Chereads / The Last Curse at 17 / Chapter 11 - 11

Chapter 11 - 11

Kini semuanya jelas. Seluruh penyebab kejadian-kejadian itu.

"Lalu, apa bisa dipindahkan?" Aku bertanya dengan bulu kudukku meremang. Suatu perasaan lega mengalir ke seluruh tubuhku ketika ibuku mengangguk.

"Katanya sediakan setengah kelapa muda, yang di atasnya ditaruh gula merah lalu ditusuk lidi. Bawa kelapa itu ke tempat kita ingin memindahkannya." Tanpa ba-bi-bu lagi, ibuku menuju dapur dibuntuti oleh diriku dengan jantung yang berdebaran. Ibu menyiapkan sesajen yang tadi dibilangnya, lalu kembali ke kamarku.

"Dimana kamu biasa lihat 'itu'?" aku menunjuk sudut kamar yang memang sering sekali menjadi tempat munculnya bayangan hitam besar itu. Ibu mendekati sudut kamar yang baru kutunjuk dan membisikkan kalimat, " siapapun kamu yang ada di sini, aku minta tolong pindah dari tempat ini." Selesai berbisik, ibuku membawa sesajen itu ke jauh di belakang rumah, dekat dengan jurang yang tidak terlalu dalam namun terdapat rumpunan bambu.

Malam itu, setelah kami memindahkan benda 'itu', akhirnya aku dapat tidur tenang tanpa perasaan diawasi, setelah beberapa tahun ini.

.

Aku menaruh ranselku di kursi kelas dengan sedikit kasar karena beban yang kubawa hari ini lebih berat dari biasanya. Hari ini aku membawa baju semi-formal untuk latihan lomba setelah pulang sekolah nanti, dan juga kurvey kelas. Aku meregangkan tubuhku yang terasa sakit khususnya di bagian punggung. Tidak lama kemudian bel tanda memulai kegiatan belajar mengajar berbunyi.

Ketika bel istirahat berbunyi, aku mengeluarkan makanan ringan yang kubawa dari rumah, dan duduk di bangku panjang yang ada di depan kelas. Karena kelasku berada di sudut sekolah, sehingga dari depan kelas aku dapat melihat sedikit dari bagian belakang kelas yang berada di depan kelasku. Ketika aku sedang menikmati makanan ringan dan kesendirianku, sebuah kerikil mengenai ujung kakiku. Aku melihat kanan dan kiri. Sepi. Memang ketika istirahat keadaan selalu sepi, hanya ada satu dua orang saja yang bertahan di kelas, seperti orang sepertiku. Aku melihat terdapat kucing hitam sedang menjilati kakinya di atas pagar tembok samping kelasku. Aku mengedikkan bahu berusaha acuh tak acuh dengan kerikil itu. Namun, ternyata siapapun itu yang bermain kerikil begitu gigih untuk menggangguku. Ketika aku berdiri dan hendak mencari darimana asal kerikil itu, sebuah batu seukuran kepalan tangan anak bayi melambung ke arahku, dan jatuh tepat di samping kakiku.

Hiissss!!

Kucing hitam yang berada di atas pagar tembok mendesis seraya menegakkan bulu dan ekornya ke arah belakang kelas yang berada di hadapanku. Aku memberanikan diri melihat bagian belakang kelas di hadapanku seutuhnya.

"Halo. Eh! Kamu baik-baik saja? Kamu berdarah, ayo aku bantu ke UKS."

Aku tidak yakin siapa itu, hanya saja aku terkejut, aku melihat daarang mengalir dari rok putihnya. Entahlah, karena rambut panjangnya aku hanya dapat melihat dia meringkuk memeluk lututnya, yang dapat kulihat hanya kakinya yang berdarah. Mungkin saja anak ekskul PMR atau Paskibra. Namun ketika aku berjalan pelan mendekatinya, aku mulai melihat badannya kurus dan kulitnya putih pucat. Ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba aku mencubit hidungku yang pangkalnya terasa sakit karena bau danur yang menyengat dicampur dengan bau bunga kantil yang tajam. Kakiku yang tadinya perlahan maju, kini dengan cepat aku melangkah mundur. Aku tidak cukup bodoh untuk tidak mengenali jenis bau apa itu. Aku tidak membalikkan badanku karena itu akan berbahaya. Selama yang kutahu, jika kita memunggungi makhluk seperti itu, bisa saja mereka melakukan sesuatu kepada kita. Entah hanya perasaanku saja atau karena aku melangkah mundur sehingga terasa lebih jauh dengan kelasku. Ketika aku masih berusaha menjauh, makhluk itu mengangkat kepalanya dan perlahan menengok ke belakang. Sebelum aku melihat seluruh wajahnya, seekor kucing hitam melompat ke depanku dan mendesis kea rah makhluk itu, sehingga aku terkejut, tepat ketika bel pembelajaran berbunyi, aku menengok anak-anak yang mulai kembali ke kelas masing-masing. Ketika aku kembali melihat ke depan, kucing dan makhluk itu sudah tidak ada. Aku pun kembali ke kelas.

Matahari kini sedang dalam puncak semangatnya memancarkan cahaya, membuat para siswa dan guru mengeluah akan panasnya udara siang ini. Tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung menuju toilet siswi untuk berganti baju, lalu menuju mushola sekolah untuk melaksanakan sholat zuhur. Selesai sholat, aku menuju ke halaman depan sekolah untuk membeli batagor kesukaanku, memakannya di taman sekolah. Ketika aku sedang asik menikmati makananku, temanku Naima duduk di bangku yang berhadapan denganku.

"Hai Delin," sapanya.

"Oh, Nai. Nggak pulang?"

"Nggak, kan kita mau bersih-bersih kelas juga setelah ini." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala karena mulutku sedang penuh. Naima yang juga sambil menikmati kentang tornado di tangannya terlihat tak acuh.

"Oh iya, Nai. Nanti kalau ada yang bertanya, tolong bilang aku akan datang lebih lambat karena aku harus latihan dulu sebentar lagi." Kini Naima yang menjawab dengan anggukan. "Eh, tunggu, kamu datang lebih lambat, berarti ada kemungkinan nanti kamu yang disuruh membereskan alat kebersihan loh." Aku mengernyit menddengar perkataan Naima. "Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan itu?" Pupil Naima bergerak kesana kemari seperti ragu hendak mengatakan sesuatu, lalu ia berdehem. "Nggak salah sih dengan kegiatannya, hanya saja... maaf ni ya, bukannya akum au nakut-nakutin kamu. Tapi, mungkin alangkah baiknya kalau kamu tahu. Usahakan jangan sampai kamu di sini sendirian. Bahaya. Kamu tahu kan maksudku? Aku nggak mau kejadian yang menimpa aku beberapa hari yang lalu kamu alami juga." Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ketika melihat arloji di tanganku yang sudah menunjukkan pukul dua, aku langsung beranjak dari bangku dan berpamitan kepada Naima yang memainkan ponselnya.

'Ah, sial!' Aku berjalan secepat mungkin menuju kelas yang lumayan jauh jaraknya dari kantor guru. Latihan hari ini tidak terlalu lama, hanya saja aku dipaksa oleh para guru yang dekat denganku untuk menemani mereka minum teh dan tak menerima alasan apapun. Aku melihat arlojiku yang sudah menunjukkan pukul setengah enam, tapi masih ada beberapa teman kelasku dan guru wali kelasku. Aku menyalami tangan guru wali kelasku dan meminta maaf atas keterlambatanku. Dan benar saja perkiraan Naima, aku mendapat bagian membereskan alat kebersihan, untung saja masih ada lima orang temanku di kelas yang membantu.

Tidak lama, aku selesai merapikan alat kebersihan dan menata beberapa hiasan kelas yang kurang rapi, tapi ternyata ada dua buah sapu milik laboratorium IPA yang berada di ujung sekolah berlawanan dari kelasku. Tapi aku tidak ingin merepotkan guruku karena hari sudah mulai gelap, kupersilakan guruku untuk pulang terlebih dahulu. Aku melihat lorong sepi yang panjang menuju laboratorium IPA. Untuk mengurngi rasa takutku, aku memasang earphone dan berjalan pelan di lorong itu sambil memegang sapu di tanganku. Aku merasakan hawa dingin menusuk punggungku, seperti ada yang mengawasi. Tanpa sadar kakiku melangkah lebih cepat hingga aku berlari. Ketika sampai, aku menaruh kedua sapu itu dengan sedikit melemparnya, dan kembali berlari menuju kelasku karena tasku masih berada di teras kelas. Ketika aku sedang berlari di koridor, aku sedikit menengok ke arah lapangan sekolah yang terlihat sangat sepi. Tak biasanya keadaan sekolah sesepi ini, karena biasanya penjaga sekolah yang memang tinggal di sini akan berpatroli sebelum gerbang di tutup. Aku hanya mengedikkan bahu. Ketika sampai di depan kelas, aku menyambar tasku dan berjalan cepat ke arah gerbang sekolah melalui lorong antara kelas 7 dan kelas 9. Aku melepas earphone dan menyimpannya ke dalam tas. Aku meluruskan kembali pandanganku ke depan, ketika aku melihat seseorang dari kejauhan yang mendekat ke arahku. Burung gagak yang memang biasa bertengger di atap kelas 7, mengeluarkan suara bersahutan. Ketika jarakku dan orang itu semakin dekat. Aku mulai mencium bau busuk dan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Semakin dekat hanya tinggal berjarak beberapa meter, seketika badanku membeku. Nafasku terputus-putus bahkan aku tidak dapat mengedipkan mata. Kondisi orang itu parah...

Lidahnya menjulur dan mata kanan menggantung di pipinya.

Makhluk itu melirikku. Jantungku berdetak berkali lipat dari biasanya. Badanku masih kaku sama sekali. Tapi ternyata, makhluk itu melalui aku begitu saja. Setelah ia berlalu, aku merasa kakiku seperti tak bertulang, sehingga aku terduduk. Setelah menormalkan nafas, aku berusaha sebisa mungkin berdiri, dan berlari menuju gerbang. Sesampainya di depan gerbang, aku kembali menengok ke belakang dan merasa heran. Tidak biasanya satpam sudah tidak ada tapi gerbang masih terbuka. Angin semakin dingin menusuk dan lampu-lampu jalan raya mulai menyala satu per satu, membuatku bergegas mengambil motorku dan pulang ke rumah.

.

Aku berjalan malas ke arah kelasku sambil mengunyah keripik singkong yang barusan aku beli di koperasi sekolah. Baru aku ingin melepas sepatu ketika hendak masuk kelas, si Galuh berteriak dari dalam kelas sambil mengulurkan tangannya dengan telapak tangan mengarah ke depan seakan menyuruhku berhenti. Aku yang keheranan, langsung menghentikan kegiatan proses melepas sepatuku.

"Apa, Luh?" Aku bertanya kepada Galuh yang sedang duduk dan memasang sepatunya, lalu dengan rangkulan erat di tanganku, ia menarik paksa tanpa ku tahu destinasinya.

"Ayo temani aku pipis!"

"Halah kukira kemana. Coba sesekali kamu narik paksa aku terus bilang, 'ayo kutraktir' kan merdu didengar." Karena toilet siswi tidak jauh dari kelas dengan waktu singkat kami sampai di toilet. Sambil menunggu Galuh yang berada di bilik toilet, aku memanfaatkan waktu dengan bercermin untuk memperbaiki tatanan jilbabku. Ketika aku sedang sibuk meniup-niup bagian atas jilbabku agar tidak lepek, aku melihat sedikit pantulan baju putih dari pinggir cermin. Ketika sudah merasa rapi, aku berhenti meniupi bagian atas jilbabku. "loh, Galuh. Kok tumben cepat? Biasanya kan kamu sibuk sendiri di bilik?" tak kunjung mendapat jawaban, akuu berbalik untuk melihat Galuh. Tapi aku tidak menemukan siapa-siapa.

'bukankah baru saja aku masih melihat pantulan baju putih di cermin?'

Aku kembali melihat cermin yang membuatku sepenuhnya sadar.. bahwa hari ini hari sabtu, yang artinya kami menggunakan seragam Pramuka. Mataku membeliak, tapi aku sudah tidak mendapati pantulan dari baju putih itu lagi di cermin. Tidak lama kemudian aku melihat pantulan gadis bertubuh subur mengenakan seragam Pramuka. Aku bernafas lega. "Ayo Len lama banget kamu." Lagi-lagi aku tak mendapat jawaban. Sekali lagi aku menengok ke belakang. Dan lagi-lagi pandanganku tak menjumpai siapapun. Aku kembali melihat pantulan di cermin. Kali ini aku kembali melihat pantulan baju putih itu. Aku sudah tidak tahu harus apa, sehingga aku hanya dapat menutup mata dan menarik nafas dengan kuat, mengumpulkan keberanian untuk membuka mata. Ketika aku membuka mata, kembali aku melihat gadis bertubuh subur di pantulan cermin sedang merapikan seragam Pramukanya. Aku masih terdiam, takut jika itu hanyalah bagian dari halusinasiku.

"Heh Mbaknya! Kalau sudah selesai ngaca tolong geser bisa?" Kalimat itu membuatku menghembuskan nafas lega, karena Galuh di belakangku bukanlah halusinasi.

Sepulang dari toilet, aku dan Galuh mengobrol asik hingga kami menyadari kericuhan yang terjadi di tiga ruangan kelas 8, yaitu kelas A,B, dan C. Saat kami hendak melewati samping mushola untuk menuju ke kelas, beberapa siswi berkerumun mengangkat seorang siswi bertubuh besar. Aku dan Galuh yang notabennya bertubuh besar, membantu mengangkat siswi yang pingsan itu. Tunggu! Ia tidak pingsan atau... entahlah, ia tak sadarkan diri namun kedua matanya melotot, dan ia adalah Naima. Aku tidak menyangka tubuh Naima seberat ini, bahkan untuk diangkat oleh sepuluh orang siswi bertubuh besar. Ketika kami berhasil membaringkan tubuh tak sadarkan diri Naima di mushola, aku melihat wajahnya. Betapa terkejutnya kami ketika pupil Naima kini mengarah tajam ke arahku, dan aku melihat sebuah wajah hitam busuk yang melapisi wajah Naima. Tanpa berkata apapun, aku beranjak dari tempat itu menuju kelas. Aku mengambil botol air minum dari saku tasku dan meneguk air di dalamnya hingga tandas. Setelah mengeluarkan suara 'Ah' dengan keras, aku baru menyadari bahu teman sebangkuku, Mema, berguncang kecil.

"Mem, kamu baik-baik saja?" tanyaku sambil mengusap lembut punggungnya. Badan gadis ini berketar hebat. Setelah aku membujuk akhirnya Mema mengangkat kepalanya lalu memelukku. Kutepuk-tepuk punggungnya untuk menenangkan tangisan Mema. Aku tak bertanya apa pun, lebih tepatnya belum, karena Mema merupakan salah satu dari sekian banyak anak pendiam. Setelah mulai tenang dan badannya tidak gemetaran, aku mulai mewawancarainya.

"Kenapa, Mem? Kok nangis?" pertanyaan pertama hingga yang kedelapan hanya dijawab dengan gelengan, tapi saat aku melontarkan pertanyaan kesembilan, Mema menghembuskan nafas berat dan menjawab pertanyaanku. "Tadi... aku lihat.. cewe yang masuk ke tubuh Naima." Aku membeliak.

"Kok... kok bis-"

"Aku juga nggak tahu! Terus tiba-tiba aku bisa melihat banyak makhluk aneh dimana-mana. Aku takut, tapi aku nggak berani bilang."

Sekarang masih bisa lihat, nggak?" Mema menjawab dengan menggeleng. Aku melihat bibirnya yang terbuka dan tertutup seakan ragu hendak mengatakan sesuatu.

"Ada lagi, Mem? Nggak apa-apa, bilang aja ke aku, dari pada kamu kepikiran."

"Tadi ada yang berbisik ke aku dia bilang...

Delin."