Begitu tiba di salah satu vila milik Raymond, Richard langsung masuk ke dalam vila tanpa menggubris anak yang kini digendong oleh Kendrich.
"Hei, bagaimana dengan anak ini?" teriak Kendrich dengan jengkel. "Tsk. Anak yang malang, dia sudah mulai bosan denganmu."
Lori memandangnya dengan bingung karena Kendrich sengaja mengucapkan kalimat terakhirnya dalam bahasa Jepang.
"Apakah papa sudah tidak menyukaiku lagi?"
Kendrich benar-benar merasa kagum akan kepekaan anak ini. Padahal masih sangat kecil, tapi anak ini sudah begitu cerdas dan peka akan sekitarnya. Mungkin anak ini juga menyadari dia berada dalam bahaya saat hendak dibawa pergi oleh orang asing tadi, itu sebabnya dia berteriak sekencang-kencangnya.
Kalau anak pada umumnya, mungkin saja anak itu akan tetap diam saja dan kini sudah menghilang entah dibawa kemana oleh penculiknya.
Zaman sekarang ini, kasus penculikan anak di Eropa sering terjadi karena pasangan muda sekarang sangat jarang memperhatikan anak-anak mereka. Khususnya bagi mereka yang berasal dari orang kaya. Mereka hanya menyerahkan anak mereka ke baby sitter dan jarang mengawasi anak-anak.
Hal ini membuat para penjahat mudah menculik anak mereka untuk dijual lagi atau minta uang tebusan dengan jumlah yang sangat besar. Itu sebabnya, kasus penculikan anak lebih banyak dibandingkan kasus perampokan.
Kalau seandainya Lori tidak memiliki kecerdasan yang tinggi atau tidak menguasai bahasa Jerman, maka mungkin mereka akan percaya bahwa penculik itu adalah ayah dari Lori dan membiarkan anak itu diculik begitu saja.
Mau tidak mau, keberadaan Lori sudah cukup menempati hati seorang Kendrich Alvianc. Dia yakin anak ini juga sudah menempati tempat kosong di hati sepupunya, hanya saja Richard tidak mau mengakuinya dan menghindarinya.
Lagipula, mana ada orang yang bisa membenci anak secantik dan semanis ini?
Walau dua warna mata anak ini agak mengerikan, tapi tatapan polos serta rasa keingintahuannya menutupi aura seramnya dan hanya menimbulkan warna yang indah bagaikan bintang di galaxy.
"Itu tidak benar. Dia sangat menyukaimu, kalau tidak, dia tidak akan menggendongmu selama kita menuju ke parkiran di bandara tadi."
"Benarkah? Lalu mengapa papa tidak mau bicara padaku?"
"Mungkin dia sudah capek. Saat tadi dia bilang dia baru tiba di bandara tadi, dia tidak bohong. Dia barusan terbang dari Jepang kemari. Jadi kurasa dia hanya kelelahan."
Lori hanya diam saja dan menyenderkan kepalanya ke bahu Kendrich sambil menguap lebar menandakan dia sudah mengantuk.
Apakah mungkin sekarang jam tidurnya? Dia ingat keponakannya, anak dari Chleora Regnz suka tidur di jam-jam siang seperti ini.
Ah, kenapa tidak ada perempuan yang bisa dimintai tolong dirumah ini. Setelah ini dia akan meminta adiknya untuk ke Jerman bersama Harmonie.
***
Begitu selesai mandi serta mengeluarkan barang-barangnya, Richard turun ke ruang makan untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya.
Dia menyuruh seorang butler untuk menyiapkan makan malam untuk dua orang dewasa serta satu anak kecil.
Seperti yang diduga Kendrich, meskipun Richard mulai menghindari Lori, tapi Richard masih memikirkan keadaan anak itu.
Richard masih fokus pada laptopnya untuk meretas sekuriti keamanan di sebuah tempat saat Kendrich masuk dan duduk disebelahnya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Kendrich penasaran.
"Hanya urusan pekerjaan. Bagaimana dengan anak itu?"
"Dia tertidur pulas di kamar tamu."
Gerakan jarinya yang tadi menari lincah di atas keyboard laptopnya seketika berhenti mendengar jawabannya.
Dia langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju ke kamar tamu yang dimaksudkan Kendrich. Sepupunya merasa terheran dan mengikutinya karena penasaran apa yang ingin dilakukan Richard.
Richard mendesah lega saat melihat anak perempuan yang mungil masih tidur pulas di tengah-tengah ranjang yang besar. Dia masuk secara perlahan lalu menempatkan bantal serta guling empuk di sekeliling anak itu agar anak tersebut tidak terjatuh saat berguling kesana-kemari.
Setelah memastikan keamanannya, barulah Richard berjalan keluar dan menutup pintu sepelan mungkin.
Kendrich sempat menyaksikan adegan itu dan kini menatap sepupunya dengan jahil.
"Kurasa kau sudah siap menjadi seorang ayah. Kau yakin tidak ada gadis yang bisa kau ajak menikah?"
"Memangnya wanita itu barang yang bisa diajak nikah seenaknya?"
Kendrich tertawa kecil mendengarnya. "Ah, ngomong-ngomong Meli dan Moni dalam perjalanan kemari."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk menemani Lori. Kita tidak pernah menangani anak kecil sebelumnya. Akan lebih bagus kalau ada mereka yang merawat dan menemani Lori."
"Hm. Itu masuk akal." Richard kembali fokus pada pekerjaannya hingga makan malam telah selesai dihidangkan.
Richard melirik ke arah jamnya dan telah menunjukkan pukul enam sore. Mengingat tadi mereka tiba di vila sekitar jam satu siang, itu berarti Lori telah tidur hampir lima jam. Sudah waktunya untuk bangun, iya kan?
Tapi mengapa tidak ada suara apapun dari kamar anak itu?
Merasa penasaran Richard beranjak pergi menuju ke kamar tamu dan sangat tercengang melihat apa yang sedang dilakukan anak itu.
Saat ini Lori duduk dengan bersandar di bantalnya sambil menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Kakinya bergerak ke kanan kiri dengan gerakan santai sementara tangannya bergerak seolah menari tidak jelas diatas kepalanya.
Richard langsung tahu, anak itu sedang bosan setengah mati.
Dia merasa heran, jika Lori sudah bangun, kenapa tidak bersuara atau memanggil siapapun?
"Apa yang kau lakukan?"
Lori terkesiap lalu langsung duduk seperti anak yang manis serta mengumbar senyum terbaiknya.
Mau tidak mau kejengkelan Richard yang dirasakannya tadi siang menghilang tanpa bekas begitu melihat senyuman serta tatapan berbinar-binar dari anak itu.
"Papa! Papa sudah tidak marah?"
Richard tersenyum kecil mendengarnya. "Aku tidak marah. Sejak kapan kau sudah bangun?" Richard berjalan mendekat dan duduk di sudut ranjang besar tersebut.
"Hm… aku tidak tahu."
"Kenapa kau tidak memanggilku atau memanggil lainnya kalau sudah bangun?"
Lori mendesah layaknya orang dewasa yang mendesah berat membuat Richard tertawa dalam hati.
"Bukankah papa menyuruhku untuk diam? Aku tidak berani bersuara memanggil kalian. Apakah aku masih harus diam?" Lori menelengkan kepalanya dengan tatapan penasaran meningkatkan keimutannya membuat hati Richard meleleh.
Ugh! Sungguh sangat sulit membenci anak imut ini.
"Tidak. Kau boleh bicara sesukamu. Kau pasti lapar. Ayo makan."
"Yey!" dengan tangan terbuka lebar, Lori melompat kecil dan langsung tubuhnya terangkat tinggi dan digendong oleh Richard.
"Jadi namamu adalah Loreine? Siapa nama ibumu? Aku akan mencarinya agar bisa menjemputmu."
"Apakah papa akan bersama kami?"
"Kita lihat saja nanti." jawab Richard tanpa memberi jawaban pasti. "Jadi siapa nama ibumu?"
"Nama ibuku Xia Xia."
Boom! Seolah ada bom yang meledak di kepala Richard begitu mendengar nama itu.
Xia Xia? Apakah yang dimaksudkan anak ini adalah Qiao Anxia??
Ah, tidak mungkin. Pasti beda orang. Memangnya yang memiliki nama Xia Xia hanya Qiao Anxia saja? Pasti beda orang.
Anehnya, kenapa hatinya bersikeras mengatakan sebaliknya?