***
Cinta itu membingungkan. Hatimu lebih mengetahui dengan siapa kau jatuh cinta. Cinta adalah perasaan pribadi. Ia bisa membuatmu menjadi bajingan dan bisa juga membuatmu jinak. Cinta rumit, ada banyak teori mengenai cinta dan beragam penjelasannya.
Austin MCDowell tidak pulang ke apartemen ketika jam pulang sekolahnya tiba. Dia menghabiskan waktu bersama kekasihnya, Erica. Hubungan mereka belum berakhir, Austin memutuskan untuk tetap bersama gadis itu. "Aku masih mencintaimu dan akan selalu seperti itu," bisik Austin sambil menggenggam tangan kekasihnya.
Austin dan Erica merupakan siswa popular di sekolah mereka. Keduanya menjadi sorotan karena sama-sama ketua dari sebuah organisasi sekolah. Austin kapten sepak bola sementara Erica kapten pemandu sorak. "Aku tahu. Kita akan menjadi pasangan sampai akhir." Erica membalas penuh keyakinan sehingga ciuman panas tak terhindarkan oleh mereka. Austin mengusir fakta kalau dia merupakan suami dari seseorang. Ada wanita yang menantinya di apartemen.
Di rumah Erica, Austin menghabiskan malam bergairahnya. Sejenak, Austin bisa melupakan beban yang diberikan Yessie terhadapnya. Austin terlalu larut dalam kesenangan. Dia tidak bisa memikirkan Yessie terus-menerus. "Jangan mengabaikanku lagi, Aussie. Aku mau kita hidup bahagia sebagai pasangan kekasih," kata Erica dengan suara lembut.
"Tentu saja. Kita akan terus bersama." Austin bangkit dari tempat tidur, dia memakai kaos putihnya lalu berkata, "Sekarang sudah jam sepuluh malam. Aku harus pulang, Dad dan Mom akan menceramahiku kalau aku pulang larut lagi." Erica menampakkan mimik tak senang.
"Waktu adalah jalang. Tetapi aku tidak bisa menahanmu. Apa tidak bisa kaupulang besok saja? Aku masih ingin tidur dalam dekapanmu." Austin menggeleng. Bagaimana pun dia harus pulang. Dia harus memarahi Yessie agar tidak mengajar lagi. Untuk alasan apa wanita itu mencari uang. Bahkan Austin bisa membeli sekolah mana pun kalau ia mau. Orang tuanya kaya raya.
"Jaga dirimu. Aku pulang dulu," pamit Austin. Dia melompat keluar jendela kamar Erica. Orang tua Erica ada di rumah. Mereka bertemu sembunyi-sembunyi. Jika orang tua Erica tahu, Austin akan tamat. Austin segera menaiki mobil dan meluncur ke apartemennya. Dia sempat melambaikan tangan ke Erica sebelum akhirnya menghilang dari sana.
***
Yessie sedang menonton televisi ketika Austin masuk ke dalam apartemen. Dia barusan menyelesaikan kerjaannya di sekolah--memeriksa tugas yang dia berikan ke muridnya pagi tadi. "Hei, kau tidak diperkenankan masuk rumah memakai sepatu. Apa yang kaulakukan, Aussie?" Ada sendal di rak sepatu. Yessie tidak suka kebiasaan Austin yang tidak rapi. Austin memutar bola matanya saat mendengar ocehan Yessie padanya. "Ini apartemenku. Terserah aku mau melakukan apa?" Jawaban ketus nan menindas.
Yessie menghela napas. Dia mendekati Austin lalu memerintahkan Austin untuk melepas sepatu untuk kedua kalinya. "Aku tidak mau! Lepaskan sendiri kalau kau mau." Austin duduk di sofa, mengangkat kakinya agar Yessie bisa melepas sepatunya. "Aku pasti sedang mimpi buruk punya suami sepertimu." Yessie melepas sepatu Austin lalu melempari sepatu itu di wajah Austin. Yessie berlalu setelah berhasil melakukan itu.
"Beraninya kau!" Austin geram. Dia ingin melempari Yessie sepatu namun seketika dia sadar bahwa Yessie sedang mengandung anaknya. Austin menaruh sepatu itu di rak sepatu dengan malas. Kemudian, dia bergegas ke ruang makan. Yessie membuatkan kopi dan hamburger untuk makan malam mereka. "Aku tidak tahu kamu ke mana tapi aku yakin kau belum makan. Aku sudah buatkan hamburger beracun untukmu."
Austin meringis. "Oh, aku penasaran menyantap hamburger beracun buatanmu. Setidaknya kau bisa terkenal jika suamimu mati karena racun sianida?" Yessie terlalu lelah meladeni suaminya. Ia hendak masuk kamar tapi ia mendadak mual. Mungkin ia sedang dalam fase mengidam. Austin terlihat prihatin. "Hei... Kau baik-baik saja? Apa bayiku sehat-sehat saja?"
Yessie tidak membalas. Dia tidak nyaman bicara serius dengan Austin. Setidaknya dia harus tampak serba bisa agar tidak diremehkan berengsek tengik itu. "Kau sudah minum susu hamil? Jangan bilang kau tidak pernah meminum hal semacam itu?" Austin memeriksa perlengkapan dapur. Ia mencari bungkus susu hamil. Dia mendapatkannya tapi sudah habis.
"Susu hamil sangat penting untuk nutrisi bayi. Kau bisa menyuruhku membrli susu hamil kalau kau membutuhkannya. Kau ini ibu macam apa?" Austin mengomel. Yessie merasa sesuatu menghangat dalam dirinya. Entahlah, perhatian Austin membuat dia bahagia. "Kenapa tiba-tiba perhatian seperti ini? Kau aneh. Kau tak mencintaiku. Kau punya pacar yang harus kauurusi."
Austin tidak punya jawaban pasti. Dia salah tingkah. "Aku hanya--, aku--, aku mengkhawatirkanmu. Maksudku bayiku. Jika kau sakit maka itu berpengaruh pada bayiku. Mom dan Dad mengharapkan anak itu. Jadi dia harus lahir." Yessie terpaku untuk bertanya satu hal pada Austin. "Apa kau mengharapkan bayi ini juga?" Austin termangu. Dia melihat ke arah lain.
"Tentu saja tidak. Anak itu hanya akan merusak masa depanku. Setidaknya Mom dan Dad mengharapkan kelahirannya. Seharusnya kau bersyukur," kata Austin. Yessie merasakan sesuatu menumbuk hatinya. Rasanya sangat menyakitkan mendengarkan pernyataan Austin. "Kau menyakiti hatiku. Sungguh, kau begitu melukaiku. Teganya kau bicara begitu." Yessie meninggalkan ruang makan setelah menumpahkan isi hatinya.
"Yess! Yessie! Aku tidak bermaksud bilang begitu. Hei dengarkan aku dulu." Austin tidak suka situasi semacam ini. Situasi yang membuat dia terlihat seperti lelaki bajingan. Dia bahkan tak berniat menyakiti hati Yessie. Dia hanya mengatakan apa yang dia rasakan. Austin duduk di meja makan. Dia terlalu lelah untuk mengejar. Dia menyantap hamburger buatan Yessie dan juga kopi buatan wanita itu. Austin nyaris menghabiskannya, dan dia baik-baik saja.
Yessie tidur menyamping di atas kasur ketika Austin usai makan malam. Mereka punya kasur yang luas. Jelas sekali kalau keluarga Austin memang kaya raya. "Kau tidak menaruh racun di dalam hamburger-nya. Padahal aku menantikan mulutku berbusa." Austin bercanda namun Yessie tak bergerak sedikit pun. Yessie tetap menikmati tidurnya. "Bicaralah agar aku tenang. Jika kau seperti ini maka aku akan merasa kau mencintaiku. Kau tahu aku bajingan. Kau tidak harus sakit hati jika mendengar kalimat pedasku."
Yessie membalik tubuhnya sehingga dia bisa melihat Austin yang memakai kaos putih dan celana pendek. Dia sangat cepat mengganti celananya. Tadi Yessie melihat dia masih pakai celana jins waktu di ruang makan. "Aku tidak sedih karenamu. Kau hanyalah bajingan tengik bagiku. Jangan banyak berkhayal." Yessie mengeluarkan kekesalannya. Benar kata Austin. Rasanya aneh jika mereka berdua berbicara formal dan serius. "Ya. Aku memang bajingan. Karena itu jangan pernah terlihat sedih di hadapanku." Austin berujar datar. Yessie kembali membaringkan kepalanya. Ia tidak bisa meladeni Austin terus menerus. Austin tipe orang yang bisa membuat dia marah setiap detik.
"Aku keluar dulu. Aku akan beli susu hamil untukmu. Aku melakukan ini demi bayiku. Jangan merasa aku perhatian padamu," tegas Austin kemudian melangkah keluar dari dalam kamar. Austin melirik jam di tangannya. Dia ingat ada toko yang buka dua puluh empat jam. Austin benar-benar melaksanakan apa yang ia ucapkan. Dia membeli susu hamil untuk Yessie. Entahlah, pria itu merasa dia punya tanggung jawab atas bayi yang dikandung Yessie.
See u next time!
Sastrabisu dan erwingg__