Chereads / The Last Curse at 17 / Chapter 12 - 12

Chapter 12 - 12

"Tadi ada yang berbisik ke aku dia bilang...

Delin."

Keadaan ricuh sudah diatasi oleh para guru dan memulangkan Naima lebih awal. Tapi perkataan Mema beberapa saat lalu membuat keplaku pening. Bagaimana tidak?! Bagaimana jika mereka menginginkan sesuatu dariku? Apa mereka ingin membawaku ke suatu tempat? Dunia mereka? Semua pertanyaan itu berputar tiada henti di kepalaku. Deretan angka dan simbol yang terus di goreskan oleh spidol hitam bertinta tebal milik guru matematikaku tak lagi kuhiraukan. Aku menelungkupkan kepala di atas meja berharap rasa pening di kepalaku dapat mereda. Namun bukannya mereda, rasa penong di kepalaku semakin parah. Akhirnya aku menyerah. Beruntung aku termasuk salah satu murid yang unggul dalam pelajaran matematika, sehingga guru yang sedang mengajar mengizinkanku untuk beristirahat di ruang kesehatan.

Sesampainya di ruang kesehatan aku menemui petugas yang sedang berjaga untuk menulis kehadiran sekaligus mengutarakan keluhan dan alasan aku di ruang kesehatan. Karena aku hanya mengatakan keluhan yang aku alami adalah sakit yang spele, dan aku menolak untuk dibuatkan teh hangat sehingga aku langsung menuju salah satu ranjang di balik tirai. Aku memilih ranjang yang di tengah karena berbatasan langsung dengan dipan yang memisahkan antara ranjang tengah dan belakang dengan ranjang depan tepat di samping jendela. Sayup- sayup aku mendengar sura azan Zuhur dari kejauhan. Entah mengapa aku merasa kepalaku semakin pening. Sambil mendengarkan azan yang sayup-sayup itu, aku berzikir dan tidur dengan posisi miring menghadap dipan untuk menyembunyikan wajahku.

'Aduh.. silau sekali. Sudah sore? Atau sedang mendung?'

Aku mengerjapkan kelopak mataku berkali-kali untuk membiasakan mataku dengan silaunya lampu. Setelah mataku sudah dapat melihat dengan jelas, susah payah aku berusaha untuk mendudukkan badanku. Kepalaku masih terasa pening. Aku mengedarkan pandang untuk mengobservasi tempatku berada saat ini. Oh benar, ini masih ruang kesehatan sekolah. Di saat aku masih sibuk membaca keadaan di luar yang begitu gelap, aku merasakan sebuah hawa dingin menusuk dari arah kasur belakang. Kala aku menengok, aku melihat seorang perempuang berjubah putih selutut. 'Apakah itu anak PMR yang sedang bertugas?' Aku mengamatinya dan aku menyadari ada yang salah dengan badannya. 'Perutnya... buncit? Seperti orang hamil.' Aku dipenuhi keraguan untuk menyuarakan kepenasaranku. Aku merasa tenggorokkanku tercekat. Wanita itu kini berbaring dengan keadaan memiringkan badannya. Dengan pandangan masih mengamati wanita itu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan darah yang mengalir dari bagian bawah perutnya. Ketika aku ingin berteriak minta tolong, lalu aku menyadari, aku tak bisa mengeluarkan suaraku. Serangan panik terjadi padaku. Aku hampir saja terjatuh dari ranjang karena terlalu banyak bergerak. Suara tangisan melengking dari arah kasur belakang yang menyusul setelah darah di perutnya keluar, membuatku kaku. Dan aku juga merasakan sakit di pinggangku tiba-tiba. Aku melihat ada seekor ular besar bewarna hitam keperakkan dengan tiara intan di kepalanya sedang melilitku. Lalu pandanganku menjadi gelap gulita.

"Lin... Lin, Delin!"

Aku berusaha membuka kedua kelopak mataku yang terasa sangat berat ketika mendengar ada suara yang memanggil namaku. Saat aku berusaha duduk sepasang tangan mendekapku erat. Di balik punggung orang yang mendekapku, banyak pasang mata yang memperhatikanku seakan aku adalah spesies langka di bumi ini. Ada apa dengan mereka?

Setelah orang itu melepaskan pelukkannya, ternyata ia adalah salah satu teman dekatku, Atul. Aku melihat matanya merah dan berair, sepertinya ia menangis, tapi mengapa? Tidak lama kerumunan orang-orang dengan tatapan ingin tahu itu bubar karena seorang guru dari bagian BP membubarkan kerumunan dan menghampiriku bersama dengan ketua OSIS, teman sekelasku, sekaligus ketua PMR yang memegang kunci cadang ruang kesehatan, bernama Marisa. Mimik wajah guru BP yag menemuiku ini sedikit masam dan curiga.

"Ada apa ya, Bu?"

"Kamu kemana saja tadi? Kata Marisa kamu tidak ada di UKS. Kamu kabur keluar sekolah ya?!" Aku terkejut akan sangkaan tidak enak dari guru BP itu. Dengan berusaha tenang aku mengutarakan kejujuran.

"Mohon maaf Bu sebelumnya, bukan saya bermaksud lancang. Apaka Ibu terdapat bukti atau saksi yang melihat bahwa saya keluar dari ruangan UKS ini, Bu?" Pupil guru BP itu bergerak tidak beraturan seakan terpojok.

"Ya memang kemana lagi kalau bukan keluar?! Marisa sendiri kok yang ribut nyariin kamu. Kan yang lain masih belajar mana mungkin ada yang mau memperhatikan kamu!" Aku mengerutkan kening dan melihat ke arah Marisa dengan tatapan bingung. Tidak tidak. Aku bukan menyalahkan tindakan Marisa atas keributan ini, aku memaklumi ia yang memikul tanggung jawab sangat besar.

"Mohon maaf, Bu. Tapi saya tidak beranjak sama sekali dari ranjang UKS ini, Bu. Dan jikalau saya keluar sekolah seperti yang ibu katakan, apakah itu memungkinkan dengan saya yang memakai rok span begini, Bu?" Ketika guru BP itu ingin membuka suara lagi, seorang guru BP senior yag dekat denganku menepuk pundak beliau.

"Sudah. Biar aku saja yang urus masalah ini. Kamu kan bagian penanganan kelas 7, aku sebagai yang menangani bagian kelas 8 ini tanggung jawabku." Guru BP yang sedari tadi mendesakku itu pun pergi dengan wajah yang semakin masam. Sekali lagi aku ditanyai hal yang terjadi.

"Saya tidak tahu mungkin Ibu akan percaya atau mungki pun tidak. Tapi saya hanya menjawab dari pertanyaan Ibu atas sebab kejadian ini. Jadi begini Bu..." Cerita itu mengalir di tiga pasang telinga yang aku takt ahu apakah rentetan kalimatku dapat diterima oleh kerja otak mereka. Itu tak lagi masalah bagiku, karena aku hanya melakukan apa yang mereka ingin aku lakukan.

Setelah sesi wawancara yang berlangsung sekitar 30 menit itu, guru BP tidak memutuskan secara langsung harus percaya atau tidak, dan memilih untuk mendiskusikan dengan guru BP yang lain. Ketika aku keluar, ternyata masih ada beberapa teman dekatku yang menunggu di depan langgar. Aku menghampiri mereka dengan tersenyum hambar karena aku masih kepikiran dengan kejadian hari ini. Seketika aku baru ingat, aku belum menanyakan perihal kejadian tadi kepada Marisa. Aku memanggil Marisa yang berjalan menenteng tasnya melewati kerumunanku.

"Mar, maaf ganggu waktu kamu sebentar ya. Aku hanya bingung, maksudmu gimana sih aku gak ada dimana-mana?" Marisa yang juga terlihat sama linglungnya menjawab dengan seadanya.