Sudah dua bulan mereka belum bertemu..
"Adek kenapa sih sibuk terus?", keluh Adit via telepon.
"Ngapain sih cape-cape kerja untuk masyarakat dengan gaji sedikit", lanjutnya.
"Itu kan pekerjaan Adek, Bang. Itu tanggungjawab Adek, ya mau gak mau harus Adek lakuin. Itu konsekuensi dari pekerjaan Adek yang terjun ke masyarakat", jawab Nura.
"Berhenti aja lah Dek, kasian badan, kerja keras, tapi gajinya gak seberapa", ucap Aditya.
Perkataan Aditya membuat Nura meradang, ia merasa benar-benar tidak dihargai. Bagaimanapun melelahkan pekerjaannya, sekecil apapun nominal yang dia terima, tapi usaha dan keringatnya bisa membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan.
"Bukan masalah gajinya Bang, Adek suka pekerjaan Adek sekarang", jawab Nura.
"Adek juga gak mau berhenti dari pekerjaan ini sebelum dapat pekerjaan yang lebih baik", jelas Nura.
Setelah mendengar penjelasan itu, Adit mencoba mengerti jalan sulit yang dipilih oleh perempuan itu. Bagaimanapun, ia sadar, tidak berhak ikut campur terlalu jauh dalam kehidupannya.
🍁🍁🍁
Sebenarnya berbagai ketidakpuasaan dalam hubungan terus mereka pendam, hanya untuk mempertahankan ikatan yang sudah mulai mehilangan wujudnya.
Ikatan itu terlalu dipaksakan.
Pertengkaran mereka terus terulang kembali karena cara pandang mereka yang berbeda dalam hidup.
Aditya terbiasa hidup di luar kota dan memiliki sifat yang individualis. Dia tidak terlalu suka kegiatan yang melibatkan banyak orang. Mungkin kondisi keluarga juga yang membuatnya seperti itu.
Berbeda dengan Nura yang hidup bersama keluarga besar, rasa kekeluargaan yang dimilikinya sangat besar.
Keluarga besarnya, seperti Om atau Tante, ataupun sepupunya, selalu mengajaknya atau melibatkannya jika membutuhkan bantuan; karena karakter Nura yang senang membantu.
"Ra, Sabtu kawanin Mami beli hantaran Bang Ovie, bisa ?", ajak salah satu tantenya yang biasa dipanggil mami.
"Ok Mami", jawab Nura.
Nura tidak sengaja membahas itu dengan Aditya.
"Ngapain sih Dek. Lagian mereka juga kenapa ajakin Adek beli hantaran, itu kan tugas orang tua", respon Adit.
"Adek itu kenapa sih selalu mau repot untuk orang lain", lanjutnya.
"Mami bukan orang lain, tante Adek sendiri. Bang Ovie pun sepupu Adek sendiri, wajarlah mereka minta tolong ke Adek", jelas Nura.
Di lain waktu..
"Dek, lagi apa?", tanya Adit via telepon.
"Adek lagi masak ni di rumah Tante Inez, Om Irwan lagi keluar kota ngantar mahasiswa KKN, jadi dimintain tolong untuk kawanin Tante Inez", jawabnya.
"Adek selalu gitu, selalu sibuk sendiri. Ngapain sih dek? Buang-buang waktu aja. Kalau dimintain tolong, harus selalu mau ya? Harus selalu Adek yang mintain tolong apa?", ucap Adit.
Hal-hal seperti terus terulang.
Mereka semakin menjauh setelah percakapan-percakapan itu.
Mereka tidak marah, tapi hanya saling memberikan waktu untuk memiliki jeda. Sesekali mereka menghilang. Keduanya menghilang tanpa kabar setelah beberapa kata menyakitkan. Saat emosi mereka sama-sama mereda, mereka kembali bertemu.
Saat mereka bertemu, mereka melupakan semuanya. Masalah itu tidak pernah dibahas, sehingga menumpuk dan mulai membusuk dari akar.
Terkadang di antara hubungan dingin itu orang ketiga hadir di antara mereka.
Tapi, mereka selalu memutuskan untuk kembali bersama.
🍁🍁🍁
Meskipun menyadari berbagai konsekuensi yang harus mereka tanggung untuk mempertahankan hubungan itu, mereka memilih bertahan.
Terutama Nura yang menganggap dirinya tidak lagi muda, 26 tahun. Tahun depan umurnya menjadi 27.
Itu adalah umur krisis bagi perempuan, dimana tuntutan orang-orang, terutama keluarga agar mereka segera menikah.
Jika ia menyudahi hubungan yang telah lama terjalin itu, akan sulit baginya memulai hubungan baru dari awal dan juga memakan banyak waktu. Sedangkan ia tidak muda lagi untuk melalui semua proses perkenalan seperti yang telah dilewatinya bersama Adit.
🍁🍁🍁