Dalam keheningan malam yang tiba-tiba berubah menjadi keriuhan dengan suara-suara yang berdesak-desakkan, Diana mulai kehilangan kesadarannya.
Hari itu merupakan malam yang panjang, malam yang membuatnya teringat akan kebodohan yang tidak akan pernah ia sesali walaupun ia menginginkan penyesalan itu.
'Polin... tidakkah kau tahu bahwa aku benar-benar mencintai mu?' Suara hati Diana sampai akhir hanya untuk Polin seorang.
Air mata mulai mengalir jatuh membasahi wajahnya dan perlahan matanya tertutup bukan karena sendu. Ia kemudian teringat akan kenangan-kenangan lama yang mulai diputar seperti rekaman indah yang tak mungkin bisa ia lupakan.
"Aku berharap, aku bisa melupakan mu! Karena jika aku bisa, Polin mungkin akan percaya kalau dia bukan tempat pelarian ku." Kata Diana dengan sedikit tenaga yang tersisa seperti bergumam.
Diana menjalani kehidupannya yang mewah dan bertanya, kenapa dia harus menjalani kehidupan yang begitu membosankan dan sia-sia?
Mencintai orang yang tidak mencintainya, dan merindukan orang yang bahkan tidak melihatnya.
Hidup... Tidak ada yang sempurna!
Suara sirene ambulance mulai terdengar tergesa-gesa menuju lokasi kecelakaan. Diana yang dalam keadaan tidak sadarkan diri, diberikan pertolongan pertama saat itu juga.
**
Di sisi lain, Polin baru saja habis membilas tubuhnya. Handphonenya terus berdering dan pada akhirnya ia mengangkat telepon itu, setelah 10 panggilan tak terjawab ia lewatkan.
Itu panggilan dari rumah sakit tempat Diana di rawat. Polin lalu segera mengambil mantel dan terburu-buru meninggalkan apartemen itu dengan perasaan khawatir. Ia bahkan sampai tidak mendengarkan ucapan dari Shela.
"Kak mau kema...na?" Seru Shela, melihat Polin pergi begitu saja.
Padahal Shela sedang membuat soup untuk mereka nikmati sehabis membersihkan diri. Pada akhirnya Shela menikmati soup itu sendirian.
Jam menunjukkan pukul 4 pagi. Polin belum juga kunjung kembali. Shela khawatir dan juga tidak bisa tidur. Dilain sisi, ia juga bertanya-tanya akan keberadaan Darlie. Entah kenapa hari itu begitu hening.
Shela melihat sekeliling dari jendela apartemen. Pemandangan yang terlihat dengan kerlap-kerlip lampu yang menyala, sungguh indah sampai menghanyutkan perasaan Shela sedikit dalam ketenangan. Sangat menenangkan dan begitu damai, terlepas dari kekhawatiran yang merasuk dalam hatinya.
Trililit... Bunyi suara handpone yang ada digenggaman tangan kirinya, berdering. Dia tersadar dari lamunan dan segera melihat layar handpone itu dengan terburu-buru. Ah, itu panggilan dari Dara. Shela sangat bersemangat, namun ia menghembuskan nafas panjang. Sebab, disisi lain ia tidak bisa berkata bahwa Darlie bukanlah pria yang mudah diatasi.
"Iya kak..." Jawab Shela dari balik telepon.
"Hei, bagaimana? Aku dengar seharusnya kalian tiba di Jakarta hari ini. Kenapa nama kalian tidak ada didaftar penerbangan?" Ujar Dara.
"Hmm... Soal itu, Darlie mendadak ada urusan mendesak kak." Singkat Shela lemah. Namun dia berusaha untuk tersenyum.
"Hei, katakan saja bahwa kau tidak ingin melanjutkan pertunangan ini. Aku akan membantumu bicara sama Ayah. Dia tidak berbuat macam-macam padamu, kan?" Dara mengintrogasi.
"Dia pria yang mudah untuk ditaklukkan kok kak. Kakak percaya padaku, kan? Tenang saja, untuk pria br*ngsek seperti Darlie, hanya aku yang bisa melawannya." Shela memberikan tawa kecil. Dia tidak ingin Dara khawatir dengan dirinya, sehingga ia berusaha menutupi apa yang terjadi dan berusaha untuk tegar.
"Baiklah, aku percaya. Tapi ingat, jangan memaksakan dirimu. Aku sudah sangat rindu padamu. Segeralah pulang yah. Disini tidak ada yang asyik diajak bicara selain kamu." Lanjut Dara.
Shela mengarahkan pandangannya kembali melihat keluar jendela. Dia sungguh merasa menyedihkan. Matanya mulai berair, Shela benar-benar merindukan rumah tempat ia bisa mendapatkan kehangatan dari bibi pengasuh dan juga Dara yang memperlakukannya dengan baik.
"Shela?" Panggilan dari seberang telepon.
Shela segera mengusap air mata yang akan hendak jatuh membasahi pipinya, "Iya kak, aku juga merindukan kakak. Aku akan pulang segera." Kata Shela, lalu menutup teleponnya.
Dia tidak kuat lagi. Air matanya mengalir deras, sehingga menyesakkan dada. Dan dia tidak ingin Dara tahu, bahwa kesedihan menghampirinya tanpa bisa ia atasi. Yang Shela bisa lakukan adalah duduk menjongkok, sambil menekan dadanya dan mendekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara tangisan. Padahalkan hanya dia seorang di dalam ruangan itu.
Semuanya akan baik-baik saja. Kata hati Shela menguatkan dirinya kembali. Ya, tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi. Sekalipun itu harus berhadapan dengan pria seperti Darlie, ia percaya bahwa suatu saat nanti Darlie bisa bersikap dewasa.
Bip... Bip... Suara seseorang menekan password pintu apartemen Polin terdengar. Shela dengan cepat menghapus jejak tangisannya dan berdiri melihat ke arah pintu apartemen. Ia berharap bahwa Polin segera kembali. Namun yang berada di balik pintu itu adalah Darlie Wijaya, seseorang yang dia tidak harapkan untuk datang menemuinya.
"Hei... Kau sudah bicara apa sama kakekku?" Kata pertama yang dilontarkan Darlie saat melihat wajah Shela.
Shela bingung mau menjawab apa, sebab tidak ada satu kali pun ia menghubungi kakek Pramu. "Jangan sok begitu. Aku tahu kau mengadu padanya, kan?" Darlie dengan cepat datang menghampiri Shela dengan menunjukkan sedikit amarah.
"Dengar, aku memang tidak tahu apa yang kau bicarakan." Shela kesal juga dituduhkan hal yang ia sama sekali tidak lakukan.
"Kalo mau mengemis, mengemis saja. Jangan bawa-bawa aku! Dasar wanita tidak tahu diri." Sindir Darlie.
Kata-kata Darlie entah kenapa menusuk bagaikan pisau tajam yang menikam jantung Shela. 'Dia...' Kesal Shela dalam hati.
"Oh, aku tahu. Apa kau juga ingin tidur denganku? Cewek murahan yang hanya mengejar harta keluarga Wijaya. Ah, kalau kau tidur denganku dan melahirkan anak dari benihku, kau akan mendapatkan 1/4 bagian dari harta keluarga Wijaya. Dan hanya dengan 1/4 harta itu saja, kau akan bisa hidup selama 7 turunan. Hmm, bahkan 10 turunan?" Ucap Darlie sambil merapatkan tubuhnya kepada Shela.
Shela tertegun diam. Sampai kapan Darlie akan berceloteh sembarangan? Ia sungguh geram mendengarnya! Shela terpojok sampai ke dinding apartemen. Pandangannya jatuh pada bekas merah yang ada di leher Darlie. Ia kemudian menyeringai.
"Apa kau habis bersenang-senang, tunanganku?" Ujar Shela menatap mata Darlie dengan berani, sambil melirik leher Darlie untuk memberitahukan apa yang menjadi tujuan pembicaraannya.
Ayolah, Shela tidak seharusnya menanyakan mengenai kehidupan pribadi Darlie, ditengah-tengah pembicaraan yang serius.
Alis Darlie naik sedikit. "Ah, aku tidak ingat bahwa kita bisa membicarakan kehidupan pribadiku!" Darlie merentangkan tangannya di atas kepala Shela menepuk dinding. "Kenapa? Apa kau mulai tertarik untuk menjadi wanita satu malam denganku? Walaupun ini sudah pagi, aku bisa memberikan service yang menyenangkan!" Kata Darlie sambil membuka kancing bajunya satu persatu.
~To be continued