***
Pesta merupakan hal paling menyenangkan untuk kalangan remaja muda. Berpesta berarti mengenalkan diri sendiri terhadap dunia hedonis. Dengan pesta Austin bisa menemukan cewek cantik, mengencaninya, dan mengajaknya bersenang-senang dalam satu malam.
Namun ada yang berbeda dengan Austin kali ini. Dia tidak bisa melakukan apapun di tengah keramaian pesta. Banyak teman gadis yang mendekati dia--menggodanya seolah menyerahkan dirinya untuk disentuh. Tetapi Austin menolak. Bahkan tanpa ia sadari dia mendorong Maria karena kesal dirayu.
"Apa-apaan ini, Aussie!"
"Kau menggangguku, Mary!"
Pernyataan itu membuat semua orang mengalihkan perhatian kepada Austin. Erica yang merupakan pacar Austin ikut bergabung. Erica menyalahkan Maria walau sebenarnya semua orang tahu jika Austin adalah pria paling berengsek satu sekolah mereka. Austin tidak pernah absen mengencani gadis cantik di sekolah. Tak peduli ia berpacaran dengan Erica.
"Wow, aku tidak menyangka kau menjadi seaneh ini, Aussie. Sekarang kau tobat dan memilih setia pada Erica? Ya Tuhan, kau bercanda?" Austin adalah bajingan tengik dan apa yang terjadi sekarang? Dia menolak rayuan seorang cewek tanpa alasan.
"Pergilah, cewek murahan. Kau hanya mempermalukan dirimu, Mary. Aussie punya selera yang bagus. Austin bukan lagi seorang pemain wanita! Aku yakin itu semua karena diriku," ujar Erica percaya. Maria meringis mendengar perkataan itu.
"Terserah dirimu," kata Maria, "dan akuku bukan jalang, Erica. Kaulah gadis murahan itu."
Maria meninggalkan Austin dan Erica. Perempuan itu tampak tidak terima dengan penolakan Austin. Padahal dulu mereka sering bermain di belakang Erica. "Dia sudah pergi, Aussie. Penghibur satu itu tidak akan mengganggumu lagi. Hanya bersenang-senang denganku malam ini." Erica berbisik sambil memegangi wajah menawan Austin.
Austin meremas rambutnya kuat-kuat. "Aku rasa aku tidak bisa melakukann itu kali ini. Suasana hatiku sangat buruk, Erica." Erica menatap bingung ke arah lelaki itu. Ini tidak pernah terjadi pada pria itu.
"Ada apa Aussie? Kau terganggu karena Dad-mu menyuruhmu mempelajari dunia perkantoran? Katakan padaku kalau itu bukanlah alasanmu. Ini terdengar konyol, Aussie " Austin menggeleng. Dia bangkit berdiri meninggalkan sofa di mana Erica dan dia duduk. Dia sangat gelisah. Dan kecemasan itu membuat Austin berkeringat cukup banyak. "Aku tidak akan menjelaskannya sebab kau tak bisa mengerti."
Mengambil sebotol bir, Austin berjalan keluar rumah. Berusaha mencari tempat yang baik agar udara mampu memasuki paru-parunya dengan baik. Austin masih memejamkan mata ketika bahunya disentuh oleh tangan pria. Austin membuka matanya sampai si pemilik pesta muncul di hadapannya.
"Kau terlihat berubah, Kawan! Ada apa? Kau tidak suka pestanya?" Nicholas Hugo mencoba mencari tahu. "Kau membuat Mary kesal kemudian meninggalkan Erica tanpa jawaban. Katakan padaku apa yang sedang kaualami. Aku bisa membantumu."
Austin menghela napas. "Ini adalah masalah yang tidak bisa kaumengerti, Kawan. Aku tidak berniat membagikan masalah ini, Nick. Aku hanya berharap alkohol mampu merubah situasi yang kuhadapi tapi kira tidak akan bisa." Seiring Austin menjelaskan. Miles memicingkan mata--menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada Austin.
"Apa ada gadis yang hamil karenamu?" Pertanyaan itu cukup membuat Austin terkejut. Dia sampai melongo layaknya orang dungu yang dipergoki berbuat salah. "Oh, jadi ini masalah cewek hamil karenamu? Apa susahnya masalah itu? Setiap bulan ibuku mendapat pengakuan dari gadis-gadis sekolah bahwa mereka hamil anakku. Namun masalah selesai dengan aborsi. Kenapa? Kenapa kau sangat serius menanggapi masalah ini?" Nicholas merangkul Austin. Menenangkan dia meski Austin tak bisa tenang sekarang. Selama ini Austin melakukan hubungan intim atas dasar suka sama suka.
Akan tetapi malam ini justru dia melakukan kesalahan. Dia melecehkan perempuan yang kini menjadi istrinya. Bagaimana pun menyenangkannya bercinta, diperkosa adalah tindakan yang salah. Tidak ada hukum yang membenarkannya. Itu sama saja melecehkan harga diri seorang wanita.
"Kau tidak akan pernah mengerti, kawa. Bagaimana pun kau memosisikan dirimu sebagai aku. Kau tidak akan pernah menjadi aku, karena kau adalah dirimu sendiri. Bersenang-senanglah dengan gadis-gadismu, Kawan. Aku butuh tempat untuk sendiri." Austin melangkah menjauhi Nicholas.
"Hei, Austin. Tolonglah, aku bisa memahami dirimu. Akan kucarikan jalan keluar dari masalahmu, Bung." Austin tidak yakin bicara kepada Nick mengenai dia telah menikahi wanita yang lebih dewasa.
Austin tetap melangkah pergi. Memasuki limusin kemudian melajukan mobil mahal itu mengelilingi kota New York. Austin mengutuk dirinya sendiri. Mengutuk perasaan bersalah yang mendadak menggelayuti pikirannya.
Austin mencoba memutar lagu namun tidak ada lagu sendu yang tersimpan di pemutar musik mobilnya. Hanya ada lagu metal yang beraliran gelap, penuh kebisingan dan menyeramkan. Austin ingin mendengarkan lagu Adele saat ini atau setidaknya lagu yang mewakili kesedihan seseorang.
Dia merubahmu begitu cepat, Austin! Kenapa kau begitu lemah karena dirinya? Ingat dirimu yang dulu! Bengis, Berengsek, dan kau tidak peduli apapun. What the hell with you!
"Aku seperti ini karena Ini pertama kalinya aku melecehkan perempuan. Memaksa Yessie memuaskan berahiku." Austin berteriak. Menjawab pertanyaan iblis yang mengganggunya. Nicholas, Erica menghubungi nomornya namun Austin mengabaikan panggilan dari mereka. Tadinya Austin berpikir jikalau pesta mampu membuat dia melupakan Yessie. Faktanya pesta malah mengingatkan betapa bejadnya dia selama ini. "Ya, Mom!"
Austin bisa mengabaikan telepon semua orang tapi tidak bisa mengabaikan telepon Melanie ibunya. Austin tahu pertanyaan apa yang akan ditanyakan ibunya. Tidak lain dan tidak bukan mengenai hubungan dia dan Yessie. Heran sekali bahwasanya ibunya begitu menyukai pribadi Yessie. "Apa kabar dengan istrimu? Apa sudah ada perkembangan?" Austin diam. Bukan perkembangan yang baik yang terjadi melainkan perkembangan buruk.
"Oh, Tanyakan saja pada dia. Aku sedang sibuk, Mom."
"Honey, Ada apa? Dia istrimu dan kau harus memastikan dia baik-baik saja. Ketahuilah bahwa kau tidak selamanya menjadi remaja. Lucky B Smith menjadi Ayah muda dan dia baik-baik saja. Kenapa kau tidak bisa belajar dari dia?" Austin bergeming.
"Aku Austin bukan Lucky! Dan kupikir aku tidak akan bisa menjadi suami yang baik untuk Yessie. Tidak akan pernah bisa karena aku belum mampu menyaingi kedewasaannya," jelas Austin sampai akhirnya ia harus mendapat nasihat panjang dari ibunya. Austin menutup teleponnya ketika ibunya selesai bicara. Austin Menepikan limusinya di gang sempit Brooklyn Ave dan mencoba tidur di dalam limusin mahalnya.
"Masalah tidak pernah mendewasakan hanya membuat pribadi menjadi cengeng." Austin berbisik pada dirinya sendiri seiring matanya mulai tertutup. Malam ini adalah malam mengerikan bagi lelaki itu. Malam yang tak seharusnya ia kenang sebagai malam indah. Atau justru tidak ada malam menyenangkan? Siapa yang tahu. Austin selama ini hanya merasakan kesenangan sementara. Kesenangan yang hingga kini sudah dilupakannya. Bahkan mungkin kata itu memang tak pernah ada dalam kamus hidupnya.
See U next time
Follow me
@sastrabisu dan erwingg__