Selama dua jam penuh Lori dimanjakan dengan pemandangan rerumputan hijau di kedua sisi serta bangunan kincir angin khas negara Belanda dan berbagai macam tanaman bunga yang menghiasi perjalanan mereka.
Anxia juga mau tidak mau turut menikmati perjalanan ini dengan pemandangan bak negeri dongeng ini. Kalau saja suaminya ini tidak duduk menempel dengannya hingga nyaris mengukungnya seolah memeluknya, dia akan sangat berterimakasih lagi.
Sepanjang perjalanan, Lori yang pintar sudah pandai menggunakan smartphone milik ibunya dan mengambil berbagai banyak foto di tiap pemandangan yang ia lihat.
Dia bahkan mengambil foto candid kedua orangtuanya yang duduk bersebelahan dengan santai. Ibunya memandang ke kanan sementara ayahnya tidak berhenti mengajaknya bicara. Sesekali Richard juga mengajak Anxia bicara, tapi wanita itu hanya menjawabnya dengan sesingkat mungkin tanpa menoleh.
Lori menghela napas berat seakan dia ini sudah dewasa yang pasrah memikirkan hal-hal rumit yang dialaminya. Yah, dia cukup merasa putus asa melihat ibunya begitu keras kepala tidak mau membuka diri terhadap pendekatan ayahnya.
Ting! Tiba-tiba sebuah lampu imajinari muncul dan menyala di atas kepalanya menandakan dia memiliki ide yang cemerlang.
"Papa, mama, bagaimana kalau kita berfoto bersama? Kita belum punya foto bersama!"
"Ide bagus!"
Richard melirik ke arah Anxia dengan tercengang. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya dia mendengar nada antusias dan bersemangat dari suara istrinya semenjak mereka berangkat menyelusuri kanal kota ini.
"Ayo kesini, kita foto bersama." lanjut Anxia dengan nada antusias yang sama membuat Lori memekik dengan girang.
Langsung saja Lori datang menghampiri mereka dan dengan gerakan halus, Anxia menyuruh Richard untuk bergeser menjauh agar Lori bisa duduk di tengah mereka. Hal ini membuat Richard ingin tertawa terbahak-bahak. Rupanya istrinya bersemangat untuk berfoto bersama karena dia bisa duduk berjauhan darinya.
Yah, karena pada dasarnya Richard menyayangi dua perempuan didepannya ini, dia mengalah dan membiarkan putrinya duduk diantara mereka.
Untung saja Richard membawa tongsis sehingga mereka bisa mengambil wefie dengan enak.
Satu kali, dua kali, tapi tampaknya tidak satupun foto yang bisa memuaskan hati Lori.
"Ah tidak, kenapa aku menutup mata?"
"Ah, mama, kenapa cemberut?"
"Ya, ampun rambutku berantakan, wajahku tak terlihat."
Dan berbagai macam keluhan lainnya. Richard nyaris tidak bisa menahan tawanya mendengar keluhan putrinya yang terlihat jelas dibuat-buat. Ah, putrinya ini nakal sekali, persis sama seperti dirinya waktu masih kecil.
Richard tahu betul Lori sengaja meminta wefie agar Anxia mau membiasakan dirinya untuk berdekatan dengannya.
Sementara Anxia sendiri merasa jengkel setengah mati oleh kelakuan putrinya. Ada apa dengan Lori hari ini? Tidak biasanya putrinya secerewet ini apalagi mengeluh tidak jelas hanya karena beberapa foto.
Lori juga yang mengatur pose mereka seperti Richard yang harus merangkul pundak Anxia mendekat sementara Lori duduk ditengah-tengah mereka, atau saat Lori menyuruh tangan kedua orangtuanya membentuk hati di atas kepala mereka sambil menampakkan senyuman senang.
Sejak kapan putrinya menjadi ahli penata gaya seperti ini?! Anxia sama sekali tidak bisa menemukan jawabannya.
Anxia sudah tidak tahan lagi kalau harus duduk dengan tangan Richard merangkul pinggangnya. Belum lagi pria brengsek ini sengaja mengelus pinggangnya dengan jarinya yang lihai.
Jarinya menekan-nekan titik sensitive yang tidak pernah ia ketahui dia memilikinya. Dia menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan desahan nikmat agar putrinya tidak curiga.
"Aku masih ingat betul letak titik kesukaanmu sayang." bisik Richard persis di telinganya dengan suara menggoda.
Anxia mencengkeram bajunya menahan diri agar dia tidak meledak saat itu juga.
Ingat, ada Lori. Ada Lori didekat mereka. Dia tidak boleh menunjukkan sisi monsternya pada putrinya. Dia tidak ingin putrinya takut padanya ataupun membencinya.
Ingat ada Lori. Ucap Anxia berulang kali didalam hatinya seolah kalimat itu adalah mantera untuk meredamkan emosinya.
"Lori, mama capek. Lori foto sendiri saja sama papa." akhirnya Anxia memutuskan untuk menghentikan acara foto wefie ini dan menepis tangan pria brengsek dari pinggangnya.
"Aw, mama. Sekali lagi. Yang terakhir. Pleaseeee…" Lori menggenggam baju ibunya dengan tangan mungilnya sambil memasang puppy eyes dan mengedipkan matanya berulang kali.
Seperti yang diduga Lori, Anxia tidak bisa menolak permintaannya. Apalagi kalau dia memasang ekspresi memelas maut miliknya.
"Baiklah, yang terakhir. Setelah itu mama tidak mau difoto lagi."
"Yey!! Kali ini aku ingin papa mama mencium pipiku bersamaan!" seru Lori membuat Anxia merasa ingin tenggelam saja di dasar bumi.
Sementara Richard memuji kepintaran putrinya dalam hati dan bersorak senang. Namun dia tidak menunjukkannya dan memasang ekspresi datar seolah foto mencium pipi putrinya bersamaan istrinya adalah sesuatu yang wajar untuk dilakukan.
Yah, memang wajar kan? Di dunia ini ayah ibu mencium anak-anak mereka di kedua pipinya secara bersamaan adalah hal yang wajar. Jadi apa yang diminta Lori juga adalah hal yang wajar. Namun Anxia tidak memandangnya seperti itu. Dia tidak suka melakukan hal-hal bersama Richard sebagai keluarga.
Walaupun Anxia kini menjadi istri Richard secara resmi, bukan berarti hatinya sudah dia berikan pada pria itu. Cepat atau lambat dia akan pergi meninggalkan pria itu begitu dia telah menemukan posisi ibunya serta yakin Lori bisa aman bersamanya tanpa harus ketahuan oleh master Yu.
Anxia hanya memanfaatkan pernikahan ini demi putrinya saja. Kalau seandainya tidak ada Lori di dalam kehidupannya, mana mungkin dia mau terikat dalam pernikahan bersama pria ini?
"Mama?" panggilan Lori membuyarkan lamunan Anxia membuatnya menghela napas pasrah. Apakah tidak ada cara lain untuk menolak permintaan putrinya tanpa harus menyakiti hati Lori?
"Anxia, hanya ciuman di pipi biasa. Lagipula ini tidak seperti kau akan menciumku, atau kau ingin menciumku daripada mencium Lori?"
Anxia mendelik penuh kesal terhadap suaminya. Bisa-bisanya pria itu mengumbarkan kalimat tak tahu malu itu!
"Oh? Mama mau mencium papa?"
"Tidak!"
"…"
"…"
Tanpa ia sadari, Anxia menjawabnya dengan nada tinggi seolah dia sedang marah. Lori langsung menundukkan wajahnya lalu memainkan jarinya dengan gugup.
"Qiao Anxia, kau tidak perlu marah. Coba lihat apa yang sudah kau lakukan? Kau membuatnya takut." Richard menggendong Lori sambil menepuk punggungnya dengan halus sementara Lori menyenderkan kepalanya ke bahu ayahnya dengan nyaman.
Dia tidak berani melihat sinar mata mengerikan ibunya, jadi Lori menolehkan kepalanya ke sebelah kiri.
Mengetahui putrinya yang tidak ingin melihat wajahnya membuat hati Anxia teriris.
"Lori, my little girl, maafkan aku ya. Aku tidak bermaksud memarahimu."
Richard menelan ludah saat Anxia bergerak maju mendekatinya. Lehernya yang putih dan tampak halus terpampang jelas didepan matanya. Aroma perempuan itu yang memabukkan bisa dirasakannya melalui hidungnya.
Bukankah Anxia tidak suka didekati? Kenapa kini perempuan itu malah mendekatinya?
Sebenarnya, Anxia sama sekali tidak berniat mendekati Richard. Pikirannya hanya terpusat ingin meminta maaf pada Lori dan membuat putrinya menoleh ke arahnya. Sayangnya dia sama sekali tidak tahu, kedekatan yang ia lakukan ini membuat suaminya berusaha mati-matian untuk tidak 'memakannya' saat itu juga.
Tidak ada yang mengetahui bahwa saat ini senyuman lebar penuh kemenangan tersungging di wajah mungil Loreine Summer Richie.