Chereads / Love High School / Chapter 3 - Suasana Keluarga Arca

Chapter 3 - Suasana Keluarga Arca

Pulang sekolah Romzy, Zita dan Arca berjalan sederet, Bima berjalan santai di belakang. Sanes masuk ke mobilnya sambil melirik Bima.

"Zita, nanti siang temani aku belanja, ya!" mohon Arca memegang tangan Zita dengan mata berbinar-binar.

"Kamu tahu aku hanya bisa bilang 'ok' pada sahabatku," jawab Zita merangkul Arca.

"Yey!" seru Arca.

"Kalau kalian?" tanya Zita pada Romzy dan Bima.

Romzy menggosok leher dan melihat Bima. Bima menaikkan bahu.

"Memang apa yang bisa dilakukan pria saat belanja?" tanya Romzy.

"Mengangkat barang!" ucap Arca dan Zita serempak sambil tertawa receh.

"Pasrah..." ucap Romzy pasrah, menghembus nafas.

"Eh Romzy! Hari ini kita ada pertandingan futsal dengan sekolah sebelah, langsung ke lapangan, ya!" Perintah ketua tim futsal sekolah.

"Oh ia aku lupa, hehehe aku duluan ya, guys!" pamit Romzy sambil lari ke lapangan, melarikan diri.

"Tidak setia!" teriak Arca kesal.

"Sangat mengecewakan!" Zita ikut kesal.

Tining ting ting...

"Eh, ponselku bunyi. Hallo, Ma! Apa? Papa hari ini pulang ke rumah? Sip Mama Zita pulang!" Zita mematikan ponselnya dan melompat bahagia. "Yey... ayahku baru pulang dari Tokyo, aku yakin dia membawakan banyak oleh-oleh untukku, hehe" Seketika hilang ekspresi senang, tiba-tiba merasa tidak nyaman pada Arca.

"Huh, baiklah lain kali saja," ucap Arca pasrah, kurang lebih sedikit kecewa, tapi itu tidak mungkin.

"Arca kau memang sahabatku yang paling baik se.. dunia! Aku sayang padamu, dah!" ucap Zita pergi sambil melompat-lompat aneh, dia begitu senang.

Arca terdiam di tempat, Bima jalan mendahuluinya.

"Eh, Bima kalau kamu bisa pergi, kan?" tanya Arca berharap.

"Eumm, kalau pergi aku bisa," jawab Bima.

"Yey..." Arca senang mengangkat kedua tanggannya, dia tahu Bima orang yang sangat setia.

"Tapi kalau mau, aku tidak!" sambung Bima.

"Maksudnya?" tanya Arca bingung.

Bima menatap Arca. "Kalau aku bisa pergi, tapi aku tidak mau pergi!" jelas Bima.

"Ke..kenapa... kenapa kamu sangat jahat!" merengek Arca. ternyata... kali ini tak seperti dugaan Arca.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti depan mereka.

"Bima, masuklah ke mobilku, supirku akan mengantarmu pulang!" ucap Sanes keluar dari mobilnya.

"Terima kasih, tapi aku terbiasa jalan kaki," ucap Bima menolak tawaran Sanes.

"Hei, kenapa cuman Bima, aku gak di tawarin masuk?" heran Arca.

Sanes melirik Arca dan langsung membuang muka. Arca sangat kesal pada sikap Sanes yang sombong.

"Hari ini saja Bima, ya!" harap Sanes.

"Hei anak sombong! Bima bilang gak mau ya gak mau, kenapa memaksa?" kesal Arca.

"Tidak sopan!" balas Sanes kesal.

Arca merangkul Bima. "Ayo kita pulang!" Arca membawa Bima pergi dengan wajah kesal.

"Ha? Ki... ta pulang? Apa mereka tinggal bersama?" pikir Sanes bingung, setelah Arca membawa Bima pergi dari hadapannya.

"Eh, apa yang kamu lakukan?" Bima melepaskan rangkulan Arca.

"Aku benci wanita sombong itu, dia pikir dia siapa berani bersikap sombong, hartanya juga milik orang tuanya, pokoknya kamu gak boleh berteman dengannya!" Arca terus merepet sepanjang jalan, Bima tak peduli pada hal yang tak menarik baginya.

***

Di malam hari Bima merenung di meja belajar, tak seperti biasa tangannya penuh semangat mengerjakan soal atau membaca. Sesuatu yang merasuki pikirannya adalah perkataan Arca di kantin sekolah. Bima menatap mie instan di atas kulkas, dia tidak pernah suka makanan instan. Bisikan kecil dari lubuk hatinya menyuruh melangkah ke rumah sebelah, namun sebagian besar bisikan itu menyebutnya sebagai pengemis ataupun anak yatim piatu.

Bima menggaruh kepalanya tak sanggup berpikir dan meretangkan tubuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang kosong seperti hidupnya, tanpa cahaya, tanpa bintang. Bima menutup kedua matanya, pikirannya masih terlintas ucapan Arca di kantin, sangat menjengkelkan memikirkan hal itu. Bima terduduk, mulai menguatkan diri untuk melangkah ke rumah sebelah.

Tok tok tok!

"Eh, siapa yang mengetuk pintu malam-malam gini?" tanya Ibu Arca.

"Entah, mungkin paketku," jawab Arca sambil duduk di meja makan.

"Coba buka, Bu!" perintah Ayah Arca.

Ibu Arca membuka pintu dan terkejut saat melihat Bima berdiri menunduk di hadapannya.

"Hai, Tante!" sapa Bima sambil tersenyum kecil dan segan.

"Ayo, silahkan masuk Bima!" Ibu Arca menyambut Bima dengan senang hati. "Ayah, coba liat siapa yang datang!"

Ayah Arca baru saja memasukkan sesuap nasi ke mulut langsung terkejut heboh.

"Bima! Oh anakku, kemari peluk aku!" Ayah Arca sangat bahagia melihat Bima datang memeluknya erat.

"Ayah!" Arca menggeleng kepala melihat sikap Ayahnya yang kekanak-kanakan.

"Baik, duduklah! Uh... kamu kelihatan kurus, tapi masih tampan, hahaha," lelucon Ayah Arca yang tak di menganggap lucu.

"Memangnya Ayah! Bulat dan besar," jelas Arca menyindir.

"Eh kamu ya, gendut itu sehat tahu!" kata Ayah Arca.

"Sehat dari mana?" tanya Arca dan Ibunya serempak.

"Eh... sehat, ya betulkan Bima?" tanya Ayah Arca mengedip-ngedipkan mata kanannya pada Bima.

"Kayaknya enggak, Om!" jawab Bima jujur. Ayah Arca pura-pura tak bersalah dan menahan rasa malu. Arca dan dan Ibunya terkekeh kecil.

"Lihat perutmu itu, kamu juga gendut!" ejek Ayah Arca.

Arca melirik perutnya. "Ibu... lihatlah Ayah mengejekku gendut, padahal tubuhku ideal," Arca merengek pada Ibu.

"Ia bener tubuh kamu ideal, Ayah kamu ada-ada saja!" jawab Ibu Arca membela.

"Hahaha, kamu lihat Bima? Ibu... lihatlah Ayah mengejekku gendut! Hahahaa..." Ayah Arca meniru suara rengekan Arca dan tertawa terbahak-bahak. Seketika Bima tersenyum kecil dan tanpa sengaja giginya tampak walau tak sepenuhnya.

"Uh..." Arca kesal pada Ayahnya. Uang saku di kantong Ayah dikeluarkan dan di hitungnya perlahan dengan air liur. Arca pasrah dikendalikan oleh uang itu.

"Udah-udah jangan ribut lagi, nih makannanya udah disajikan semua, silahkan menikmati!" kata Ibu Arca tersenyum pada Bima.

Bima mulai memakan masakan Ibu Arca perlahan yang lezat dan hangat, rasanya sangat menyentuh hingga mata Bima berbinar-binar di penuhi warna. Bima mengunyah dan memandang keluarga Arca yang tak berhenti berbicara, tawa, canda serta bahagia.

"Andai mereka keluargaku, rasanya seperti mimpi!" ucap Bima dalam hati.

***