Selesai makan Ayah Arca sakit perut dan melaju ke toilet. Ibu Arca selesai membereskan meja makan, membawa piring ke dapur. Bima melihat Arca tertidur pulas di kursinya dan Bima merasa sangat kantuk hingga ikut tertidur.
Tengah malam yang gelap dan sunyi, Bima tak sadar memukul wajah Arca dengan tangan kirinya. Arca terkejut dan terbangun kesal melihat tangan Bima. Arca heran kenapa Bima tak pulang ke rumah dan malah tidur di rumahnya. Arca juga tidak bisa melihat Bima tertidur di kursi, pasti punggung Bima sakit. Jadi, Arca menyeret Bima ke sofa samping jendela.
"Uh... kenapa kamu berat sekali, aku jadi capek," keluh Arca setelah menyeret Bima ke sofa dan terduduk lemas di lantai. Bahkan Arca tak bisa menahan kantuknya, hingga kepalanya jatuh di atas dada Bima.
Ayam berkokok dari timur terdengar keras hingga membangunkan Bima. Bima membuka matanya pelan dan merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Tangan bima meraba dan Bima melirik ke dadanya yang di tumpangi Arca tidur. Hal itu bukan hal biasa yang membuat Bima tak acuh, kini jantung Bima benar-benar telah berdebar untuk pertama kalinya. Bima tak tahu harus berbuat apa, berpikir untuk menunggu Arca bangun, tapi hal itu akan membuatnya canggung. Bima perlahan mengangkat kepala Arca dan menaruhnya di bawah lantai, sehingga Bima bisa bangun dan diam-diam pulang ke rumahnya. Namun, tak secepat itu Bima bisa melangkah, tiba-tiba Arca menarik lengan Bima hingga Bima terjatuh menimpa Arca di lantai. Arca merasa yang di tarik itu adalah bantal guling di kasurnya. Lalu, begitulah jantung Bima yang hendak meledak. Bima yang dikenal tak berperasan kini telah jatuh cinta.
"Arca, ayo cepat bangun nanti telambat ke seko..." putus Ibu Arca. Melihat Arca tertidur di lantai tanpa selimut.
"Arca, bangun sayang!" Ibu Arca mencubit pipi Arca.
"Em... sebentar lagi ibu!" Arca merengek tak membuka mata. Oh iya, Bima berhasil kabur lebih cepat dan pulang dengan panik.
Pagi berangkat Sekolah,
Bima seperti biasa berjalan santai sambil mengantongin tangan, tapi pikirannya hari ini berbeda dari hari biasa.
"Hai, Bima!" Sapa Arca, berlari menuju Bima.
Bima kaget. "Eh!" tingkah bima mulai aneh, kakinya gemetaran, keringat di dahinya mulai turun dan kerongkongannya terasa kering. Bima berpikir untuk menghindari Arca dan berlari secapat mungkin.
"Hei! kenapa kamu lari? Tunggu!!!" Arca semakin cepat mengejar hingga Bima tertangkap olehnya.
"Hah huh, kamu... kenapa lari? Aku jadi capekkan, huh!" Desah Arca.
"La lari? Tidak, aku hanya... berolahraga, ya olahraga pagi itu sehat, kan!" cetus Bima asal tapi meyakinkan.
"Owh gitu ya, eum... apa kau ingat..." putus Arca.
"Tidak tidak, aku tidak, kamu tidak, tidak ada yang terjadi!" ucap Bima gemetar.
Dalam pikiran Bima. "Arca pasti mengingat kejadian malam itu dan membahasnya, aduh... bagaimana ini???"
"Kamu yakin tidak?" tanya Arca heran.
"Yakin, aku sangat yakin!" Bima mengangkat tangan bersumpah.
Arca mengerutkan kening dan berpikir. "Pas pulang dia benaran pakai sandal? Tapi... perasaan sandalnya masih di rumahku."
"Aku duluan, ya!" Bima mencoba menghindari Arca.
***
Bima duduk di kursinya dengan wajah cemas dan keringat. Dia melihat seseorang memerhatikannya dari sudut kanan. Mungkin lebih baik Bima bertindak seperti biasanya, namun walaupun dia mengeluarkan buku dan membukanya tetap saja pikirannya cemas.
"Bima, ini untukmu!" Sanes memberi Bima sekotak coklat mahal.
"Tidak, terima kasih," jawab Bima.
Romzy melirik. "Wah, coklat! Bima tidak mau jadi untukku saja," Romzy merampas coklat dari tangan Sanes.
"Ih Romzy, itukan untuk Bima." Sanes kesal.
"Bima bilang tidak mau," jawab Romzy tak peduli.
Sanes berbalik arah dan menunduk sedih.
Dimas masuk ke kelas tak melihat ada plastik permen di lantai, hingga Dimas terpleset. Semua orang menertawai Dimas, Zita langsung panik dan berlari untuk mengendong Dimas. Sekejap semua orang berhenti tertawa. Zita dan Dimas saling bertatapan muka.
Dimas turun dari gendongan Zita. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Dimas heran.
"Apa kamu terluka?" Zita malah menghawatirkannya.
"Urus saja urusanmu sendiri!" ucap Dimas lalu pergi duduk di kursinya.
"Wah, lihatlah gadis tomboi ini, dia ingin jadi pahlawan ketua kelas, mungkin ada maunya!" kata Tori mengajak semua orang menertwakan ketulusan Zita .
Zita mulai marah. "Beraninya kamu mengejekku!" Zita habis kesabaran, memukul Tori hingga babak belur.
Semua orang hanya melihat dan mulai mengosipkan sosok Zita tomboi yang mengerikan, kecuali Bima yang tak peduli dan Romzy yang menatapnya iba.
"Cukup! Aku tidak suka gadis tomboi!" teriak Dimas keras tak menatap sambil berdiri.
Semua orang terkejut dan terdiam, Zita menundukkan kepala sambil berjalan ke kursinya. Tiba-tiba Tori membesarkan suara, "Dasar gadis tomboi sialan!"
Zita berhenti dari langkahnya.
"Dia sangat malang," terdengar bisikan dari samping. Zita tak kuat mendengarnya, dia berbalik arah dan berlari sekuat tenaga, rasa kehilangan arah atau harga diri, saat ini Zita hanyalah gadis tanpa arah, hatinya menjerit sekuat tenaga, dan air mata yang tak pernah jatuh dipipinya telah membasahi semuanya.
Arca yang baru tiba meliat Zita lari langsung mengejarnya. Zita menangis di sudut belakang sekolah.
"Zita, kamu kenapa?" tanya Arca bingung.
"Heks... aku tidak tahu, tiba-tiba hatiku hancur setelah mendengar kata-kata itu, heks... heks...."
Arca memeluk Zita, walaupun Arca tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun Arca merasa sangat sedih bila sahabatnya menangis dan terluka. Arca memikirkan sesat yang akan menghibur Zita.
"Zita, ayaolah! Zita yang kukenal tidak pernah menangis dan putus asa, dia sangat hebat dan kuat," ucap Arca mencoba menenangkan Zita.
"Tapi Ca, kenapa semua orang tidak suka gadis tomboi?" tanya Zita heran.
"Tidak semua kok, aku suka, Romzy juga suka, Bima juga. Jadi, kamu masih punya kami," jawab Arca.
"Hiks...." Zita menangis putus asa.
"Sudah, ayo masuk kelas! Nanti telat di hukum," ajak Arca.
Sampai di kelas sumua orang melihat mereka, Zita menunduk tak peduli. Saat duduk Zita tak menaruh kakinya di atas meja seperti biasa, dia hanya menunduk dan tetap menunduk, walapun sesekali mendengar bisikan-bisikan kecil dari orang di sekitarnya.
"Huh, kasihan Zita," ucap Arca pada Bima dan Romzy.
"Yah, apa boleh buat, kebiasaan seseorang itu susah di ubahkan?" cetus Romzy pasrah.
"Kamu benar Romzy, mungkin kita harus coba mengubahnya menjadi lebih canti," ucap Arca senang mendapat solusi.
"Kamu benar, hebat!" seru Romzy.
"Itu tidak mungkin." Bima menebak.
"Lidahmu sangat licik, pokoknya kia harus membantu Zita," cetus Arca.
"Setuju!" Semangat Romzy.
"Huh, terserah." Bima pasrah.