menjawab, "Ya paduka raja, kau dibutakan oleh hubungan kekeluargaan. Lihatlah sejarah – sejarah kerajaan. Tidakkah Kerajaan Kediri terbelah menjadi dua akibat sang ayah tidak bisa mewariskan kepada putranya yang tertua? Semua perpecahan pada sebuah kerajaan diawali oleh masalah keluarga, ya tuanku."

Raja menggeleng – gelengkan kepalanya, "Tidak, penasehat. Kau tidak mengerti kuatnya hubunganku dengan ayahku dan adikku. Kau tidak tahu bahwa kerajaan ini, tempat kalian semua ini berdiri sekarang, adalah hasil dari kerja keras ayah dan adikku. Kau tidak memahami bahwa mereka menitipkan kerajaan ini kepadaku secara damai dan berpesan untuk memperluas pengaruh dinasti Syailendra dan agama Buddha di tanah Jawa ini."

Sebuah suara berat menimpali. Kali ini sang panglima angkatan laut Mpu Panca membuka mulutnya. Bau tuak yang menyengat menghiasi perkataannya, fisiknya yang sudah keriput dan rambut putih berantakan seakan membuatnya seperti orang yang tidak berpikiran waras pada umumnya. "Justru itu, yang mulia paduka raja. Orang – orang Palembang itu, yang merasa mereka terkuat dan tergagah itu, berpikiran bahwa engkau adalah bagian dari kerajaan mereka. Mereka rasa Kerajaan Medang ini posisinya ada di bawah Kerajaan Sriwijaya. Mungkin mereka mengirimkan adikmu yang manis itu untuk memperjelas semuanya. Apakah kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya?"

Samaratungga menatap tidak percaya ke arah Mpu Panca. "Paman, hanya engkaulah di atas meja ini yang menyaksikan diriku bersama – sama dengan Balaputradewa dan Samagrawira menyatukan kerajaan – kerajaan kecil di tanah Jawa ini. Kau sendiri menyaksikan diriku bertumbuh sejak pemuda, menikahi Dewi Tara, memiliki Pramodawardhani dan Taradyahwardhani, dan menjadi raja hingga sekarang ini. Koreksi kata – katamu itu, panglima, aku yakin bahwa kau ada di pihakku."

Mpu Panca tersenyum. Sebuah senyum misterius. "Kau benar paduka raja. Aku tidak bisa membayangkan Balaputradewa dan Samagrawira menginginkan kerajaan ini. Aku ada di pihakmu. Mungkin mereka hanya ingin membangkitkan ingatan saat mereka menyerang kerajaan – kerajaan kecil di tengah tanah Jawa ini. Mungkin saja mereka hanya ingin menikmati jamuan teh di Taman Anyelir. Tetapi tunggu, apakah Kerajaan Medang sekarang sudah layak disebut kerajaan besar? Jika belum, bukankah urutan kejadian ini sama seperti yang terjadi tiga puluh tahun yang lalu, ketika dirimu dan Balaputradewa mengeksekusi kerajaan – kerajaan kecil?"

Raja tersenyum bangga namun kembali berubah menjadi masam di akhir perkataan Mpu Panca. Ia mengalihkan pandangan ke arah Rakai Pikatan.

"Bagaimana menurutmu, sang calon putra mahkota, apa pendapatmu terhadap kedatangan Balaputradewa mendatang?"

Rakai Pikatan menjawab, "Hamba tidak dapat menarik kesimpulan, wahai paduka raja. Adalah benar bahwa Kerajaan Sriwijaya telah memperluas kerajaannya dengan sangat cepat pada sepuluh tahun terakhir ini. Tujuh tahun yang lalu, Raja Indragiri Hulu melakukan perlawanan terhadap Kerajan Sriwijaya yang berakhir dengan lenyapnya kerajaan tersebut dari muka bumi ini. Saudaranya yang menjadi raja di Kerajaan Indragiri Hilir dengan cepat menutup kawasan kerajaan. Ia membangun tembok yang sangat tebal di sisi barat dan karang yang tinggi di timur sebagai pelindung alami. Namun kau tahu sendiri moto Kerajaan Sriwijaya: Jika pulau sudah terkepung, kemanakah mereka akan bersembunyi? Kerajaan Sriwijaya datang dengan seratus kapal perang berukuran lima puluh depa di sebelah timur dan pasukan berkuda serta pasukan kaki di sebelah barat. Habisnya persediaan makanan lebih cepat daripada harga diri sebuah kerajaan. Raja Indragiri Hilir terpaksa menyerahkan mahkota kerajaan ke tangan Samagrawira."

Sang raja melenguh, "Aku tidak memintamu untuk menjelaskan sejarah, Rakai Pikatan. Benar memang tugasmu adalah mempelajari sejarah, namun apa yang kau katakan tidak akan terjadi di sini."

Rakai Pikatan melanjutkan, "Benar raja, hamba belumlah selesai. Hamba juga tidak mengambil sisi dan memihak kepada salah satu. Secara pribadi, hamba tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan Balaputradewa dan Samagrawira. Sifat manusia bisa berpengaruh pada situasi seperti ini. Penilaian bisa diambil jika Balaputradewa sudah datang dan menyampaikan maksud kedatangannya."

Joko Wangkir menimpali, "Kau benar, pemuda. Tidak ada gunanya berpikiran terlalu jauh seperti ini. Kita tunggu saja Balaputradewa dan segalanya akan menjadi lebih jelas. Bukankah begitu, wahai paduka raja?"

Raja mengangguk tanda puas. Ia menatap bangga terhadap Rakai Pikatan. Jawaban yang diberikan oleh Rakai Pikatan menenangkan semua koleganya yang hadir disitu. Namun sebuah sosok yang sedari tadi berada di samping rak buku yang berada pada dinding ruangan kini tampil maju ke depan. Ia berjalan pelan menuju meja bundar. Rakai Pikatan tidak melihatnya karena ia sengaja menyembunyikan diri di sudut mati ruangan. Sang mahapatih kerajaan. Ario Senopati.

Dengan suaranya yang ringan ia memberikan suatu pertanyaan penting kepada raja yang membuat Samaratungga kembali terlihat pusing. Badannya yang tinggi dan hidungnya yang mancung membuatnya terlihat seperti penyihir dan tokoh jahat dalam cerita – cerita dongeng.

"Maaf, yang mulia, jika hamba baru bersuara sekarang. Ada satu pertanyaan yang menurut hamba sangatlah mendesak untuk ditanyakan. Katakanlah terjadi kemungkinan terburuk, Kerajaan Sriwijaya menginginkan kerajaan ini. Akankah kau menyerahkan mahkota kerajaan?"

Seluruh pandangan tertuju kepada Samaratungga. Ia terlihat merenungkan pertanyaan Senopati, memikirkan jawabannya dengan hati – hati, dan bersuara dengan pelan. Sialan kau Senopati, mengubur semua kesan positif yang telah kubangun.

"Tidak."

Ario Senopati tersenyum getir dan melanjutkan, "Lalu kemudian terjadi perang. Yakinkah kau akan memenangkan perang, yang aku yakin, akan terjadi di daerah Laut Jawa?"

Raja tidak menjawab dan hanya merenung. Ia menatap satu – satu anak buahnya yang berada di ruangan itu. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Semua orang yang hadir tidak perlu ditanyakan dua kali mengenai kata – kata terakhir Ario Senopati. Mereka semua tahu jawabannya.

Tidak mungkin.