Chereads / The Last Curse at 17 / Chapter 8 - 8

Chapter 8 - 8

Awalnya aku ingin mengabaikannya, tapi aku merasa risih dan perasaanku tidak nyaman. Bulu romaku berdiri, dan mataku membelalak ketika merasakan rambut itu menyibak gaun tidurku. Aku menyibak selimut dan cepat-cepat menyalakan lampu kamar dengan jantung yang berdetak tak karuan. Tidak ada apa-apa. Tapi badanku masih merasa merinding. Akhirnya aku memustuskan untuk membawa bantal dan selimutku ke tempat orangtua dan adik-adikku tidur.

.

"Nanti ibu sama ayah mau pergi ya."

"Malam ini? Kemana?"

"Biasa belanja persediaan warung."

"Mas Syahri ikut nggak?"

"Nggak lah, kalian berdua di rumah." Aku mengangguk paham. Setidaknya aku tidak sendirian...

Pikirku, nyatanya setelah isya kakakku pamit untuk pergi ke warung wifi. Aku memintanya untuk pulang secepat mungkin. Aku tidak khawatir dengannya, aku hanya khawatir dengan diriku. Bagaimana jika nanti terjadi sesuatu pada diriku? Sialnya, kakakku hanya mengangguk cuek sambil mengibaskan tangannya. Apakah ada jasa tukar tambah kakak?

Aku kembali mengunci diriku di dalam kamar bersama dengan ponsel setiaku.

Tuk Tuk Tuk!!

Aku berusaha menghiraukan apa pun itu yang mengetuk-ketuk kaca jendelaku. Namun kondisi tidak mendukung karena mendadak aku ingin ke kamar mandi. Aku tidak suka menutup tirai jendelaku karena aku suka melihat pemandangan di luar kamar. Saat aku bangkit dari posisi berbaringku, aku melihat ke arah jendela, dan aku melihat beberapa kerikil yang menghantam jendelaku terus-menerus secara bergantian. Seperti ada orang yang melmeparinya. Aku bukan tokoh dalam film horror yang akan penasaran terhadap sesuatu seperti itu. Aku mengambil ponselku dan keluar dari kamar. Setelah dari kamar mandi, aku ingin memasak apapun yang bisa di masak di lemari pendinginku, walaupun pilihanku jatuh terhadap mi instan dan sebutir telur agar aku bisa melupakan rasa takutku.

Aku sedang menunggu telur goreng mata sapiku yang sedang dalam proses pemasakan. Aku melihat-lihat ke luar rumah sambil menutup pintu dapur yang menyambungkan langsung dengan garasi letaknya di bagian belakang rumah. Karena garasi ini juga sebagai tempat menyimpan tabung-tabung gas dalam jumlah banyak sehingga bagian atasnya berventilasi cukup besar. Saat aku melihat-lihat dari bagian ventilasi itu dengan iseng, dengan iseng pula suatu mata merah menyala melihat ke arahku dari atas pohon pisang. Tangan kananku yang sedari tadi memegang gagang pintu langsung menuutupnya. Jantungku kembali bekerja ekstra. Aku menelan salivaku dengan susah payah sambil menutup mata. Saat aku sudah tenang, telur gorengku pun sudah tenang tidak meledak-ledak lagi dalam keadaan hiperkrispi.

Selesai makan sambil menonton acara komedi, rasa takutku sudah sirna. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Sampai di kamar aku langsung cepat-cepat menutup tirai jendelaku. Kerikil-kerikil itu sudah tidak menghantam kaca jendelaku lagi, dan tidak lama aku mendengar motor milik kakakku memasukki garasi. Hatiku bersorak gembira sekaligus tenang.

Aku kembali berbaring dengan nyaman mengetahui kakakku telah kembali. Namun, ternyata keadaan seakan memainkanku. Tiba-tiba hanya ponselku menjadi satu-satunya sumber pencahayaan di kamarku. Aku berusaha memanggil-manggil kakakku dari depan kamarku, karena kamar kakaku berjarak sekitar sepuluh meter di sebrang kamarku. Namun, kakakku tak kunjung keluar. Jangankan keluar, menyahut saja tidak. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berjalan ke dapur bermodalkan korek api minyak yang memiliki senter, berharap persediaan lilin masih ada. Beruntungnya masih ada satu lilin yang terjatuh di bawah lemari kaca tempat penyimpanan piring. Dengan gesit aku mengambil dua piring kaca kecil dan langsung berlari ke kamarku. Aku mematahkan lilin itu menjadi dua bagian. Aku melupakan sumbu yang berada di tengah lilin. Aku tidak memiliki benda tajam di kamarku untuk memotongnya. Dengan susah payah aku berusaha memutus sumbu itu hingga membakarnya. Bukannya putus malah hanya memperburuk keadaan. Aku terpaksa kembali memberanikan diri untuk keluar kamar dan menuju ruang tengah untuk mengambil kotak peralatan jahit. Aku menemukan silet di dalamnya. Aku langsung kembali ke kamar dan segera memotong sumbu itu. Akhirnya sepasang lilin terpasang dengan indahnya di atas meja belajarku. Ketika aku hendak memainkan ponselku sialnya gambar batang-batang dengan berbeda ukuran itu berubah menjadi tanda silang. Aku menghembuskan nafas kasar. Aku merebahkan diriku di atas kasur sambil mendengarkan lagu dengan headphone-ku ditemani dengan api-api kecil yang bergoyang-goyang. Saat mataku mulai lelah melihat benda terang itu, aku mulai mengedarkan pandang di seluruh kamarku. Dan mataku terhenti di bagian pojok samping meja belajar. Aku melihat sebuah bayangan yang cukup tinggi.

'Bukankah api lilin itu bergoyang, tapi kenapa bayangan itu tetap diam?'