Chereads / The Last Curse at 17 / Chapter 9 - 9

Chapter 9 - 9

mataku terhenti di bagian pojok samping meja belajar. Aku melihat sebuah bayangan yang cukup tinggi.

'Bukankah api lilin itu bergoyang, tapi kenapa bayangan itu tetap diam?'

.

Aku tertegun sejenak. Bulu romaku berdiri, hawa dingin menusuk terasa bahkan hingga kedua kakiku yang berada di balik selimut. Aku tidak ingin memejamkan mataku, tapi tetap membuka mataku juga bukanlah suatu pilihan yang tepat, karena bayangan itu semakin tinggi hingga mencapai plafonku. Entah hanya delusiku saja, aku merasa seperti ada sebuah tangan besar yang ingin mencengkram seluruh tubuhku dalam satu genggaman. Nafasku tercekat. Aku terlalu takut hingga saraf dan ototku mati rasa. Kini hanya ada dua bagian tubuhku yang dapat kukendalikan, pikiran dan hatiku. Aku terus mengucapkan doa-doa dan dzikir-dzikir apapun yang kubisa. Aku dapat merasakan tangan itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari tubuhku. Aku tidak menyerah. Hati dan pikiranku bekerja tiada henti. Keringat dingin mengucur di pelipisku.

'Apakah aku akan diambil olehnya?'

Broom!

Ctak!

Orangtua dan adik-adikku datang di waktu yang tepat. Saat mereka mengucap salam, listrik kembali menyala. Bayangan itu lenyap diikuti dengan matinya api-api lilin itu. Badanku lemas. Aku memejamkan mataku sambil mengatur nafasku agar lebih tenang. Aku merasa sangat lelah. Ketika aku membuka mata adzan subuh sedang berkumandang. Aku bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk bersiap sholat. karena waktu masih terlalu dini, jadi aku memutuskan hanya berwudhu menunda kegiatan mandi hingga ketika matahari menampakkan semburat merah dari ufuk timur. Karena saat ini sedang pertengahan musim kemarau, kabut menyelimuti udara sehingga lebih dingin dari saat musim hujan.

Aku membelokkan stang motor ke parkiran illegal di seberang dinding samping sekolah. Beruntung aku menggunakan masker kain sehingga anak-anak preman sekolah itu tidak melihat bibirku yang berkomat-kamit merutukki kehadiran mereka di parkiran ini setiap pagi. Hey! Bukan aku merasa sok berkuasa atas parkiran ini, hanya saja aku membenci mereka yang selalu membakar batangan tembakau di pagi hari, terlebih kabut pagi ini sangat tebal. Dengan cepat aku menaruh helm di rak kayu yang memang disediakan oleh bapak pemilik parkiran, dan berjalan menuju sekolah.

Kriing!

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku~

Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengalun melalui pengeras suara di setiap sudut sekolah diikuti dengan suara ribut dari semua kelas yang telah mengakhiri pelajaran mereka… nahas, teriakkan gembira itu tidak berlaku bagi kelasku yang kini berada di ruangan yang penuh dengan tiruan kerangka manusia dari plastik dan mikroskop yang berada di depanku. Aku mulai mengantuk, ralat, aku sudah hampir tertidur karena menunggu teman-teman sekelompokku yang tengah menulis hasil pengamatan yang telah kulakukan pada jaringan epideremis dan endodermis tanaman yang 15 menit lalu telah kuselesaikan. Aku memang lebih menyukai menjadi pengamat karena aku akan sibuk lebih dulu lalu santai kemudian, seperti pribahasa 'berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian', aku suka pribahasa itu. Jadilah kini aku telah selesai dengan tugasku, tinggal teman-temanku yang sedang Menyusun materi presentasi, dan aku yang akan presentasi nantinya.

Setelah lima jam pelajaran IPA yang begitu melelahkan akhirnya kami diperbolehkan istirahat. Karena yang lain sedang masuk kelas, kantin dan koperasi terasa milik sendiri. Aku keluar lebih lambat karena harus membereskan mikroskop bersama teman piketku hari ini, namun aku yang paling terakhir. Dengan hati yang bersemi aku menyalami guruku, namun firasat buruk datan ketika tanganku ditahan.

"Delin, kamu beneran nggak mau masuk ekskul sains? Ibu kekurangan anggota loh buat olimpiade tiga bulan ke depan." Aku berusaha mengatur ekspresiku sesedih mungkin, walau sebenarnya pikiranku berteriak horror. "Maaf, Bu, bukannya Delin nggak mau, hanya saja Delin kan sudah didaftarkan kompetisi story telling, Bu. Jadi, kata Maam Maya Delin fokus ke situ saja, Bu." Ibu Jannah tersenyum maklum mendengar jawaban-yang-memang-tidak-bohongku. "Ya sudah, kalau gitu semangat ya buat lombanya." Aku tersenyum dan mengangguk.

Setelah mengucap terima kasih dan berpamitan terhadap guruku, kini aku sedang berhadapan dengan sepiring nasi kuning tambah topping telur bumbu merah. Aku memandang dan menghirup nikmat Tuhan yang ada di hadapanku sebelum raib ke dalam perut. Dahiku terlipat ketika aku berusaha menghirup aroma makanan di depanku. Bau harum yang tercium dari harum, kini tercium aneh. Seperti nasi basi? Entah lah. Atau mungkin saja hidungku yang sedang bermasalah? Aku mengedikkan bahu berusaha mengabaikan aroma makanan dan memilih untuk mencicipi rasanya. Saat aku mengaduk nasi kuning dengan bumbu merah dari telur, nasi itu terlihat sangat lembek. Baik, aku harus berpikiran baik! Mungkin saja saat memasak nasi airnya kebanyakan. Aku memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutku. Seketika tanganku menutup mulut dan perutku terasa mual. Aku langsung lari ke wastafel yang berada di seberang warung nasi kuning itu, dan mengeluarkan nasi kuning dari dalam mulutku. Salah satu temanku, Galuh, menepuk pundakku. "Kenapa, Lin? Wajahmu pucat loh." Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. "Beneran? Aku antar ke UKS ya?" Aku menggeleng sekali lagi. Setelah Galuh pamit pergi lebih dulu, lalu aku mengangkat pandanganku ke arah atap warung nasi kuning itu. Mataku membeliak melihat sesosok hitam besar tengah membanjiri air liurnya ke makanan di warung itu. 'Bagaimana selama ini aku merasa baik-baik saja?'. Aku segera membayar makanan yang tadi ku pesan, lalu dengan cepat aku kembali ke kelas.