Chereads / Nusa Antara / Chapter 9 - Pramodawardhani 3

Chapter 9 - Pramodawardhani 3

Untuk semua kebaikan. Aku bersyukur.

Semboyan baru yang diusulkan oleh Rakai Pikatan langsung disetujui oleh raja. Pramodawardhani mengetahui bahwa Medang mulai memiliki semboyan ketika ia memasuki halaman istana sekembalinya dari perjalanan menuju candi-belum-bernama dan Kabupaten Mataram. Sungguh mengherankan, karena pada saat itu Kerajaan Medang tengah berada pada situasi khusus yaitu menjemput adik raja. Pramodawardhani diceritakan bahwa raja hanya butuh waktu yang sebentar dan persetujuan dari para pejabat kerajaan untuk segera menentukan semboyan tersebut.

Bukan semboyan yang buruk. Pramodawardhani bahkan yakin bahwa nirwana sudah menakdirkan kata – kata itu bagi Kerajaan Medang. Kembalinya seluruh pasukan tanpa ada satupun yang terluka adalah bukti yang kuat. Hanya saja pasukan itu bertambah dua orang: Balaputradewa dan Udayaditya.

Pramoda memerhatikan dengan seksama tingkah laku kedua orang ini. Balaputradewa, pamannya, adalah orang dengan mata yang menyejukkan. Keramahan dan kesopanan yang ia tampilkan, meyakinkan setiap orang di Kerajaan Medang bahwa tidak ada sesuatu yang buruk berasal dari pulau seberang. Pramoda percaya dengan ucapan ini: tingkah laku seseorang mencerminkan hatinya. Dari semua orang yang ia temui seumur hidupnya prinsip ini terbukti benar.

Sedangkan keponakannya memiliki sifat yang hampir sama. Atau itulah yang kuperhatikan dari jauh. Pramoda belum memiliki kesempatan berbincang dengan Udayaditya.

Pagi hari itu Pramodawardhani bermaksud untuk mengunjungi Taman Anyelir untuk melihat apakah bunga mawar putih sudah mekar atau belum. Ia memang merencakan untuk menyertakan bunga tersebut ke dalam rancangan bunga yang sudah ia coba kerjakan selama sebulan. Teman – temannya merangkai bunga pasti sudah menunggu di dalam Taman Anyelir. Setidaknya ia menebak Windadharma dan Puriningsih sudah berada di sana. Keluar dari kamar istana Pramoda menjumpai Ayu, pelayan kamar. Setelah memberi salam, ia melanjutkan langkah dan di halaman istana ia bertemu dengan Joko Wangkir. Percakapan yang dilakukan oleh orang ini menahan langkah Pramoda dalam waktu yang tidak sebentar.

Joko Wangkir langsung bertanya menuju masalah inti, "Ayahmu menceritakan sesuatu bersangkutan dengan kedatangan adiknya?"

"Tidak, paman. Ayahku tutup mulut dengan rapat. Kau sendiri ikut dalam perjamuan besar di hari pertama ketika Balaputradewa ikut menyantap hidangan bersama keponakannya. Itulah semua yang kutahu darinya."

"Ketika perjamuan makan malam, tentu pamanmu itu ada di sana. Apa saja yang dibicarakan?"

"Pamanku tidak pernah ikut dalam perjamuan makan malam keluarga. Ayahku menjelaskan bahwa ia memang tidak pernah menyantap makan malam karena ia sedang dalam kondisi puasa yang ia tetapkan sendiri."

Puasa apa yang ditetapkan oleh Balaputradewa? Apa yang ia sedang minta kepada sang Buddha? Pramoda sendiri bertanya – tanya mengenai peraturan yang ditetapkan oleh pamannya itu.

"Lalu bagaimana dengan ayahmu?"

"Ya, ayahku sedikit berubah akhir – akhir ini. Kau sendiri mengetahui bahwa ia berduaan saja dengan Balaputradewa di ruang pertemuan. Dari pagi hingga matahari terbenam. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya bertemu dengannya ketika santap malam. Bahkan pagi ketika ayam baru berkokok ia sudah menghilang entah kemana. Dugaanku ia sudah berada di ruang pertemuan bersama paman Balaputradewa."

Pramoda balik bertanya, "Tidakkah engkau mengetahui, atau ayahku menceritakan kepada petinggi lainnya, apa yang sebenarnya terjadi?"

Joko Wangkir menatap Pramoda lekat – leka dan menggeleng, kemudian melangkah meninggalkan Pramoda. Sang putri kerajaan dengan sedikit kecewa kembali melangkah menuju Taman Anyelir. Tidak boleh, Pramoda, jangan biarkan hal – hal seperti ini menghancurkan semangatmu. Dan sesuai dengan tebakannya beberapa saat lalu, Windadharma dan Puriningsih sudah menunggunya di depan pintu masuk Taman Anyelir. Melihat teman – temannya suasana hati Pramoda kembali menghangat.

"Selamat pagi, Tuan Putri, dharma Sang Buddha besertamu." Windadharma memberi salam terlebih dahulu. Ia kemudian membungkuk hingga ke tanah.

Pramoda menyatukan kedua tangannya dan mengangguk. Setelah itu ketiganya tertawa lepas.

Pramoda menjawab Windadharma, "Seandainya semua temanku menyapa seperti itu, aku harap aku hidup di sebuah kerangkeng besi, tidak pernah keluar sampai mati."

Memasuki Taman Anyelir, ia melangkah perlahan – lahan untuk menikmati kesejukan taman ini. Taman Anyelir memang menawarkan pesona tersendiri kepada para pengunjungnya, walaupun itu adalah sang putri yang dapat mengunjungi taman itu setiap saat. Bunga – bunga sedang sibuk – sibuknya bermekaran, mengingat bulan itu puncak dari musim hujan dan curah sinar matahari sedang baik – baiknya. Tidak dapat dikesampingkan adalah aliran air dari kaki Gunung Slamet yang mengalir lembut menuju kolam taman, suara air bertemu menambah suasana keindahan taman. Matanya segera tertuju pada padang bunga untuk mencari mawar putih.

"Nampaknya mawar putih belum mekar, Pramoda," ujar Windadharma.

"Ya belum. Padahal dengan adanya mawar putih karanganku akan sempurna. Warna putih mereka memberikan kesan berbeda. Dan aku tidak suka dengan bunga anggrek." Pramoda menimpali.

Seseorang dari balik pohon melangkah menuju Pramoda dan menyapanya dari belakang.

"Selamat pagi, tuan putri, jalan kemuliaan Buddha mengikutimu."

Pramoda yang terkejut segera membalikkan tubuh dan melihat seorang pemuda bermuka ramah dengan tinggi sepantaran menyapanya. Pemuda itu memakai pakaian kulit dan alas kaki bertali. Ia adalah Udayaditya Mahardewa, keponakan paman Balaputradewa. Artinya ia adalah sepupuku.

"Ah, hmm, selamat pagi juga, tuan, kebenaran Sang Buddha juga menyertaimu." Pramoda membalas ucapan Udayaditya dengan sedikit gugup.

"Sungguh kesempatan yang tak dinyana, bertemu dengan seorang tuan putri di hari ketiga kedatangan kami. Sebuah kehormatan untuk tamu dari negeri seberang. Dan ternyata rumor itu benar. Tuan putri dari Negeri Medang memiliki wajah yang sangat rupawan. Rakai Pikatan adalah pemuda yang beruntung."

Pramoda tersipu malu mendengar ucapan Udayaditya. Ia tidak dapat membalas ucapannya, melainkan ia memperhatikan Udayaditya dengan seksama. Biasa saja. Tidak ada yang menonjol dari penampilan laki – laki ini pada umumnya. Ia berkulit putih, lebih tinggi kira – kira seperempat depa dari Pramoda. Mukanya berbentuk lonjong, bersih, dan senyumnya manis dengan gigi yang tertata rapi. Kepribadiannya sedikit menarik, ia terlihat percaya diri di depan wanita. Pramoda dapat mengetahuinya walaupun baru saja bertukar salam dan ia menyukainya. Teman – temannya memberi salam kepada Udayaditya dan melanjutkan pencarian bunga hias.

Udayaditya melanjutkan, "Apa yang dilakukan seorang putri cantik pada pagi hari seperti ini di dalam Taman Anyelir?"

"Aku sedang memeriksa petak – petak bunga ini. Aku berharap mawar putih sudah muncul pada waktu ini untuk melengkapi rangkaian bunga yang sedang aku rancang. Ternyata alam belum berpihak padaku."

"Ah, mengapa kau tidak mencoba anggrek putih, aku melihat beberapa sudah mekar di pojokan sana."

"Ya, pangeran, aku tidak begitu menyukai bentuk anggrek putih. Berbeda dengan mawar putih yang elegan. Salah satu bunga yang dapat menggantikan mawar putih adalah bunga lili, namun sayang mereka cepat layu. Dan mudah – mudahan aku benar, apakah kau disebut juga pangeran di kerajaan asalmu?"

Udayaditya tersenyum lebar. Pramoda menyukai pemuda ini. Ia tampak ramah dan berhati baik.

"Di kerajaan asalku, aku bukan siapa – siapa, tuan putri. Aku hanya memiliki darah raja, dan ketika pamanku tidak memiliki keturunan, aku hanya bisa berharap bahwa aku akan mewarisi kerajaan Sriwijaya. Semuanya belumlah pasti, tuan putri. Serta tolong jangan memanggilku dengan sebutan pangeran."

Udayaditya membalikkan badan membelakangi Pramoda dan berkata, "Kudengar kau memiliki adik perempuan yang cantiknya serupa denganmu. Sudah hari ketiga aku menjejakkan kaki disini dan aku belum melihatnya. Ada dimana tuan putri yang satu lagi?"

Pramoda menjawab, "Adikku yang satu itu benar – benar pemalu. Datang tamu dari pulau seberang, ia takut menjadi pusat perhatian."

Udayaditya tersenyum tipis dan mengangguk. Dari senyum simpulnya Pramoda dapat melihat bahwa ia adalah lelaki yang jujur dan berhati mulia. Tidak ada gunanya berbohong.

"Tidak, adikku itu senang berkelana. Hatinya dipuaskan untuk mencoba sesuatu yang baru. Ia menyenangi tantangan, dan aku tidak tahu dimana ia berada. Namun aku pastikan ia aman, walaupun ia adalah seorang putri kerajaan."

Kali ini Udayaditya sedikit berkelakar, "Kau adalah seorang kakak yang baik, melindungi keberadaan adikmu dari orang asing sepertiku. Ataukah kau seorang kakak yang sangat buruk sehingga tidak mengetahui keberadaan adikmu sendiri?"

Kalimat tersebut diakhiri dengan anggukan bahu Udayaditya dan tawa lepas sang putri. Ia benar, mungkin aku sebenarnya kakak yang buruk. Ah, sudahlah.

"Apa saja yang sudah kau lakukan di negeri ini, kawan? Jika engkau ada waktu mungkin kita bisa berkunjung ke Candi Plaosan di utara atau Candi Kalasan. Atau aku bisa menunjukkan kota tua seperti Mataram dengan orang – orangnya yang ramah."

Udayaditya tersenyum, "Sungguh mulia sekali niatmu ini, tuan putri. Sejauh ini aku baru mengunjungi Pasar Kliwon saja disamping mengelilingi kompleks istana ini. Mengapa kau memberi saran tempat yang jauh, bahkan candi Prambanan pun aku belum memasukinya. Apakah kau lebih tertarik kepada agamamu sendiri? Tidak tahukah kau bahwa seni dan budaya tidak membeda – bedakan agama?"

Pertanyaan Udayaditya sedikit membuat Pramoda tercekat, "Bukan begitu, tuan Udayaditya," kali ini Pramoda mengeluarkan ucapan sopan, "dalam perjalanan ke sini kau tentu sudah melewati Candi Prambanan. Aku beranggapan kau sudah mengunjunginya."

Kali ini Udayaditya yang tersenyum lebar, "Hahaha, tenang saja, tuan putri, aku hanya bercanda. Aku hanya mengujimu saja. Lupakah kau bahwa Rakai Pikatan berbeda agama denganmu?"

Pramoda ikut tertawa kecil. Sang pangeran melanjutkan, "Mengenai candi, aku lebih tertarik kepada candi baru di dataran barat yang dibangun oleh Rakai Garung. Isu yang kudengar candi ini akan menjadi candi terbesar di nusantara. Benarkah begitu? Jika benar kau berhutang janji padaku untuk membawaku ke sana."

Candi-belum-bernama.

"Candi itu belumlah selesai. Tidak ada yang dapat dibanggakan. Hanyalah bongkahan batu belaka. Baiklah kau berkunjung lima tahun lagi, barangkali sudah selesai dan nyaman untuk dipakai bersembahyang."

Muka Udayaditya menunjukkan ekspresi kekecewaan. Ia melempar pandang ke sekeliling dan melihat begitu banyak bunga berwarna – warni di sekelilingnya. Ia teringat bahwa Pramoda sedang mencari bunga mawar putih.

"Nampaknya kau tertarik dengan bunga – bunga berwarna putih. Namun aku tidak melihat bunga kamboja di taman ini. Padahal biasanya mereka selalu mekar di musim penghujan seperti sekarang."

Pramoda baru menyadarinya. Anwarudin sebagai penjaga taman dan perawat berbagai tanaman tersebut tidak menanam pohon kamboja di Taman Anyelir. Nanti akan kuperingatkan.

"Kau sangat memerhatikan seni bercocok tanam. Apakah kau juga tertarik pada ilmu merangkai bunga?" ujar Pramoda.

"Bukan seperti itu, tuan putri. Aku tidak bisa melupakan pemandangan bunga kamboja. Pohon kamboja itu hadir melimpah di daerah asalku. Aneh sekali memang. Namanya berasal dari kotaraja kerajaan pulau seberang yang sampai sekarang tidak dapat kami taklukkan. Raja Samagrawira akan berpikir beratus – ratus kali jika ingin pergi ke tanah Khmer."

Ah. Pramoda hampir melupakan tujuan dua utusan Kerajaan Sriwijaya ini ke tanah Jawa. Lebih baik bertanya sekarang daripada menyesal belakangan.

"Aku teringat sesuatu, kawan. Ada sesuatu hal yang mengganjal pikiranku." ucap Pramoda.

"Katakanlah, tuan putri."

Pramoda berusaha untuk berhati – hati memilih kata pada ucapannya selanjutnya serta berharap hasil terbaik yang akan keluar.

"Apa tujuan kalian datang ke tanah Jawa ini?"

Yap. Aku telah mengatakannya.

Udayaditya tersenyum kecil. "Aku sudah menduga, tuan putri. Cepat atau lambat, pertanyaan itu akan kau tanyakan."

Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan, "Kau tahu, aku baru saja bertemu dengan Rakai Pikatan. Di akhir percakapan ia terlihat kecewa. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir sama, tuan putri. Kita saling cocok, dan aku menyukaimu sebagai teman."

"Jika kau benar – benar ingin tahu maksud kedatangan kami, kau bisa tanyakan kepada calon suamimu, tuan putri. Namun kenyataan kadang tidak sesuai dengan keinginan hati kita."

Kalimat tersebut diakhiri dengan senyum misterius dari Udayaditya. Tidak beberapa lama ia mengambil sesuatu dari kantong tas kecil di pinggangnya dan mengeluarkan bunga berwarna putih.

"Kau membutuhkan bunga ini. Ambillah, tuan putri. Anggap sebagai hadiah kecil – kecilan dariku."

Bunga kamboja. Bagaimana mungkin? Adakah pohon kamboja di taman ini?

Udayaditya menyerahkan bunga tersebut ke tangan Pramoda, tersenyum kecil, serta memohon diri meninggalkan Pramoda bersama teman – temannya di Taman Anyelir. Pramoda kemudian teringat akan pelajaran yang diberikan oleh Mpu Galuh ketika dirinya masih kecil. Bunga kamboja berasal dari Kerajaan Khmer, namun mereka tidak memakai benda itu sebagai lambang kerajaan. Lambang Kerajaan Khmer adalah candi kecil, hampir menyerupai lambang Kerajaan Medang. Perlahan – lahan ingatan masa kecil Pramoda menyeruak.

Kerajaan Khmer tidak memakai bunga itu sebagai lambang karena arti dari bunga kamboja sendiri.

Kematian.