***
Rumah. Semua orang punya pengertian mengenai rumah. Kebanyakan orang mengartikan rumah sebagai orang yang paling dikasihi. Mereka yang membahagiakan pribadi kita. Dialah rumah yang sebenarnya. Sebab rumah itu selalu menyenangkan.
Tepat ketika matahari telah bangun dari tidurnya. Austin mengendarai Limusin-nya menuju apartemen mewah Atlantic Ave, tempat tinggal barunya bersama Yessie. Pagi itu, Austin menelepon Ayahnya. Mengajukan protes agar bodyguard di depan apartemennya segera dibekukan. Dan agar keinginan dia terwujud, Austin pura-pura berjanji untuk mencintai Yessie.
"Ya. Ini ide yang bagus. Dad memegang kata-katamu, Aussie!" Kalimat itu yang terakhir dikatakan Ayahnya. Jika berbohong mampu meringankan beban maka berbohonglah. Entah kalimat bijak menjijikkan dari mana lagi pria setengah dewasa ini mengutipnya di otak kecilnya itu.
Beberapa menit kemudian, Austin sampai di apartemen. Betapa senang Austin karena pengawal menyebalkan suruhan Ayahnya sudah tak lagi membuntuti kehidupan dia dan Yessie seperti stalker yang ingin tahu kehidupan privasi idola mereka.
Austin yang merasa malas masuk ke dalam apartemen. Melepas sepatun tanpa merapikannya di rak sepatu. Austin memakai sendal mahalnya lalu melangkah masuk ke dalam kamar di mana Yessie berada.
"Berpakaian rapi, merias wajah, membawa tas murahan itu, dan menatap sinis ke arahku pagi-pagi buta. Ada apa dengan dirimu?" Austin keheranan melihat Yessie begitu bersemangat pagi ini. Dia merasa rugi menggalau semalaman memikirkan Yessie. Dan ternyata wanita itu bisa baik-baik saja? Omong kosong.
"Aku ingin mengajar lagi. Ada yang salah?" Yessie menantang. Dia bertingkah seolah tak ada apa-apa yang terjadi semalam. Yessie kembali menjadi wanita tangguh. Dia tidak bisa diremehkan. Austin yang tadinya ingin meminta maaf justru menjadi jengkel karena dia.
"Mengajar? Kau pasti bercanda. Kau ingin menghancurkan kehidupan sosialku dengan muncul di sekolahku? Apa tidak cukup kau membuat Mom dan Dad menghukumku seperti ini?" Austin membanting jaketnya di sofa. Sulit dibayangkan bila wajah Yessie selalu muncul dalam hidupnya lagi. Rumah, sekolah, dan di mana pun.
Yessie menyeringai. "Apa pun yang ingin kaukatakan terserah. Aku akan tetap mengajar apa pun yang terjadi. Lagipula aku tidak di sekolahmu melainkan sekolah lainnya." Yessie menegaskan sembari fokus meluhat Austin frustasi.
"Kau membuatku kerepotan, Yessie Montghomory. Apa kau tidak berpikir apa yang akan dikatakan Mom jika aku membiarkan kau mengajar? Aku adalah masa depan McDowell Enterprise. Akan sangat memalukan kalau istriku mengajar anak sekolah," tegas Austin. Yessie meringis dan membalas, "Kenapa kau sangat tergila-gila menghalangiku?"
Yessie menambahkan, "Aku tidak bangga menjadi suami dari pria nakal, kautahu? Aku tidak mengerti kenapa dirimu menghalangi karirku. Kau takut aku menemukan pria lain?" Yessie kembali memancing amarah Austin. Dua orang ini memang tak bisa akur satu sama lain. Lebih menyenangkan saling menghina.
"Jangan bermimpi kau. Aku populer di sekolah. Semua gadis mendambakan aku. Sementara kau? Aku yakin tak akan ada pria yang menyukaimu," ujar Austin meremehkan.
Yessie bungkam. "Dan mana sarapan untukku?" Austin bertanya jengkel. Yessie mengangkat bahu. "Kukira kau tidak akan menyantap masakan buatanku. Aku sudah membuat hamburger untukmu semalaman. Ya, panaskan saja hamburger itu. Aku terlalu lelah meladenimu." Yessie menghadapkan wajahnya di cermin. Merapikan pakaian, kemudian mewarnai bibirnya dengan gincu keluaran New York.
Austin memerhatikan wanita itu. Yesdie tampak sangat cantik tapi dia tak akan memuji wanita itu. Austin berseru, "Omong kosong. Beraninya kau! Suamimu lapar dan kau tidak berinisiatif membuatkan sarapan? Kau hanya menyuruhku memanaskan hamburger?" Yessie yang sibuk merias terpaksa berbalik ke arah Austin.
"Kau bisa memesan pizza pesan antar. Apa sulitnya, Aussie? Kenapa kau manja seperti ini? Jangan bilang kau masih disuapi ibumu saat makan? Aku sama sekali tak berharap anakku mewarisi sifat burukmu itu." Yessie selesai merias wajah. Dia berjalan mendekati Austin.
"Cobalah mengerti. Kau sibuk dengan kehidupan hedon bersama teman-temanmu. Aku pun juga butuh kehidupan formalku. Aku hanya mengajar, oke?" Yessie memberikan kecupan di pipi Austin kemudian melangkah pergi. Austin mendengus, betapa Yessie membuatnya bingung.
"Fuck you, Yess! Aku semalaman merasa bersalah dan kau baik-baik saja? How bitch you are!" Austin melangkah kasar menuju kamar mandi kemudian setelahnya mengganti pakaian. Kaos putih, jaket coklat, dan jeans hitam menjadi pilihannya. Membuatnya tampak seperti Liam Payne dengan gaya itu.
***
Austin McDowell begitu populer di sekolah sebab dia adalah ketua dari tim sepak bola di sekolahnya. Betapa si Austin mengagumi Messi sebagai pemain sepak bola Barcelona. Dia sangat ingin bertemu pemain bintang bola tersebut.
Austin sampai di sekolahnya sejam kemudian. Erica menghampiri dia kesal ketika Austin akan memasuki kelas Geometri. "Kau belum menjelaskan, Aussie. Aku bingung denganmu belakangan ini. Apa kau ingin putus?" Erica tampak murung bercampur kesal.
Austin menangkup wajah gadis itu. "Kita bicara saat jam istirahat. Percayalah tidak ada apa-apa. Aku mencintaimu, Erica. Kita tidak akan putus apapun yang terjadi." Austin berusaha meyakinkan kekasihnya. "Aku juga mencintaimu. Lain kali menginaplah di rumahku. Aku kesepian, Aussie!" Austin mengangguk.
"Ya. Aku juga merindukan masa-masa kita," kata Austin sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas geometri. Semua cukup damai untuk kali ini. Hubungan dia dan Erica baik-baik saja. Dan tidak akan ada kata putus sebab mereka saling menyayangi.
"Di mana, Nick berada?" Austin berbisik pada salah satu teman kelasnya. "Nick pindah sekolah." Maria menjawabnya dari samping. Maria terlihat muak melihat pandangan Austin. Tapi dia tetap berharap pada lelaki itu. Berharap mereka bisa berkencan suatu hari.
"Holy Cow! Kenapa dia tidak bilang padaku?" Austin segera meraih ponselnya untuk mengirim pesan ke Nicholas. "Kau terlalu emosional malam itu jadi dia tidak memberitahu. Kau bahkan mendorongku. Kau tahu kau adalah bajingan tengik," celoteh Maria.
"Ya, aku memang bajingan tengik dan maafkan aku karena aku bajingan." Austin mengungkapkannya datar. Ia mengetik sesuatu di ponselnya. Lebih tepatnya mengirim pesan kepada Nicholas. Mengapa dia bisa pindah sekolah tanpa memberitahunya. Kelas dimulai, Miss Daugherty menjelaskan panjang lebar mengenai materi geometri. Membuat Austin teringat jikalau istrinya juga seorang pengajar. Dan... tunggu dulu, Yessie mengajar di sekolah baru Nick? Nicholas pun pindah di James Madison? Austin mulai gelisah karena kenyataan itu. Ia mulai tidak tenang. Mungkinkah? Tidak akan! Selera Nicholas sangat bagus. Niccholas tidak akan jatuh hati pada Yessie.
See u next time!
Follow me
Sasteabisu dan erwingg__